Setiap tanggal 2 Oktober, Indonesia merayakan Hari Batik Nasional, sebuah peringatan yang mengukuhkan posisi Batik sebagai warisan budaya tak benda dunia versi UNESCO. Kita, sebagai bangsa, tentunya bangga atas pengakuan ini. Namun, dalam gegap gempita perayaan Batik, ada kekhawatiran bahwa fokus nasional pada Batik sebagai simbol budaya bangsa justru menenggelamkan kekayaan karya daerah lain yang juga bernilai tinggi.
Karya seni tradisional dari berbagai daerah, seperti tenun, anyaman, atau ukiran, menggambarkan kehalusan cita rasa dan kekayaan budaya masyarakat setempat. Namun, berbeda dengan Batik yang telah mendunia, banyak dari karya-karya ini masih relatif kurang dikenal, bahkan di tingkat nasional. Hal ini mengangkat satu pertanyaan besar; apakah perayaan Batik setiap tahunnya secara tak sadar memperkuat suatu bentuk primordialisme budaya, yakni mengutamakan salah satu karya tradisional, dan meninggalkan yang lain?
Sebagai negara yang kaya akan budaya dan etnis, Indonesia tidak kekurangan produk seni lokal yang patut dibanggakan. Tenun dari Nusa Tenggara, Ulos dari Sumatra Utara, hingga Ikat dari Sumba merupakan beberapa contoh warisan budaya yang tak kalah penting. Namun, fokus yang terlalu terpusat pada Batik bisa berujung pada ketimpangan apresiasi terhadap seni daerah lain.
Tentu, tidak ada yang salah dalam merayakan Batik, bahkan wajib kita jaga sebagai identitas nasional. Akan tetapi, di saat yang bersamaan, kita juga perlu memastikan bahwa perayaan seperti ini tidak menutupi karya-karya daerah yang lebih kecil namun sama berharganya. Kita harus melawan sikap primordialisme budaya yang mungkin muncul secara tidak disadari, dan memupuk semangat inklusivitas dalam merawat budaya nusantara.
Bagaimana dengan karya seni daerah lainnya? Apakah kita sudah cukup memberi ruang bagi mereka untuk berkembang, dikenal, dan dicintai? Mungkin Hari Batik seharusnya juga menjadi momen refleksi, bahwa keberagaman budaya Indonesia adalah anugerah, dan setiap karya lokal perlu mendapatkan tempat yang sama dalam hati masyarakat.
Perayaan budaya seharusnya menyatukan kita dalam keberagaman, bukan meminggirkan satu demi mengutamakan yang lain. Hari Batik, dengan segala kemeriahannya, hendaknya tidak menjadi hari di mana karya-karya lain tenggelam di bawah bayang-bayang keagungan Batik. Sebaliknya, ini bisa menjadi titik tolak bagi kita untuk lebih menghargai semua bentuk karya daerah, baik yang sudah mendunia, maupun yang sedang berjuang meraih pengakuan.
Penulis: Fajrin BilontaloÂ