Mohon tunggu...
FAJRIN PUTRA WIJAYA
FAJRIN PUTRA WIJAYA Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional FISIP UIN Jakarta

Tak masalah menjadi dibenci, asal tidak menjadi pembenci.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Analisis Invasi Rusia ke Ukraina: Perspektif Realisme dan Neo-Realisme

25 Oktober 2022   15:00 Diperbarui: 25 Oktober 2022   15:05 853
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Rusia dan Ukraina adalah satu negara sebelum Uni Soviet runtuh. Runtuhnya Uni Soviet dan kemudian terpecah menjadi lima belas negara (Estonia, Lithuania, Latvia, Azerbaijan, Georgia, Rusia, Uzbekistan, Moldova, Ukraina, Belarus, Turkmenistan, Armenia, Kazakhstan, Kirgistan, dan Tajikistan) dimulai dengan upaya pemimpin Uni Soviet saat itu, Mikhail Sergeyevich Gorbachev, dalam menyelamatkan kondisi Uni Soviet yang sedang krisis. 

Kebijakan Gorbachev yang akhirnya menyebabkan banyak demokratisasi di beberapa wilayah Uni Soviet menyebabkan banyak wilayah ingin berdaulat dan berpisah dari Uni Soviet. Ini adalah salah satu penyebab keruntuhan dan pembubaran Uni Soviet. Namun, meskipun Uni Soviet telah runtuh, semua perannya dalam politik internasional digantikan oleh Rusia. 

Misalnya, posisi Uni Soviet di anggota tetap Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa saat ini dimiliki oleh Rusia. Tak hanya itu, status negara adidaya milik Uni Soviet juga saat ini dimiliki oleh Rusia. 

Jadi seluruh dunia menganggap bahwa Rusia adalah pengganti Uni Soviet. Terutama, hubungan Rusia dengan Amerika Serikat cenderung bersaing satu sama lain, seperti hubungan antara Uni Soviet dan Amerika Serikat. Oleh karena itu, kesamaan historis (pernah menjadi bagian dari Uni Soviet) antara Rusia dan Ukraina membuat kedua negara memiliki hubungan yang sangat dekat.

Namun, kedekatan hubungan antara Rusia dan Ukraina tidak selalu berjalan dengan baik. Setelah sepakat menjalin hubungan diplomatik pada 14 Februari 1992, hubungan kedua negara mengalami pasang surut. Hal ini karena ada dua pengaruh di Ukraina, yaitu pengaruh negara-negara barat, dan Rusia. Jadi Ukraina adalah semacam negara yang sedang direbutkan oleh Amerika Serikat dan Uni Eropa, dan Rusia. Beberapa kali berganti pemimpin, ada pemimpin Ukraina yang cenderung dekat dengan Rusia dan juga dekat dengan negara-negara Barat (Amerika Serikat dan Uni Eropa). Kondisi dan lokasinya yang cukup strategis membuat Amerika Serikat dan sekutunya tertarik untuk menyebarkan pengaruh di Ukraina. Sementara Rusia juga tidak ingin pengaruhnya dikalahkan oleh pengaruh negara-negara Barat.

Konflik antara Rusia dan Ukraina bukan saja baru terjadi. Misalnya, ketika ada sengketa pasokan gas pada tahun 2006. Kemudian konflik Semenanjung Krimea pada 2014. Hubungan antara Rusia dan Ukraina mulai menjadi konflik ketika Viktor Yushchenko yang condong ke Uni Eropa terpilih sebagai Presiden Ukraina pada tahun 2005. Pada 2010, hubungan kedua negara mulai membaik ketika Viktor Yanukovych, yang cenderung berpihak pada Rusia, terpilih sebagai Presiden Ukraina. Konflik mulai terulang kembali ketika Ukraina mengalami krisis pada 2013. Yanukovych menolak untuk membuat kesepakatan ekonomi dengan Uni Eropa, krisis di Ukraina tumpah menjadi krisis politik. Yanukovych digulingkan oleh Parlemen Ukraina pada Februari 2014. Oleh karena itu, pemerintah Ukraina dibagi menjadi dua, antara kubu yang berpihak pada Uni Eropa dan kubu yang berpihak pada Rusia (Hendra, Musani, & Samiaji, 2021).

Konflik berlanjut hingga 2014, ketika Krimea meminta bantuan Rusia dalam menyelesaikan konflik di Ukraina. Permintaan ini disambut baik oleh Rusia. Dengan membantu dan mengirim pasukan ke Krimea, Rusia mampu memperkuat pengaruhnya di Eropa Timur dan Timur Tengah. Hal ini karena lokasi geopolitik Krimea yang strategis. Karena konflik ini, ada gerakan separatis bersenjata di Ukraina, terutama di Donetsk dan Luhansk. Rusia dan Ukraina telah berusaha untuk de-eskalasi konflik melalui Perjanjian Minsk pada tahun 2015. Dalam hal ini, Prancis dan Jerman menengahi. Perjanjian itu disepakati bahwa kedua negara akan mengadakan gencatan senjata, menarik senjata dan memberi Ukraina kendali penuh atas seluruh zona konflik. Namun, perjanjian ini belum mampu menyelesaikan konflik antara Rusia dan Ukraina. Hingga akhirnya, yang terbaru, Ukraina kembali mengajukan permohonan untuk bergabung dengan NATO. Hal ini membuat Rusia marah dan akhirnya menginvasi Ukraina pada 24 Februari 2022 (CNBC Indonesia, 2022).

Sebelum melakukan penulisan lebih lanjut, penulis melakukan kajian pustaka untuk memberikan wawasan yang lebih luas guna mendukung tulisan ini. Literatur pertama yang penulis dapatkan adalah karya yang ditulis oleh Giovanna De Maio. Artikel ini berjudul Russia's View of Ukraine After Crisis. Sebagian besar pejabat Rusia memiliki persepsi bahwa Ukraina adalah bagian integral dengan Rusia. Adapun rakyat Rusia, dengan memburuknya hubungan antara Rusia dan Ukraina, rakyat Rusia menganggap bahwa Ukraina adalah musuh mereka. Maio juga menyimpulkan bahwa krisis yang telah terjadi antara Rusia dan Ukraina pada saat yang sama menunjukkan kemampuan persepsi rakyat Rusia dalam mempengaruhi keputusan pemerintah Rusia. Karena Rusia masih merasa bahwa Ukraina berada dalam pengaruhnya, ini juga yang mendorong Rusia untuk berperang (Maio, 2016).

Literatur kedua yang dibaca oleh penulis adalah laporan berjudul The Crisis In Ukraine: Root, Causes, and Scenarios for The Future yang diterbitkan oleh Valdai Discussion Club. Laporan ini umumnya menjelaskan penyebab krisis di Ukraina. Analisis penyebab munculnya krisis di Ukraina dilakukan dari berbagai sudut pandang seperti sejarah, ekonomi, politik, dan campur tangan dari pihak-pihak selain Ukraina. Pihak selain Ukraina adalah pihak yang memiliki kepentingan tertentu dan terlibat dalam krisis Ukraina. Tidak hanya melakukan analisis, ia juga menawarkan berbagai skenario atau kemungkinan yang dapat terjadi dalam krisis Ukraina, serta menawarkan solusi yang dapat menyelesaikan krisis di Ukraina (Valdai Discussion Club, 2014).

Literatur ketiga adalah jurnal karya Taras Kuzio yang berjudul The Origin of Peace, Non-Violence, and Conflict in Ukraine. Jurnal ini mencoba menganalisis penyebab konflik di Ukraina selama lebih dari 20 tahun. Menurut Kuzio, ada beberapa faktor yang membuat Ukraina mengalami krisis dan konflik berkepanjangan. Faktor pertama adalah munculnya Partai Daerah dan Rusia Bersatu yang membawa otoritarianisme neo-Soviet. Faktor kedua adalah banyaknya gelombang protes seperti Bulldozer, Rose and Orange Revolution, dan Euromaidan yang semuanya mendapat dukungan dari negara-negara Barat. Faktor ketiga adalah penolakan terhadap perluasan pengaruh Barat melalui NATO dan Uni Eropa. Faktor keempat adalah pengaruh nasionalisme dan revisionisme yang meluas dalam kebijakan luar negeri Rusia. Keempat faktor inilah yang menjadi penyebab konflik Ukraina (Kuzio, 2015).

Teori realisme tampaknya membantah asumsi-asumsi yang digunakan oleh teori-teori liberalisme atau idealisme yang cenderung optimis terhadap perwujudan perdamaian dunia. Realisme menolak hal ini dengan mengasumsikan negara sebagai manusia yang memiliki sifat egois dan jahat. Realisme dan idealisme sama-sama mengasumsikan keadaan dengan sifat dasar manusia. Bedanya, realisme berpandangan bahwa kodrat manusia itu egois dan jahat. Sebaliknya, idealisme memiliki pandangan bahwa sifat manusia itu baik dan cinta damai. Perdebatan antara keduanya menjadi perdebatan besar pertama yang ada dalam pengembangan studi Hubungan Internasional. Padahal, hingga saat ini keduanya masih menjadi perdebatan dan perbandingan oleh mahasiswa hubungan internasional. Meskipun realisme bukanlah teori yang paling benar dalam studi Hubungan Internasional, itu adalah teori yang sering digunakan dalam studi Hubungan Internasional.

Ada beberapa asumsi dasar dalam teori realisme. Pertama, bahwa negara adalah aktor utama dalam politik internasional. Bahwa memang benar ada aktor internasional lain selain negara, tetapi pada akhirnya hanya tindakan negara yang menjadi penentu. Kedua, moralitas negara adalah kepentingan nasional. Kepentingan nasional suatu negara adalah tentang keamanan dan kekuatan. Sehingga dalam memahami Realisme, negara berorientasi untuk menjadi yang terkuat sehingga sekaligus bisa menjadi yang paling aman. Ketiga, struktur internasional anarki. Asumsi ini memperjelas bahwa tidak ada otoritas yang lebih tinggi dari negara, sehingga negara bebas bertindak kapan saja untuk mencapai kepentingannya tanpa campur tangan koersif dari pihak lain.

Lebih dalam tentang teori realisme, ada prinsip-prinsip dalam teori realisme. Prinsip pertama adalah bahwa politik diatur oleh hukum objektif yang berakar pada sifat manusia yang kemudian diwakili oleh negara. Kedua, moralitas negara adalah kepentingan nasional yang ditentukan oleh kekuasaan. Ketiga, moralitas negara yang bersangkutan tidak berimplikasi pada perubahan sejarah dan pelaksanaan kekuasaan bersifat permanen. Keempat, tindakan negara yang tidak dapat diprediksi membutuhkan kehati-hatian dalam menanggapi tindakan negara. Kelima, realisme politik menolak untuk mengidentifikasi aspirasi moral suatu bangsa tertentu dengan hukum moral yang mengatur alam semesta.  Keenam, politik adalah bidang studi yang otonom dan terpisah atau berbeda dengan studi lain (Morgenthau, 1948).

Selain konsep anarki internasional yang menjelaskan bahwa tidak ada otoritas yang lebih tinggi dari negara, sehingga negara dalam menjalankan tindakannya tidak dipengaruhi oleh pihak lain, realisme juga memiliki konsep dilema keamanan. Konsep ini menjelaskan bahwa ketika suatu negara menambah kekuasaan, maka negara lain akan merasa insecure dan akan ikut menambah kekuasaan, sebagaimana adanya seterusnya. Situasi seperti ini disebut oleh kaum realis sebagai negara damai. Oleh karena itu, realisme percaya bahwa konflik tidak dapat dihindari tetapi dapat dikelola. Salah satu frasa terkenal dari kaum realis adalah "Si Vis Pacem Para Bellum" yang berarti, siapa yang ingin berdamai, maka harus siap berperang. Karena itu, realisme juga disebut teori yang memandang pesimisme terhadap hal-hal baik seperti perdamaian.

Teori neo-realisme diciptakan oleh Kenneth Waltz dalam karyanya yang berjudul "Theory of International Politics". Teori ini mencoba mengoreksi teori realisme yang menurut Waltz terlalu menekankan pada sifat dasar manusia. Jika realisme mengasumsikan dasar bahwa perang terjadi karena sifat jahat dan egois dari sifat manusia, neo-realisme memiliki asumsi dasar lainnya. Menurut neo-realisme, perang terjadi bukan karena sifat jahat dan egois manusia, tetapi karena sifat anarkis dari struktur internasional. Jadi menurut neo-realisme, perang terjadi bukan karena negara menginginkannya, tetapi karena situasi atau keadaan anarki yang mendesak negara untuk berperang. Berbeda dengan realisme yang menyatakan bahwa tujuan terpenting negara adalah kekuasaan, neo-realisme menyatakan bahwa hal terpenting dalam tujuan negara adalah keamanan. Sedangkan kekuasaan, menurut neo-realisme hanya sebagai alat untuk mencapai tujuan negara, yaitu keamanan.

Ada beberapa asumsi dalam teori neo-realisme. Pertama, neo-realisme menekankan atau berfokus pada struktur internasional yang anarkis dalam melakukan analisis politik global. Kedua, sama seperti realisme, neo-realisme juga mengasumsikan bahwa negara adalah aktor utama dalam politik internasional. Ketiga, neo-realisme mengasumsikan bahwa setiap negara saling mencari keamanan dan keselamatan. Keempat, neo-realisme mengasumsikan bahwa masih ada kerja sama antar negara yang sesuai dengan kemampuan masing-masing negara. Dalam neo-realisme, ada dua pemahaman yang membagi neo-realisme. Pertama, neo-realisme defensif, yang memahami bahwa kekuasaan bukanlah tujuan utama, tetapi cukup bagi negara untuk mempertahankan status quo dan tidak terganggu oleh keamanannya. Kedua, neo-realisme ofensif, yang memiliki kebalikan dari neo-realisme defensif. Neo-realisme ofensif memiliki pemahaman bahwa sistem anarkis mendorong negara untuk berkembang secara agresif dengan langkah-langkah kuat untuk meningkatkan keamanan (Rosyidin, 2020).

Sebuah data dari Stockholm International Peace Research menunjukkan perbandingan militer Rusia dan Ukraina. Dalam data tersebut dijelaskan bahwa Ukraina mengalokasikan 8, 8% dari total anggarannya untuk keperluan militer. Nilai ini setara dengan 5,9 miliar dolar AS. Rusia menghabiskan 11,4% dari anggaran $ 61,7 miliar untuk kepentingan militer Rusia. Hal ini tentu mempengaruhi kuantitas militer kedua negara. Data yang ditunjukkan oleh Al Jazeera menunjukkan bahwa Rusia jelas lebih unggul dengan 900.000 personel militer, 2.000.000 cadangan, 12.420 tank, 1.511 pesawat tempur, 544 helikopter tempur, dan 7.571 artileri. Dibandingkan dengan Rusia, Ukraina hanya memiliki 209.000 personel militer aktif, 900.000 personel cadangan, 2.596 tank, 98 pesawat tempur, 34 helikopter tempur, dan 2.040 artileri (Arfiansyah, 2022).

Dalam setiap fenomena atau peristiwa tentu memiliki aliran awal berupa sebab dan aliran akhir berupa tumbukan. Seperti yang sudah dijelaskan dalam pendahuluan, bahwa invasi Rusia ke Ukraina berasal dari keinginan Ukraina untuk bergabung dengan aliansi pertahanan Barat, yaitu NATO. Hal ini menyebabkan Rusia menginvasi Ukraina. Setelah memutuskan untuk menginvasi Ukraina, tidak lama kemudian Rusia diserang berbagai sanksi oleh beberapa negara, terutama negara-negara Barat seperti Amerika Serikat dan Uni Eropa, bahkan kepada sekutu Barat seperti Jepang, Australia, dan Selandia Baru. Berbagai sanksi dari berbagai negara telah menyerang Rusia.

Sebagian besar sanksi yang diterima Rusia adalah sanksi ekonomi. Uni Eropa menjatuhkan sanksi kepada Rusia seperti melarang perusahaan Eropa bekerja sama dengan perusahaan Rusia, terutama perusahaan di bidang teknologi dan militer. Uni Eropa juga memblokir Internet Research Agency dan melarang ekspor barang dan teknologi yang dapat digunakan secara militer atau non-militer. Tidak hanya dari aspek ekonomi, Eropa juga memblokir maskapai Rusia untuk terbang di wilayah udaranya. Sanksi juga dijatuhkan melalui larangan terhadap beberapa media yang diyakini berpihak pada Rusia (Arfiansyah, 2022).

Amerika Serikat sebagai negara yang dikenal selalu bersaing dengan Rusia juga tidak tinggal diam menanggapi invasi Rusia ke Ukraina. Sama seperti Eropa, Amerika Serikat juga memberlakukan pembatasan ekspor teknologi ke militer Rusia dan membatasi penggunaan operator seluler milik Rusia Rostelecom. Tak hanya itu, Amerika Serikat juga memblokir akses ke bank-bank milik Rusia. Hal ini dilakukan untuk mencegah Rusia dari sistem keuangan global (Arfiansyah, 2022).

Sama seperti Amerika Serikat, Inggris juga memberikan sanksi kepada Rusia. Sanksi itu termasuk membekukan aset bank terbesar Rusia untuk melarang perusahaan Rusia melakukan bisnis di Inggris. Tak hanya itu, Inggris juga melarang maskapai nasional Rusia termasuk jet pribadi dari Rusia melintas atau mendarat di Inggris. Selain Inggris, Kanada juga menjadi salah satu negara yang memberikan sanksi kepada Rusia. Sanksi tersebut mencakup pembatasan pada 58 individu dan entitas Rusia seperti bank, elit keuangan, dan keluarga mereka. Kanada juga menjatuhkan sanksi kepada anggota Dewan Keamanan Rusia. Dalam aspek ekonomi, Kanada telah memberlakukan pembatasan ekspor, menghentikan izin ekspor baru, dan membatalkan izin ekspor yang sah. Sama seperti Amerika Serikat, Kanada juga memblokir bank-bank milik Rusia dari jaringan keuangan SWIFT (Arfiansyah, 2022).

Tak hanya negara-negara Barat, sanksi juga diberikan oleh negara-negara seperti Jepang, Australia, dan Selandia Baru. Sanksi yang dijatuhkan Jepang sama dengan Amerika Serikat dan Kanada, yakni pemblokiran bank-bank milik Rusia dari jaringan keuangan SWIFT. Selain itu, Jepang juga menghentikan ekspor barang-barang yang dibutuhkan militer Rusia. Australia, sementara itu, memberikan sanksi kepada anggota Dewan Keamanan Rusia dalam bentuk larangan perjalanan dan konsekuensi keuangan. Parlemen Australia juga memberlakukan pembatasan investasi pada sanksi dengan beberapa bank milik Rusia. Sama seperti Australia, Selandia Baru juga melarang ekspor ke militer Rusia dan menghentikan konsultasi dengan Kementerian Luar Negeri Rusia. Sanksi lain yang dijatuhkan Selandia Baru juga sama, yakni larangan perjalanan bagi pejabat Rusia dan pihak terkait lainnya (Arfiansyah, 2022).

Selain sanksi yang dijatuhkan kepada Rusia, invasi ini juga berdampak pada dunia. Beberapa dampak kemanusiaan, ekonomi, dan politik yang terjadi karena invasi ini telah membuat seluruh dunia menyoroti Rusia. Menurut data UNHCR, setelah invasi Rusia ke Ukraina, lebih dari 5 juta orang Ukraina telah melarikan diri ke negara-negara tetangga. Hal ini menjadikan jumlah pengungsi Ukraina terbesar kedua di dunia setelah Suriah. UNHCR juga mencatat bahwa lebih dari 7 juta orang Ukraina telah kehilangan rumah mereka.  Ini adalah dampak kemanusiaan (VOA, 2022).

Dampak selanjutnya yang lebih berdampak pada dunia secara luas adalah dampak ekonomi. Dengan invasi tersebut, dapat berdampak pada harga komoditas energi. Rusia adalah negara yang kaya akan energi. Rusia adalah pemasok utama minyak mentah, gas alam, biji-bijian, pupuk, aluminium, tembaga, dan nikel.  Rusia dan Ukraina adalah pemasok 30% gandum, 20% jagung dan gandum, pupuk mineral, dan gas alam, dan 11% minyak dunia.   Jika invasi berlanjut, Rusia akan mengalihkan komoditas tersebut sepenuhnya untuk kepentingan internal Rusia. Jika itu terjadi, maka negara lain akan kehilangan pasokan dan mengalami kenaikan harga. Dampak selanjutnya adalah dampak politik. Invasi Rusia ke Ukraina bertepatan dengan Presidensi Indonesia di G-20. (Oktavianus, 2022)(Kompas, 2022) Hal ini berdampak pada jalannya forum diskusi G-20. Pada pertemuan Menteri Keuangan G-20 di Washington pada 20 April 2022, sejumlah negara meninggalkan ruang pertemuan saat delegasi Rusia berbicara. Beberapa negara tersebut seperti Amerika Serikat, Rusia, dan Kanada (Nugroho, 2022).

Ketika banyak mahasiswa Hubungan Internasional mempertanyakan mengapa Rusia menginvasi Ukraina, penulis mempertanyakan mengapa Ukraina melakukan hal yang menyebabkan Rusia menyerang, dan mengapa Rusia harus khawatir tentang menyerang? Kedua pertanyaan tersebut penulis coba jawab dengan analisis menggunakan pendekatan teoritis realisme dan neo-realisme.

            Apa yang dilakukan Ukraina sampai Rusia menginvasi? Jawaban utamanya adalah karena Ukraina berusaha bergabung dengan aliansi pertahanan negara Barat, NATO. Pertanyaan selanjutnya adalah, mengapa Ukraina ingin bergabung dengan NATO? Jika dianalisis menggunakan pendekatan teori neo-realisme, tentu Ukraina menginginkan keamanan. Apakah Ukraina tidak aman? Jika kita melihat lokasi geografisnya, Ukraina memiliki perbatasan langsung dengan salah satu kekuatan dunia, Rusia. Tidak hanya itu, secara historis Ukraina dan Rusia adalah negara-negara bekas Uni Soviet. Saat ini, peran politik internasional Uni Soviet yang dipegang Rusia tentu membuat Ukraina merasa terancam kedaulatannya. Hal ini telah menimbulkan kekhawatiran bagi Ukraina. Khawatir tentang kedaulatannya yang bisa dipengaruhi oleh Rusia. Terutama, kondisi strategis Ukraina sebagai rute penghubung antara Rusia dan Eropa, membuat tuduhan tentang Rusia yang ingin menguasai Ukraina menjadi semakin besar. Dalam pandangan realisme, Ukraina seharusnya menambah kekuatan untuk mengimbangi Rusia. Tetapi ini sangat sulit dilakukan Ukraina. Hal ini dapat dilihat pada data perbandingan kekuatan militer antara Rusia dan Ukraina yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya. Merasa tidak mampu menyaingi kekuatan Rusia, Ukraina memilih bergabung dengan NATO. Keinginan Ukraina untuk bergabung dengan NATO dapat dikategorikan sebagai neo-realisme defensif. Artinya, tujuan Ukraina adalah keamanan.

            Pertanyaan selanjutnya adalah, mengapa Rusia harus menyerang ketika Ukraina ingin bergabung dengan NATO? Pertanyaan ini akan dijawab dengan menggunakan pendekatan teori realisme. Dengan bergabungnya Ukraina dengan NATO, ini merupakan ancaman bagi Rusia, termasuk ancaman bagi aliansi militer Rusia, CSTO. Karena itu sama dengan Barat yang memegang senjata tepat di kepala Rusia. Jika Ukraina bergabung dengan NATO, akan ada banyak penyebaran senjata NATO di Ukraina, yang secara geografis berbatasan dengan Rusia.  Jadi apa yang dilakukan Rusia sebagai tanggapan atas keinginan Ukraina untuk bergabung dengan NATO adalah bentuk ketidakamanan negara. Dalam teori realisme, ada konsep dilema keamanan yang menjelaskan bahwa ketika suatu negara merasa insecure dengan penambahan kekuatan negara lain, maka negara tersebut akan saling meningkatkan kekuatan. Tetapi dalam kasus ini, Rusia tidak khawatir tentang penambahan kekuatan Ukraina. Rusia khawatir tentang perluasan pengaruh militer negara-negara barat yang mulai mendekati perbatasannya. Dengan demikian, konsep realisme yang tepat untuk digunakan untuk menganalisis dalam hal ini adalah konsep keseimbangan kekuasaan.

Ada dua pola utama dalam konsep keseimbangan kekuasaan. Pertama, pola resistensi langsung. Pola ini menggambarkan bahwa suatu negara ingin menguasai negara lain secara langsung melalui kebijakan luar negeri imperialistiknya, sedangkan negara yang ingin dikuasai menolak untuk dikendalikan dengan mempertahankan kedaulatan dan kekuasaannya atau dengan melawan balik dengan kebijakan luar negerinya yang juga imperialistik. Kedua, pola persaingan. Pola ini menggambarkan kedua negara saling bertarung satu sama lain untuk mendominasi negara lain. Dalam implementasinya ada beberapa metode keseimbangan kekuatan, termasuk:

Menjaga agar negara-negara saingan tetap lemah dengan membagi kekuasaan atau mempertahankan kekuasaan mereka terpisah.

Distribusi kompensasi wilayah untuk menjaga keseimbangan kekuasaan terganggu oleh pengambilalihan wilayah oleh negara lain.

Penggunaan senjata untuk menjaga atau membangun kembali keseimbangan kekuatan.

Menggunakan aliansi.

Menggunakan pihak ketiga sebagai penyeimbang.

Jika analisis dilakukan dengan menggunakan konsep keseimbangan kekuatan, pada awalnya invasi Rusia ke Ukraina adalah pola persaingan. Ini dapat dilihat bagaimana Amerika Serikat dan Barat adalah anggota NATO, dan Rusia, memiliki minat untuk memperluas pengaruh militer di Ukraina. Tetapi ketika Rusia benar-benar mengambil tindakan militer terhadap Ukraina, ada perubahan pola untuk mengarahkan perlawanan. Negara-negara NATO menjadi enggan memberikan bantuan militer yang serius kepada Ukraina setelah Rusia benar-benar mengambil tindakan militer. Ada beberapa faktor mengapa NATO berperilaku seperti ini. Pertama, dari sisi Amerika Serikat yang kini dipimpin oleh Presiden Joe Biden dari Partai Demokrat yang memang cenderung melakukan langkah-langkah diplomasi soft power. Kedua, mengingat ketergantungan Eropa pada pasokan energi dari Rusia.

Mengenai metode keseimbangan kekuatan, apa yang terjadi antara Rusia dan Ukraina cenderung termasuk dalam kategori metode dengan penggunaan senjata militer. Meskipun ada keterlibatan aliansi pertahanan seperti NATO, tetapi ini tidak cukup kuat untuk dikatakan termasuk dalam kategori metode penggunaan aliansi. Sebab, Ukraina sendiri belum resmi bergabung dengan NATO. Belakangan, Rusia juga bertindak atas nama negaranya sendiri, bukan atas nama CSTO. Jadi analisis yang paling tepat dalam penggunaan metode keseimbangan kekuatan adalah penggunaan senjata militer. Sebab, upaya balance of power yang  dilakukan Rusia untuk mengimbangi pengaruh militer negara-negara Barat dilakukan oleh Rusia dengan menggunakan senjata militer.

            Selain menganalisis penyebab invasi Rusia ke Ukraina, penulis juga berusaha menganalisis konsekuensi dan beberapa kemungkinan yang bisa terjadi. Kemungkinan pertama yang dapat dianalisis dari sudut pandang realisme adalah bahwa, dengan invasi ini, dapat diprediksi bahwa setiap negara akan meningkatkan kekuatan. Dari sudut pandang neo-realisme, diprediksi bahwa setiap negara akan membuat pilihan antara kubu barat atau kubu negara Rusia. Kemungkinan negara melakukan keduanya, yaitu menambah kekuatan dan membentengi juga tidak bisa dihindari, itu bisa terjadi. Dalam hal ekonomi, mungkin negara akan melakukan apa yang dipikirkan neo-liberalisme.

            Salah satu kemungkinan jika itu terjadi akan sangat berbahaya adalah jika sekutu Rusia, yakni China juga menginvasi Taiwan. Hal ini bisa terjadi mengingat hubungan antara China dan Taiwan yang sangat mirip. Beberapa orang memprediksi bahwa jika itu terjadi, maka mungkin ada perang nuklir yang mengarah pada perang dunia ketiga. Selain China, negara lain yang menjadi perhatian dunia adalah Korea Utara. Negara itu bisa saja melakukan hal yang sama dengan Korea Selatan. Namun, semua kemungkinan ini tidak diharapkan terjadi dan dapat mengarah pada resolusi konflik.

Sebagai kesimpulan, penulis menyimpulkan bahwa apa yang terjadi di Ukraina adalah hasil dari keprihatinan Rusia tentang hegemoni Amerika Serikat dan Barat. Dengan demikian, penulis menilai bahwa sebenarnya invasi ini sama dengan perang lainnya di Timur Tengah, sama seperti perang di Korea, perang di Vietnam, dan bahkan mungkin sama dengan perang yang ada di dunia pasca-Perang Dunia Kedua. Apa yang sama? Menurut penulis yang sama adalah akar masalah dan motifnya. Akar masalahnya adalah dualisme kekuatan dunia. Motifnya adalah ingin menjadi yang terkuat. Ini mirip dengan Perang Dingin. Beberapa perang lain seperti di Timur Tengah, Vietnam, Korea, dan sebagainya juga memiliki kesamaan seperti itu. Sehingga perang yang ada selama ini adalah perang untuk mempertaruhkan pengaruh kekuatan dunia.  Sulit bagi penulis untuk menganalisis kapan keadaan saling mempengaruhi ini akan selesai. Sehingga penulis melihat hal ini sebagai sebuah keniscayaan. Tapi, penulis menganut prinsip realisme bahwa konflik tidak dapat dihindari tetapi dapat dikelola. Meskipun kita sering berkelahi, kita juga sering berdamai. Penulis menganggap ini sebagai dinamika yang telah menjadi hukum alam.

Referensi

Buku

Morgenthau, H. J. (1948). Politics Among Nations. New York: Alfred A. Knopf. Inc.

Rosyidin, M. (2020). Teori Hubungan Internasional Dari Perspektif Klasik Sampai Non-Barat. (Y. S. Hayati, Ed.) Depok, Jawa Barat, Indonesia: PT RajaGrafindo Persada.

Valdai Discussion Club. (2014). The Crisis in the Ukraine: Root, Causes, and Scenarios for the Future. Moskow.

Jurnal

Hendra, Z., Musani, I., & Samiaji, R. (2021, Juli 18). Studi Kasus Perang Modern Antara Rusia Dengan Ukraina Tahun 2014 Di Tinjau Dari Aspek Strategi Dan Hubungan Internasional Serta Manfaatnya Bagi TNI AL. Jurnal Manajemen Pendidikan dan Ilmu Sosial, 2(2), 730-731. doi:https://doi.org/10.38035/jmpis.v2i2

Kuzio, T. (2015). The Origin of Peace, Non-Violence, and Conflict in Ukraine. E-IR.

Maio, G. D. (2016). Russia's View of Ukraine After Crisis. IAI WORKING PAPERS, 4

Artikel Berita

Arfiansyah, T. R. (2022, Maret 5). Daftar Sanksi yang Dijatuhkan kepada Rusia atas Invasi Ukraina, Apa Saja? (S. Hardiyanto, Ed.) Kompas.com. Retrieved April 25, 2022, from https://www.kompas.com/tren/read/2022/03/05/123000765/daftar-sanksi-yang-dijatuhkan-kepada-rusia-atas-invasi-ukraina-apa-saja-?page=all

CNBC Indonesia. (2022, Maret 2). Ini Kronologi Perang Rusia-Ukraina, Apa Penyebab Putin Murka? Jakarta, DKI Jakarta, Indonesia: CNBC Indonesia. Retrieved April 18, 2022, from https://www.cnbcindonesia.com/news/20220302063202-4-319392/ini-kronologi-perang-rusia-ukraina-apa-penyebab-putin-murka/4

Kompas. (2022, April 20). Risiko Ekonomi Perang di Ukraina dan Tantangan Presidensi G20 di Bali. (E. Patnistik, Ed.) Kompas.com. Retrieved April 25, 2022, from https://www.kompas.com/global/read/2022/04/20/104939970/risiko-ekonomi-perang-di-ukraina-dan-tantangan-presidensi-g20-di-bali?page=all

Nugroho, R. S. (2022, April 23). Ada Tiga Daftar Negara yang Walk Out dari G20, Kok Bisa? Retrieved April 25, 2022, from https://www.idxchannel.com/economics/ada-tiga-daftar-negara-yang-walk-out-dari-g20-kok-bisa

Octaviano, A. (2022, Maret 5). Dampak Invasi Rusia ke Ukraina, Harga Komoditas Melambung Tinggi. (Handoyo, Ed.) Jakarta, DKI Jakarta, Indonesia. Retrieved April 25, 2022, from https://newssetup.kontan.co.id/news/dampak-invasi-rusia-ke-ukraina-harga-komoditas-melambung-tinggi?page=all

VOA. (2022, April 20). UNHCR: Jumlah Pengungsi Ukraina Mencapai Lima Juta Orang. Retrieved April 25, 2022, from https://www.voaindonesia.com/a/unhcr-jumlah-pengungsi-ukraina-mencapai-lima-juta-orang/6537066.html

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun