Senja itu tiba dengan wajah yang tak lagi utuh, seperti cermin yang pecah, memantulkan serpihan warna yang tak seindah dulu.Â
Di langit yang merona, ada celah-celah hampa di antara sapuan jingganya, seakan alam mengisyaratkan bahwa sesuatu telah berubah. Seperti lukisan yang memudar, tiap goresan senja itu menggambarkan rasa yang tak tersampaikan.
Waktu merengkuh perlahan, namun di balik keindahan yang meluruh itu, ada luka yang mengintip. Setiap retakan di langit menjadi metafora dari hati yang tergores, sebuah harapan yang pernah ditanam di tepian cakrawala, kini terancam hilang dalam keheningan. Warna-warna lembut yang biasanya menghibur, kini terasa asing seperti lukisan yang tak selesai.
Namun, tangan ini masih menggenggam kuas, mencoba melukis ulang yang telah retak. Setiap garis yang ditarik mencoba menutupi celah, setiap warna yang diaduk berusaha mengembalikan kehangatan yang pernah ada.Â
Adakalanya, yang retak tak perlu disembunyikan. Retakan itu sendiri adalah cerita, jejak yang mengajarkan bahwa keindahan tak selalu datang dari kesempurnaan.
Di hadapan senja yang tak lagi sama, lukisan ini tak akan sempurna. Tapi dari setiap retakannya, lahir sebuah narasi baru, tentang keberanian, tentang menerima luka, dan tentang bagaimana senja yang patah bisa tetap memancarkan keindahannya, meski dalam bentuk yang berbeda.
Setiap goresan itu akhirnya membentuk gambaran yang utuh, sebuah senja yang tak lagi sempurna, tapi justru indah dalam ketidaksempurnaannya.
Penulis: Fajrin Bilontalo
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H