Kita hanyalah tokoh dalam skenario Tuhan. Sebuah naskah yang sudah tertulis jauh sebelum kita sempat memikirkan alasan keberadaan kita di dunia ini. Tidak ada yang bisa diubah, apalagi diulang. Setiap langkah yang kita ambil, setiap kata yang terucap, hingga setiap air mata yang jatuh, semuanya telah menjadi bagian dari cerita besar yang bahkan tak mampu kita pahami seluruhnya.
Ada kalanya kita ingin bertanya, kenapa aku yang dipilih untuk peran ini? Mengapa jalanku harus penuh duri, sementara orang lain tampak melangkah di jalan yang dipenuhi bunga? Tetapi di situlah letak misterinya, karena peran kita bukan tentang apa yang terlihat oleh mata, melainkan tentang bagaimana kita menjalani takdir itu dengan hati.
Tuhan adalah sutradara agung. Ia tahu kapan kita harus jatuh, kapan kita harus menangis, dan kapan saatnya bahagia tiba. Mungkin skenario ini terasa berat, seperti beban yang tak mampu kita pikul. Namun, bukankah sebuah cerita menjadi indah justru karena lika-likunya? Seperti alur film yang tak akan menarik tanpa konflik, begitu pula hidup ini.
Dan meskipun kita tak punya kuasa untuk mengubah naskah itu, kita punya pilihan: menjalani peran dengan penuh penerimaan atau terus mempertanyakan sesuatu yang tak akan pernah berubah. Pada akhirnya, setiap tokoh di dalam skenario ini punya tugas yang sama---mencari makna di balik setiap adegan yang diberikan.
Karena itulah hidup. Sebuah kisah yang, meskipun tampak tak adil, selalu memiliki alasan untuk setiap detailnya. Sebuah cerita yang tidak akan pernah selesai tanpa kita memahami bahwa kita hanyalah tokoh dalam skenario Tuhan, yang harus dimainkan dengan penuh keikhlasan dan pengharapan.
Penulis: Fajrin BilontaloÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H