Suara riuh rendah pengunjung warkop di Kabupaten Gorontalo menjadi latar suasana malam itu. Di sudut sebuah meja kayu sederhana, kami duduk mengelilingi secangkir kopi hitam panas.Â
Diskusi malam itu bergulir ke topik seni dan politik---dua hal yang tampaknya berseberangan, namun seringkali saling bersinggungan. Salah satu senior saya, Jefri Polinggapo membuka pembicaraan dengan mengutip esai David Brooks, "The Power of Art in a Political Age."
"Menurut Brooks," ujarnya sambil menyeruput kopinya, "Seni bisa jadi jembatan di tengah perpecahan politik yang makin parah. Di saat kita sering kali dipaksa memilih kubu dalam politik, seni menawarkan ruang untuk berefleksi dan membangun empati."
Mendengar hal itu, kami merenung sejenak, mengangguk setuju. Di Kabupaten Gorontalo, sama seperti di banyak tempat lain, kita tidak terhindarkan dari efek polarisasi politik. Di warkop yang sering jadi tempat diskusi seperti ini, perbedaan pandangan kerap muncul. Tetapi, malam itu, kami mencoba melihat sesuatu dari sudut pandang yang lebih dalam: bagaimana seni mampu menyatukan, bahkan dalam perpecahan.
Seni Sebagai Cerminan dan Pelarian
Selang beberapa menit, seorang teman saya, Man'uth Mustamir Ishak menimpali, "Seni juga kan refleksi dari politik itu sendiri, tapi dengan cara yang lebih fleksibel. Misalnya, lihat saja karya seni rupa atau musik yang ada di sini, banyak yang tanpa sadar mengkritik kondisi sosial. Tapi mereka melakukannya dengan cara yang lembut dan simbolis."
Di antara hiruk-pikuk politik yang sering kali terlihat kaku dan penuh kepentingan, kami menyadari bahwa seni memiliki cara unik untuk menyuarakan realitas. Politik, dengan batasan ideologinya, tak jarang membuat orang terpecah-belah. Tetapi seni---baik itu dalam lukisan, puisi, atau musik lokal---selalu memiliki cara untuk menyatukan kita dalam rasa dan pemahaman yang lebih luas.
Menghubungkan Manusia Melalui Empati
Brooks berbicara tentang kekuatan seni dalam membentuk empati. Seni, katanya, punya cara untuk menyentuh kita secara pribadi, di tempat-tempat yang tak bisa dijangkau oleh pidato atau perdebatan politik. Di sini, di Kabupaten Gorontalo, kami pun merasakan hal yang sama. Dalam karya-karya seni lokal, seringkali tersirat cerita tentang kehidupan sehari-hari, perjuangan, cinta, dan kehilangan. Karya-karya ini menghubungkan kami sebagai manusia, terlepas dari perbedaan pandangan politik.
Lebih lanjut, seorang teman sebaya juga, yang merupakan penggemar seni, berbagi pandangannya dengan kami, "Seniman di Gorontalo pun sering kali menghadirkan karya yang mengajak kita merasakan apa yang orang lain rasakan. Entah itu lewat musik atau lukisan, kita jadi lebih terbuka terhadap pengalaman orang lain, yang mungkin jauh dari pengalaman kita sendiri. Di situlah letak kekuatan seni---membangkitkan empati."