Mohon tunggu...
Fajri Mursalin
Fajri Mursalin Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Fajri Impezza, Mahasiswa Universitas Negeri Makassar. Sebagai Mahasiswa, ia aktifndalam berbagai organisasi yang dianggapnya sebagai wadah untukmenyalurkan fungsinMahasiswa itu. Himpunan Mahasiswa Islam, Ikatan Pemuda Pelajar Mahasiswa (IPPM) Pangkep serta beberapa organisasi lainnya. Motto "Jangan pikirkan apa yang kau dapatkan, tapi lakukan apa yang dapat kau berikan. Meskipun menurutmu itu tak berarti banyak." Kata Bijak "Mahasiswa agen perubahan, bernafas dengan kebenaran, melangkah dengan darah perjuangan dan bertindak atas keadilan. Jangan Kau cabut badik itu, saat kau ragu untuk menikam penghianat depan matamu"

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Membela Sonya Depari, Siswi Pembentak Polwan di Medan

9 April 2016   23:28 Diperbarui: 9 April 2016   23:53 679
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sedang menjadi tenar, beredarnya video seorang siswi bersama teman-temannya membentak seorang Polwan setelah mobil (Honda Jazz) yang dikendarainya dihentikan paksa saat mereka sedang konvoi sehabis melaksanakan Ujian Nasional.

Adanya persoalan ini menjadi bukti bahwa kita masih mempunyai persoalan di bidang pendidikan. Masih banyak upaya yang harus digalakkan untuk membuat mental siswa menjadi baik. Sangat disayangkan bahwa siswa yang telah hampir menyelesaikan jenjang pendidikannya di bangku SMA melakukan hal yang demikian, dimana menurut pandangan umum adalah sesuatu yang sangat tidak sopan.

Tapi, tolong jangan salahkan siswa tersebut. Dia seyogianya hanya peserta didik, seorang anak yang berperilaku sesuai apa yang selama ini dia serap dari lingkungannya. Baik lingkungan keluarga, sekolah maupun pergaulan. Sungguh saya yakin bahwa sepenuhnya itu bukan murni lahir dari kesadarannya. Tapi cerminan dari bagaimana selama ini dia tumbuh dan meniru perilaku. Saya juga sangat yakin bahwa masih banyak juga di luar sana siswa yang akan berperilaku demikian karena kurangnya perhatian dalam mendidik mereka.

Justru dengan kejadian ini, memberikan kita informasi serius bahwa ternyata apa yang dibutuhkan siswa-siswi (sebagai generasi penerus) bukan sekedar di sekolahkan agar menjadi tahu tentang matematika, berbahasa indonesia atau asing, belajar kimia, fisika ataupun biologi. Bukan juga untuk belajar ekonomi dan pelajaran semacamnya saja. Sungguh bukan hanya itu.

Apalagi dengan peranan orang tua yang hanya memberikan segenap fasilitas bersekolah bagi anaknya dengan memenuhi semua permintaannya beruoa mobil (kendaraan) pribadi saja, beri uang jajan, baju sekolah dan pembeli buku. Sungguh itu tak cukup membuat anak-anak itu bisa sesuai harapan orang tuanya.

Marilah kita semua berkaca dari kejadian ini!. Berkaca yang sungguh-sungguh ke dalam diri dan lingkungan kita.

1. Jika anda seorang Ayah/Ibu, berkacalah!
Apakah anda sudah memberikan perhatian bagi anak anda sendiri? bukan hanya sekedar menyekolahkannya di sekolah favorit, memberikan uang jajan, memenuhi keperluan sekolahnya sampai membelikan kendaraan sebagai fasilitas sekolah. Jika, 'tidak', maka anggaplah bahwa Sonya itu adalah cerminan anak anda yang tentu tidak hanya butuh semua fasilitas yang anda anggap bisa memenuhi kebutuhannya.

2. Jika anda adalah Guru, berkacalah!
Apakah anda sudah benar mengajarkan peserta didik anda mengenai persoalan yang menyangkut moralitas lewat keteladanan anda? Jika belum, maka anggaplah bahwa Sonya adalah peserta didik anda yang ternyata tak hanya cukup diajarkan bagaimana menjumlahkan angka-angka, mencari besaran gravitasi, balance ekonomi, rumus oksidasi atau kepiawaian berbahasa asing. Tidak cukup, itu semua belumlah sebagai modal yang cukup bagi mereka menjaga perilaku kepada sesama manusia.

3. Jika anda seorang yang membenci kelakuan Sonya dan menganggapnya kurang ajar, maka mengertilah!
Sonya adalah seorang anak, siswa yang tumbuh dan belajar dari lingkungan sekitarnya. Apa yang dilakukannya adalah cerminan bagaimana selama ini dia bersikap. Bayangkanlah apabila anda adalah Sonya, tumbuh dengan kondisi yang sama. Apakah anda yakin akan menjadi lebih baik darinya? Jika tidak, maka berhentilah untuk mem-bully-nya. 

Anggaplah dia adalah seorang anak yang belajar tentang kemanusiaan tapi lingkungannya tak memberikan keteladanan. Marilah menahan diri, Karena sesungguhnya usianya masihlah tergolong peserta didik yang tentu harus terus diajarkan mengenai makna kemanusiaan. Bagaimana menghargai yang lebih tua dan menghargai profesi orang lain yang sedang menjalankan tugasnya.

Saya kira, kejadian ini menjadi hal serius yang harus kita sadari bersama. Bukan hanya Sonya di Medan sana. Ada banyak serupa Sonya yang tersebar di negeri ini membutuhkan pendidikan yang sesungguhnya (memanusiakan manusia). Bukan hanya dari sekolahnya, tapi dari lingkungan keluarganya sendiri.

Jadikanlah ini pembelajaran sembari kita mengawasi sekitar masing-masing, kepada keluarga (anak, adik, kakak, keponakan, cucu, sepupu atau status apapun) yang kehilangan teladan dalam belajar menjadi manusia. Sekolah belumlah cukup. Para Guru belumlah sanggup. Dibutuhkan seluruh elemen masyarakat jika kita ingin melihat sekitar kita tak ada lagi Sonya yang bertindak seperti itu.

Mari berbenah diri!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun