Mohon tunggu...
FAJRIN PUTRA WIJAYA
FAJRIN PUTRA WIJAYA Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional FISIP UIN Jakarta

Tak masalah menjadi dibenci, asal tidak menjadi pembenci.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Analisis Invasi Rusia ke Ukraina: Perspektif Realisme dan Neo-Realisme

25 Oktober 2022   15:00 Diperbarui: 25 Oktober 2022   15:05 853
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Ada beberapa asumsi dasar dalam teori realisme. Pertama, bahwa negara adalah aktor utama dalam politik internasional. Bahwa memang benar ada aktor internasional lain selain negara, tetapi pada akhirnya hanya tindakan negara yang menjadi penentu. Kedua, moralitas negara adalah kepentingan nasional. Kepentingan nasional suatu negara adalah tentang keamanan dan kekuatan. Sehingga dalam memahami Realisme, negara berorientasi untuk menjadi yang terkuat sehingga sekaligus bisa menjadi yang paling aman. Ketiga, struktur internasional anarki. Asumsi ini memperjelas bahwa tidak ada otoritas yang lebih tinggi dari negara, sehingga negara bebas bertindak kapan saja untuk mencapai kepentingannya tanpa campur tangan koersif dari pihak lain.

Lebih dalam tentang teori realisme, ada prinsip-prinsip dalam teori realisme. Prinsip pertama adalah bahwa politik diatur oleh hukum objektif yang berakar pada sifat manusia yang kemudian diwakili oleh negara. Kedua, moralitas negara adalah kepentingan nasional yang ditentukan oleh kekuasaan. Ketiga, moralitas negara yang bersangkutan tidak berimplikasi pada perubahan sejarah dan pelaksanaan kekuasaan bersifat permanen. Keempat, tindakan negara yang tidak dapat diprediksi membutuhkan kehati-hatian dalam menanggapi tindakan negara. Kelima, realisme politik menolak untuk mengidentifikasi aspirasi moral suatu bangsa tertentu dengan hukum moral yang mengatur alam semesta.  Keenam, politik adalah bidang studi yang otonom dan terpisah atau berbeda dengan studi lain (Morgenthau, 1948).

Selain konsep anarki internasional yang menjelaskan bahwa tidak ada otoritas yang lebih tinggi dari negara, sehingga negara dalam menjalankan tindakannya tidak dipengaruhi oleh pihak lain, realisme juga memiliki konsep dilema keamanan. Konsep ini menjelaskan bahwa ketika suatu negara menambah kekuasaan, maka negara lain akan merasa insecure dan akan ikut menambah kekuasaan, sebagaimana adanya seterusnya. Situasi seperti ini disebut oleh kaum realis sebagai negara damai. Oleh karena itu, realisme percaya bahwa konflik tidak dapat dihindari tetapi dapat dikelola. Salah satu frasa terkenal dari kaum realis adalah "Si Vis Pacem Para Bellum" yang berarti, siapa yang ingin berdamai, maka harus siap berperang. Karena itu, realisme juga disebut teori yang memandang pesimisme terhadap hal-hal baik seperti perdamaian.

Teori neo-realisme diciptakan oleh Kenneth Waltz dalam karyanya yang berjudul "Theory of International Politics". Teori ini mencoba mengoreksi teori realisme yang menurut Waltz terlalu menekankan pada sifat dasar manusia. Jika realisme mengasumsikan dasar bahwa perang terjadi karena sifat jahat dan egois dari sifat manusia, neo-realisme memiliki asumsi dasar lainnya. Menurut neo-realisme, perang terjadi bukan karena sifat jahat dan egois manusia, tetapi karena sifat anarkis dari struktur internasional. Jadi menurut neo-realisme, perang terjadi bukan karena negara menginginkannya, tetapi karena situasi atau keadaan anarki yang mendesak negara untuk berperang. Berbeda dengan realisme yang menyatakan bahwa tujuan terpenting negara adalah kekuasaan, neo-realisme menyatakan bahwa hal terpenting dalam tujuan negara adalah keamanan. Sedangkan kekuasaan, menurut neo-realisme hanya sebagai alat untuk mencapai tujuan negara, yaitu keamanan.

Ada beberapa asumsi dalam teori neo-realisme. Pertama, neo-realisme menekankan atau berfokus pada struktur internasional yang anarkis dalam melakukan analisis politik global. Kedua, sama seperti realisme, neo-realisme juga mengasumsikan bahwa negara adalah aktor utama dalam politik internasional. Ketiga, neo-realisme mengasumsikan bahwa setiap negara saling mencari keamanan dan keselamatan. Keempat, neo-realisme mengasumsikan bahwa masih ada kerja sama antar negara yang sesuai dengan kemampuan masing-masing negara. Dalam neo-realisme, ada dua pemahaman yang membagi neo-realisme. Pertama, neo-realisme defensif, yang memahami bahwa kekuasaan bukanlah tujuan utama, tetapi cukup bagi negara untuk mempertahankan status quo dan tidak terganggu oleh keamanannya. Kedua, neo-realisme ofensif, yang memiliki kebalikan dari neo-realisme defensif. Neo-realisme ofensif memiliki pemahaman bahwa sistem anarkis mendorong negara untuk berkembang secara agresif dengan langkah-langkah kuat untuk meningkatkan keamanan (Rosyidin, 2020).

Sebuah data dari Stockholm International Peace Research menunjukkan perbandingan militer Rusia dan Ukraina. Dalam data tersebut dijelaskan bahwa Ukraina mengalokasikan 8, 8% dari total anggarannya untuk keperluan militer. Nilai ini setara dengan 5,9 miliar dolar AS. Rusia menghabiskan 11,4% dari anggaran $ 61,7 miliar untuk kepentingan militer Rusia. Hal ini tentu mempengaruhi kuantitas militer kedua negara. Data yang ditunjukkan oleh Al Jazeera menunjukkan bahwa Rusia jelas lebih unggul dengan 900.000 personel militer, 2.000.000 cadangan, 12.420 tank, 1.511 pesawat tempur, 544 helikopter tempur, dan 7.571 artileri. Dibandingkan dengan Rusia, Ukraina hanya memiliki 209.000 personel militer aktif, 900.000 personel cadangan, 2.596 tank, 98 pesawat tempur, 34 helikopter tempur, dan 2.040 artileri (Arfiansyah, 2022).

Dalam setiap fenomena atau peristiwa tentu memiliki aliran awal berupa sebab dan aliran akhir berupa tumbukan. Seperti yang sudah dijelaskan dalam pendahuluan, bahwa invasi Rusia ke Ukraina berasal dari keinginan Ukraina untuk bergabung dengan aliansi pertahanan Barat, yaitu NATO. Hal ini menyebabkan Rusia menginvasi Ukraina. Setelah memutuskan untuk menginvasi Ukraina, tidak lama kemudian Rusia diserang berbagai sanksi oleh beberapa negara, terutama negara-negara Barat seperti Amerika Serikat dan Uni Eropa, bahkan kepada sekutu Barat seperti Jepang, Australia, dan Selandia Baru. Berbagai sanksi dari berbagai negara telah menyerang Rusia.

Sebagian besar sanksi yang diterima Rusia adalah sanksi ekonomi. Uni Eropa menjatuhkan sanksi kepada Rusia seperti melarang perusahaan Eropa bekerja sama dengan perusahaan Rusia, terutama perusahaan di bidang teknologi dan militer. Uni Eropa juga memblokir Internet Research Agency dan melarang ekspor barang dan teknologi yang dapat digunakan secara militer atau non-militer. Tidak hanya dari aspek ekonomi, Eropa juga memblokir maskapai Rusia untuk terbang di wilayah udaranya. Sanksi juga dijatuhkan melalui larangan terhadap beberapa media yang diyakini berpihak pada Rusia (Arfiansyah, 2022).

Amerika Serikat sebagai negara yang dikenal selalu bersaing dengan Rusia juga tidak tinggal diam menanggapi invasi Rusia ke Ukraina. Sama seperti Eropa, Amerika Serikat juga memberlakukan pembatasan ekspor teknologi ke militer Rusia dan membatasi penggunaan operator seluler milik Rusia Rostelecom. Tak hanya itu, Amerika Serikat juga memblokir akses ke bank-bank milik Rusia. Hal ini dilakukan untuk mencegah Rusia dari sistem keuangan global (Arfiansyah, 2022).

Sama seperti Amerika Serikat, Inggris juga memberikan sanksi kepada Rusia. Sanksi itu termasuk membekukan aset bank terbesar Rusia untuk melarang perusahaan Rusia melakukan bisnis di Inggris. Tak hanya itu, Inggris juga melarang maskapai nasional Rusia termasuk jet pribadi dari Rusia melintas atau mendarat di Inggris. Selain Inggris, Kanada juga menjadi salah satu negara yang memberikan sanksi kepada Rusia. Sanksi tersebut mencakup pembatasan pada 58 individu dan entitas Rusia seperti bank, elit keuangan, dan keluarga mereka. Kanada juga menjatuhkan sanksi kepada anggota Dewan Keamanan Rusia. Dalam aspek ekonomi, Kanada telah memberlakukan pembatasan ekspor, menghentikan izin ekspor baru, dan membatalkan izin ekspor yang sah. Sama seperti Amerika Serikat, Kanada juga memblokir bank-bank milik Rusia dari jaringan keuangan SWIFT (Arfiansyah, 2022).

Tak hanya negara-negara Barat, sanksi juga diberikan oleh negara-negara seperti Jepang, Australia, dan Selandia Baru. Sanksi yang dijatuhkan Jepang sama dengan Amerika Serikat dan Kanada, yakni pemblokiran bank-bank milik Rusia dari jaringan keuangan SWIFT. Selain itu, Jepang juga menghentikan ekspor barang-barang yang dibutuhkan militer Rusia. Australia, sementara itu, memberikan sanksi kepada anggota Dewan Keamanan Rusia dalam bentuk larangan perjalanan dan konsekuensi keuangan. Parlemen Australia juga memberlakukan pembatasan investasi pada sanksi dengan beberapa bank milik Rusia. Sama seperti Australia, Selandia Baru juga melarang ekspor ke militer Rusia dan menghentikan konsultasi dengan Kementerian Luar Negeri Rusia. Sanksi lain yang dijatuhkan Selandia Baru juga sama, yakni larangan perjalanan bagi pejabat Rusia dan pihak terkait lainnya (Arfiansyah, 2022).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun