Mohon tunggu...
Fajrin Bilontalo
Fajrin Bilontalo Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Dibalik Perayaan Hari Batik, Ada Karya Daerah yang Tenggelam

3 Oktober 2024   04:19 Diperbarui: 3 Oktober 2024   05:03 15
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Setiap tanggal 2 Oktober, Indonesia merayakan Hari Batik Nasional, sebuah peringatan yang mengukuhkan posisi Batik sebagai warisan budaya tak benda dunia versi UNESCO. Kita, sebagai bangsa, tentunya bangga atas pengakuan ini. Namun, dalam gegap gempita perayaan Batik, ada kekhawatiran bahwa fokus nasional pada Batik sebagai simbol budaya bangsa justru menenggelamkan kekayaan karya daerah lain yang juga bernilai tinggi.

Karya seni tradisional dari berbagai daerah, seperti tenun, anyaman, atau ukiran, menggambarkan kehalusan cita rasa dan kekayaan budaya masyarakat setempat. Namun, berbeda dengan Batik yang telah mendunia, banyak dari karya-karya ini masih relatif kurang dikenal, bahkan di tingkat nasional. Hal ini mengangkat satu pertanyaan besar; apakah perayaan Batik setiap tahunnya secara tak sadar memperkuat suatu bentuk primordialisme budaya, yakni mengutamakan salah satu karya tradisional, dan meninggalkan yang lain?

Sebagai negara yang kaya akan budaya dan etnis, Indonesia tidak kekurangan produk seni lokal yang patut dibanggakan. Tenun dari Nusa Tenggara, Ulos dari Sumatra Utara, hingga Ikat dari Sumba merupakan beberapa contoh warisan budaya yang tak kalah penting. Namun, fokus yang terlalu terpusat pada Batik bisa berujung pada ketimpangan apresiasi terhadap seni daerah lain.

Tentu, tidak ada yang salah dalam merayakan Batik, bahkan wajib kita jaga sebagai identitas nasional. Akan tetapi, di saat yang bersamaan, kita juga perlu memastikan bahwa perayaan seperti ini tidak menutupi karya-karya daerah yang lebih kecil namun sama berharganya. Kita harus melawan sikap primordialisme budaya yang mungkin muncul secara tidak disadari, dan memupuk semangat inklusivitas dalam merawat budaya nusantara.

Bagaimana dengan karya seni daerah lainnya? Apakah kita sudah cukup memberi ruang bagi mereka untuk berkembang, dikenal, dan dicintai? Mungkin Hari Batik seharusnya juga menjadi momen refleksi, bahwa keberagaman budaya Indonesia adalah anugerah, dan setiap karya lokal perlu mendapatkan tempat yang sama dalam hati masyarakat.

Perayaan budaya seharusnya menyatukan kita dalam keberagaman, bukan meminggirkan satu demi mengutamakan yang lain. Hari Batik, dengan segala kemeriahannya, hendaknya tidak menjadi hari di mana karya-karya lain tenggelam di bawah bayang-bayang keagungan Batik. Sebaliknya, ini bisa menjadi titik tolak bagi kita untuk lebih menghargai semua bentuk karya daerah, baik yang sudah mendunia, maupun yang sedang berjuang meraih pengakuan.

Penulis: Fajrin Bilontalo 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun