Bab 2: Meragukan Segalanya
"Menggali makna "aku" dan pentingnya kesadaran sebagai inti keberadaan."
Di malam-malam berikutnya, aku mulai menghayati gagasan Descartes tentang keraguan. Ia percaya bahwa untuk menemukan kebenaran yang pasti, kita harus terlebih dahulu meragukan segala hal. "Hanya dengan meragukan," tulisnya, "aku bisa menemukan apa yang pasti."(1) Dengan kalimat itu, aku seperti diberi izin untuk memandang dunia ini tanpa prasangka---sebuah latihan untuk meruntuhkan segala keyakinan yang selama ini ku anggap benar.
Aku mulai bertanya: Apakah semua yang aku ketahui tentang dunia ini adalah benar? Ataukah aku hanya menerima apa yang diwariskan oleh lingkungan dan pengalamanku? Descartes berbicara tentang ilusi indera, bagaimana hal-hal yang tampak nyata bisa saja menipu kita.(2) Bukankah selama ini aku terlalu bergantung pada penglihatan, pendengaran, atau pengalaman hidup tanpa menyelaminya lebih dalam?
Di titik ini, aku mulai meragukan bahkan keberadaan orang-orang di sekitarku, hingga kesahihan dari kenangan masa lalu. Aku berpikir, mungkinkah semua yang kualami adalah rekayasa pikiranku sendiri?Â
Layaknya seorang pelukis yang menciptakan dunia di atas kanvas, mungkin pikiranku juga membentuk realitasnya sendiri. Aku merasa terasing dari dunia, namun di saat yang sama, merasakan kebebasan yang aneh---kebebasan untuk mulai dari nol.
Descartes seolah menjawab setiap keraguanku dengan senyuman samar. "Keraguan adalah pintu menuju pemahaman," ia berkata dalam benakku.(3) Ia mengajarkan bahwa keraguan bukanlah kelemahan, melainkan kekuatan untuk mempertanyakan segala sesuatu yang tampak begitu pasti.Â
Dari sinilah, aku mulai mengikis keyakinan lama yang terbentuk dari ajaran orang lain, dari dogma-dogma yang kuikuti tanpa pernah mempertanyakannya.
Saat aku menyelami konsep keraguan ini, terasa seperti membersihkan cermin yang tertutup debu. Aku mulai melihat refleksi diriku lebih jernih, lebih jelas.Â
Setiap keyakinan yang runtuh memberi ruang bagi pemahaman baru yang lahir dari pikiranku sendiri, bukan sekadar peniruan.(4) Aku mulai memahami bahwa pencarian ini mungkin tak akan pernah selesai---tetapi mungkin itulah kebenaran terbesar yang Descartes ingin aku sadari.