Aku mencintaimu dengan prinsip sosialisme, berbagi segala yang kupunya, merata, tanpa syarat. Cinta ini ingin menjelma sistem yang setara, memberi lebih ketika kau membutuhkan dan meminta lebih sedikit ketika kau sedang berlimpah.Â
Di hatiku, cinta tak pernah bertransaksi, tapi selalu solidaritas. Aku rela mengorbankan diriku untuk melihatmu bahagia, tanpa menghitung apa yang akan kudapatkan. Semua yang kumiliki, kukorbankan demi kita berdua.
Namun, kau mencintaiku layaknya kapitalisme. Kau menimbang-nimbang, mencatat untung dan rugi, menghitung seberapa besar yang telah kuinvestasikan dalam cinta ini, dan apa yang seharusnya kudapatkan kembali. Cintamu menuntut profit, selalu mencari cara untuk mendapatkan lebih, menguras perhatian dan perasaan. Kau mengukur cinta dengan timbangan harga, bukan keikhlasan. Bagimu, cinta adalah tentang apa yang kau terima, bukan apa yang bisa kau berikan.
Aku bermimpi tentang sebuah revolusi di dalam hati kita, sebuah transformasi di mana cinta tidak lagi tentang siapa yang memiliki kuasa lebih, tetapi bagaimana kita bisa saling menguatkan. Tapi, kau tetap ingin berdiri di puncak, melihat cinta ini sebagai pasar yang penuh kompetisi, bukan ladang kerjasama.
Mungkin inilah alasan mengapa meskipun kita saling mencintai, kita tak pernah benar-benar sejalan. Aku percaya pada cinta yang membebaskan, yang egaliter.Â
Sementara itu, kau mencintaiku dengan cara yang membuatku terus merasa kurang, terus harus bersaing, berjuang untuk mendapatkan sepotong cinta darimu.
Dan di antara perbedaan ideologi ini, aku bertanya-tanya, bisakah kita menemukan jalan tengah? Atau haruskah cinta ini runtuh layaknya ekonomi yang tak seimbang, karena kita tak mampu berbagi mimpi yang sama?
Penulis: Fajrin BilontaloÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H