Banyak yang beranggapan bahwa para filsuf besar tentu dihargai di tanah kelahirannya. Namun, sejarah sering kali menunjukkan hal yang sebaliknya, banyak pemikir terbesar justru mendapatkan pengakuan di tempat yang jauh dari tempat mereka lahir dan tumbuh.Â
Lalu, apa yang menyebabkan fenomena ini bisa terjadi?Â
Ada beberapa alasan menarik yang melibatkan konflik ideologi, politik, dan kebebasan berpikir. Mari kita telusuri lebih dalam sambil melihat para filsuf terkenal.
1. Pemikiran Radikal yang Mengguncang Tradisi
Pemikiran filsafat cenderung revolusioner dan sering kali menentang norma-norma sosial dan tradisi yang ada. Filsuf yang berani menantang tatanan lama sering dianggap sebagai ancaman, bukan pahlawan intelektual. Ketika ide-ide mereka dianggap mengganggu atau berbahaya, negara asal sering kali memberikan perlawanan, bahkan hukuman.
- Socrates di Yunani Kuno harus membayar harga dengan nyawanya karena gagasan kritisnya dianggap "merusak" generasi muda. Ia dipaksa minum racun hemlock setelah pengadilannya.
- Karl Marx, yang lahir di Jerman, diusir karena gagasan sosialisme revolusionernya. Ironisnya, pemikiran Marx justru menjadi inspirasi utama di Rusia dan Cina, jauh dari tanah kelahirannya.
- Baruch Spinoza diasingkan oleh komunitas Yahudi di Amsterdam karena ide-idenya yang bertentangan dengan keyakinan teologis tradisional. Di luar komunitasnya, Spinoza justru dihormati sebagai salah satu filsuf besar modern.
2. Pengakuan yang Baru Muncul Setelah Waktu Berlalu
Banyak filsuf besar yang selama hidupnya dianggap terlalu "aneh" atau tidak relevan. Penghargaan terhadap karya-karya mereka sering kali datang setelah mereka tiada, ketika masyarakat sudah mulai terbuka dan mampu memahami pemikiran mereka.
- Friedrich Nietzsche dianggap gila oleh banyak orang pada zamannya. Baru setelah kematiannya, filsafatnya tentang kehendak dan "bermensch" (manusia unggul) mendapat perhatian serius, dan kini ia menjadi salah satu filsuf paling berpengaruh dalam sejarah.
- Arthur Schopenhauer hidup dalam bayang-bayang filsuf lain pada zamannya. Namun, di kemudian hari, pesimismenya dan pandangannya tentang "kehendak" manusia mulai memengaruhi banyak pemikir dan seniman di seluruh dunia.
- David Hume, yang skeptisisme radikalnya awalnya tidak banyak diterima, baru kemudian diapresiasi di kalangan pemikir Pencerahan.
3. Pengaruh Politik yang Membatasi Kebebasan Berpikir
Di banyak negara, pemikiran yang kritis terhadap status quo dapat dipandang sebagai ancaman bagi kekuasaan. Filsuf sering kali menjadi target represi, terutama di bawah rezim otoriter, sehingga pemikiran mereka lebih mudah berkembang di tempat lain yang lebih terbuka.
- Jean-Paul Sartre, eksistensialis asal Prancis, menghadapi tekanan politik selama pendudukan Nazi di Perancis, tetapi gagasannya tentang kebebasan individu justru mendapat pengakuan internasional di Amerika Serikat dan Eropa Barat pasca perang.
- Herbert Marcuse, yang melarikan diri dari Jerman Nazi, menemukan perlindungan intelektual di Amerika Serikat, di mana ide-idenya menjadi inspirasi bagi gerakan Kiri Baru di dekade 1960-an.
- Bertrand Russell, filsuf Inggris yang dipenjara karena penentangannya terhadap perang, mendapati idenya lebih dihargai di luar negeri, terutama di Amerika Serikat dan India.
4. Migrasi Intelektual: Mencari Tempat yang Lebih Subur untuk Ide
Ketika filsuf diasingkan atau merasa terjebak di lingkungan yang tidak mendukung, mereka sering kali memilih bermigrasi ke negara-negara yang lebih mendukung kebebasan intelektual. Di sana, ide-ide mereka dapat berkembang dengan lebih leluasa.
- Immanuel Kant, meskipun tak pernah meninggalkan kota kelahirannya di Prusia, karya-karyanya memengaruhi pemikir di seluruh Eropa dan menjadi dasar bagi banyak pemikiran modern.
- Sigmund Freud, pelopor psikoanalisis asal Austria, meninggalkan negaranya untuk melarikan diri dari rezim Nazi dan menetap di Inggris, di mana karyanya lebih diterima dan berkembang.
- Ludwig Wittgenstein, meski lahir di Austria, ia menghabiskan sebagian besar kariernya di Inggris, di mana filsafat bahasanya sangat dihargai.
5. Kebebasan Akademik dan Ruang Diskusi yang Luas
Di beberapa negara, kebebasan berpikir dan kebebasan akademik lebih dilindungi daripada di tempat lain. Negara-negara ini menjadi magnet bagi para pemikir yang ingin mengeksplorasi ide tanpa takut dihukum atau disensor.
- Michel Foucault, meskipun pemikirannya dimulai di Prancis, sebagian besar karyanya tentang kekuasaan dan wacana justru mendapat perhatian besar di Amerika Serikat, di mana iklim intelektual lebih bebas.
- Hannah Arendt, yang melarikan diri dari Jerman Nazi, menemukan ruang untuk menulis dan mengembangkan pemikirannya tentang totalitarianisme di Amerika Serikat.
- Albert Einstein, meski dikenal sebagai ilmuwan, filsafat ilmiahnya juga memengaruhi dunia. Ia meninggalkan Jerman dan mengembangkan ide-idenya di Amerika Serikat, di mana kebebasan intelektual lebih terjamin.
Pemikiran filsafat tidak mengenal batas negara. Di mana pun kebebasan intelektual berkembang, di situlah ide-ide besar akan menemukan tempatnya. Filsuf besar selalu mencari tempat yang memberi mereka ruang untuk bernafas, bahkan jika itu berarti meninggalkan tanah kelahiran mereka. Dan, dengan cara ini, filsafat terus mempengaruhi dan membentuk masa depan peradaban manusia, melampaui waktu dan batas geografis.
Penulis: Fajrin Bilontalo
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H