Mohon tunggu...
Nurfajri Budi Nugroho
Nurfajri Budi Nugroho Mohon Tunggu... -

Pernyuka isu-isu politik, ekonomi, dan hubungan internasional | www.papapuan.com

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Deeskalasi Kekerasan

18 Februari 2011   04:18 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:30 188
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Indonesia sejatinya dikenal sebagai negara yang berpegang pada nilai-nilai ketuhanan, perdamaian, dan toleransi dalam kehidupan bermasyarakat. Namun sayangnya tragedi-tragedi kekerasan yang terus terjadi justru menodai cerminan tersebut. Apa yang salah?

Konflik etnis di Tarakan (26/9/2010), bentrok di Jalan Ampera, Jakarta (29/9/2010), pembantaian terhadap pengikut Ahmadiyah di Cikeusik, Banten (6/2/2011), hingga kerusuhan di Temanggung, Jawa Tengah (8/2/2011), adalah contoh kekerasan yang baru-baru ini terjadi. Tak mudah untuk menjelaskan bagaimana bisa ada kelompok di negeri yang konon beradab ini dengan mudahnya melakukan tindak kekerasan. Korban-korban berjatuhan, namun para pelaku seakan tidak merasa bersalah. Bisa jadi para pelaku merasa tindakannya adalah sebuah "kewajiban" yang harus dilaksanakan.

Dalam berbagai tayangan para pelaku kekerasan terlihat bangga meneriakkan pekik-pekik kemenangan setelah melumpuhkan korbannya. Sementara para korban yang sudah demikian tidak berdaya, terus dibantai meski nyawa sudah lepas dari badan. Sikap tersebut menunjukkan bahwa para pelaku mengalami penumpulan rasa bersalah atas tindakan mereka. Semangat yang muncul adalah untuk menghancurkan. Lawan tidak lagi dilihat dan diperlakukan seperti manusia, melainkan sebagai binatang buas yang harus dilumpuhkan (F Budi Hardiman, 2010).

Ironisnya berbagai rentetan peristiwa kekerasan mudahnya terlupakan, sehingga menjadi sesuatu yang banal. Kekerasan yang dahulu banyak dilakukan oknum militer dan aparatur negara, kini telah beranak pinak dan menjadi biasa dilakukan masyarakat sipil. Padahal, tindakan kekerasan tidak bisa dibilang sebagai sesuatu yang lazim. Sebuah masyarakat yang tidak mempersoalkan kekerasan, patut dipertanyakan keberadabannya.

Faktor-Faktor Kekerasan

Perilaku kekerasan bukanlah hal baru dalam kehidupan manusia. Namun di era di mana peradaban manusia semakin mapan, aksi saling memangsa di antara sesama manusia tidak menemukan pembenaran dari sisi manapun. Perilaku kekerasan di abad modern merupakan indikasi adanya kejumudan dalam proses kesadaran masyarakat dalam berdemokrasi dan bertoleransi. Jika kebekuan itu tidak dipecahkan, maka bangsa ini tidak akan pernah dewasa dan ketentraman menjadi sesuatu yang langka.

Kekerasan kolektif tidak bisa dilepaskan dari propaganda, stigmatisasi terhadap kelompok lawan, dan iklim teror dalam mencapai tujuan. Identitas kolektif merupakan bahan bakar yang paling efektif untuk mengobarkan gairah anggota kelompok. Sentimen-sentimen rasistis serta kebencian dan permusuhan terhadap kelompok atau keyakinan yang berbeda dikobarkan melalui ajaran-ajaran resmi sebagai "kebenaran" yang tak tergoyahkan.

Dengan demikian para anggota kelompok kekerasan tidak akan terlibat semata-mata karena spontanitas. Hal tersebut dipertegas oleh Erich Fromm, bahwa munculnya kekerasan bukanlah karena faktor-faktor instingtual atau dorongan naluriah manusia. Kekerasan, baik oleh individu atau kelompok, dilakukan terkait kondisi eksistensialnya. Kekerasan terjadi sebagai upaya untuk mempertahankan kehidupan dan nilai-nilai mendasar yang dipegang oleh seseorang atau kelompok, serta keinginan untuk menghancurkan pihak lain dengan berbagai cara.

Dalam hal ini nilai menjadi kata kunci yang penting. Keberanian untuk melakukan kekerasan disebabkan karena para pelakunya menganggap hal tersebut dibenarkan menurut nilai yang dipahaminya. Karena itu penting untuk meluruskan nilai yang memotivasi manusia untuk melakukan kekerasan tersebut.

Agama Sebagai Tameng

Secara jujur harus diakui grafik aksi kekerasan komunal di Tanah Air belakangan meningkat signifikan. Kekerasan berdasarkan agama menempati posisi yang cukup tinggi dalam hal itu. Setara Institute mencatat selama tahun 2010 ada 216 peristiwa pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan yang mengandung 286 bentuk tindakan, yang menyebar di 20 provinsi. Sementara Maarif Institute secara khusus menyoroti Jawa Barat sebagai daerah yang mendominasi peristiwa kekerasan berlatar belakang agama dengan 120 kasus sepanjang 2010.

Fakta-fakta tersebut menunjukkan masih tingginya angka kekerasan bertameng agama. Padahal perilaku kekerasan jelas bertentangan dengan doktrin semua agama yang menyerukan perdamaian dan cinta kasih. Kekerasan bertameng agama justru menempatkan agama, yang sejatinya merupakan pembawa kebenaran, kebaikan, dan cinta kasih, ke dalam posisi tersudut.

Dalam konteks kekinian, bentuk-bentuk kekerasan agama kerap dihubung-hubungkan dengan tumbuhnya radikalisme agama. Paham ini mengedepankan sikap-sikap ekstrem dan kekerasan sebagai reaksi terhadap kondisi yang dianggap tidak ideal. Karen Armstrong menyebut kekerasan agama sebagai fenomena paling mengejutkan di akhir abad 20 (The Battle For God, 2000).

Deeskalasi Kekerasan

Dalam merespons aksi kekerasan yang terjadi belakangan ini, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebenarnya telah berulangkali memberikan sikap yang keras. Saat peringatan Hari Pers Nasional di Kupang 9 Februari lalu, misalnya, Presiden menginstruksikan para aparat penegak hukum untuk mencari jalan yang sah dan legal jika perlu dilakukan pembubaran ataupun pelarangan terhadap organisasi atau kelompok yang terus melakukan kekerasan.

Seruan Presiden tersebut semestinya membuat aparat penegak hukum untuk bersikap tanpa keraguan. Menegakkan hukum secara tegas merupakan cara yang mesti dilakukan untuk memulihkan kewibawaan negara yang kerap dilecehkan oleh para pelaku kekerasan. Di sisi lain, pelurusan nilai-nilai menyimpang yang dipahami oleh para pelaku kekerasan perlu diluruskan. Tugas inilah yang harus dimainkan oleh para agamawan, dengan mengajak umatnya untuk bersikap positif, beradab, dan toleran. Bahkan tidak berlebihan pula jika dikatakan para agamawan juga perlu melakukan pertobatan (Frans Magniz Suseno dalam Jurnal Maarif, Desember 2010).

Sikap terbuka, membuka ruang komunikasi, dan komitmen untuk saling hidup berdampingan adalah nilai-nilai yang perlu terus disuarakan. Komitmen ini nantinya penting untuk diinstitusionalisasikan, baik berupa aturan-aturan maupun konvensi-konvensi yang baru. Jalinan komunikasi yang terus terbangun pasca-institusionalisasi harus terus dilakukan, karena bagaimanapun juga, deeskalasi kekerasan akan menjadi tidak berarti karena konflik-konflik sosial kerapkali bersifat laten dan dapat muncul sewaktu-waktu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun