Mohon tunggu...
Sinar Fajar
Sinar Fajar Mohon Tunggu... Penulis - Karyawan Swasta

Seorang penulis sialan yang mencari keberuntungan Visit now; http://fajhariadjie.blogspot.co.id/

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Mata Kolam; Bioskop di Ruang Sopir

26 Juli 2017   09:09 Diperbarui: 26 Juli 2017   09:15 331
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Merasa lebih hebat dan lebih gaul dariku, Iwin selalu menyombongkan diri bahwa ia pernah nonton film di bioskop beberapa kali; udara AC yang membuatnya harus bolak-balik ke kamar kecil dan kencing lebih lama, layar bioskop yang lebih besar daripada dinding kamar, bersandar di kursi busa yang lebih empuk daripada kasur sendiri, dan suara musik dan dialog film yang seperti mendengarkan raksasa bicara dari balik gunung. Karena aku tahu watak dan warna sisik melik Iwin, seolah-olah dengan menonton bioskop telah membuatnya naik kelas, aku sama sekali tak tergoda untuk menanggapinya. Pilihan terbaik menanggapi segala ocehan dan bualan Iwin adalah berpura-pura mendengarkannya. 

Menurutku pula, dilihat dari sisi manapun, aku tak melihat dimana letak hebatnya orang bisa berkali-kali nonton film di bioskop. Kecuali, aku mengerti, maksud Iwin membual demikian karena ia ingin mengolok-olok sebab aku tak pernah sekalipun masuk pintu bioskop; aku lebih menunggu film tersebut tayang di televisi, atau karena di kamar kos tak ada televisi, aku memilih mengunduhnya di internet.

Pada suatu hari, ketika ia berniat membeli televisi bekas dari salah seorang teman yang hendak pindah kerja dan pindah kos, aku melihat celah balas dendam atas perkataan Iwin yang berani-beraninya menyebutkan bahwa aku sekedar menunggu film yang aku suka segera tayang di televisi.

"Dewasa ini televisi diproduksi khusus untuk orang-orang miskin," sindirku. "Buktinya, di Plaza Indonesia ini, semua produk dan merek yang diperdagangkan sama sekali tak diiklankan di televisi. Barang-barang yang diiklankan di televisi adalah produk dan merek kelas bawah."

Sebenarnya aku berkata demikian bukan semata-mata aku ingin menyindir Iwin, sekaligus juga aku merasa dendam dengan televisi. Tiap kali aku menyalakan televisi dan menontonnya, karena terpancing dengan acara-acara yang menjemukan dan menyebalkan, yang ingin aku lakukan adalah melempar televisi tersebut sampai hancur. Seakan-akan menyadari bahwa penonton televisi adalah pengangguran, pemalas, orang kurang wawasan, orang banyak melamun, dan ibu-ibu hobi gosip, mereka tampak asal-asalan memproduksi acara; akting artis sinetron yang terlampau berlebihan dan program berita yang berpihak pada kepentingan kubu-kubu tertentu tak ubahnya penipu yang pandai menghipnotis.

Di negeri ini, asalkan bertampang rupawan, berwajah cengeng nan melankolis, mudah berurai air mata dan mampu melotot selama lima menit, sudah dianggap artis yang mampu berakting dengan baik. Sementara, para pemain berwajah pas-pasan dianggap topeng monyet yang memberikan kesan humor agar para penonton tak bosan mengikuti kisah sinetron yang menguras air mata dan rasa kasihan. Dan, tak mengerti apa maksudnya, hampir keseluruhan adegan selalu menyertakan dan mengumpulkan seluruh pemain dalam satu bingkai layar, kemudian sang sutradara menyorot wajah mereka satu per satu. Yang tak kalah mengganggu adalah suara musik latar yang menyerupai suara petir saat terjadi hujan angin. 

Dan, yang menjijikan adalah ketika para artis sinetron menyebut diri mereka pekerja seni di berita-berita infotainment. Entah mereka bodoh atau tak mengerti, pekerjaan seniman adalah pekerjaan yang mengutamakan kesempurnaan dan keindahan, bukan uang. Seharusnya mereka tahu apa yang mereka lakukan sama saja dengan yang dikerjakan oleh para buruh pabrik. Karena itu, mematikan televisi adalah cara sederhana dan termudah menjadi orang cerdas.

Setidaknya Iwin juga pasti tahu para pengunjung mall bukanlah tipikal orang yang senang nonton sinetron. Buktinya, meski di Plaza Indonesia ini banyak berkeliaran artis televisi, mereka sama sekali tak memberikan dampak kehebohan sedikitpun. Tak seperti artis-artis tersebut memasuki pasar tradisional atau mall kelas bawah yang selalu disambut dengan teriakan, minta foto bareng, atau sekadar salaman, di Plaza Indonesia ini kepopuleran mereka seperti tak berarti apa-apa. Sikap acuh tak acuh para pengunjung mall terhadap para pesohor negeri ini membuatku curiga bahwa di rumah-rumah orang kalangan menengah ke atas televisi tampaknya tak ubah seperti barang rongsokan.

Akhirnya, tak tahu karena alasan apa atau mungkin Iwin terpengaruh omonganku, ia batal membeli televisi bekas tersebut. Tapi ia bilang padaku, "Televisi hanya menambah sumpek kamar kos dan merusak mata saja. Kalau untuk sekedar menginginkan hiburan, aku hanya perlu kuota internet atau mencari sinyal wi-fi gratis."

Saat ini, memasuki ruang sopir sebagai tempat biasa kami menghabiskan waktu istirahat, aku mencoba menangkap gambaran bioskop yang sering dibanggakan oleh Iwin itu. Ruangan ini berbentuk persegi panjang dan gelap karena lampu sengaja dimatikan. Sumber pencahayaan mengandalkan sepenuhnya dari cahaya lampu di luar yang menembus pintu kaca. Demi menyesuaikan dengan ketemaraman ruang ini seketika pupil mataku membesar. 

Di salah satu sisi dinding terpasang AC tua yang menghembuskan udara dingin dan lembab ke seisi ruangan. Melihat wujud AC ini tampaknya barang tersebut telah mengalami beberapa kali bongkar pasang. Kemudian tepat di bawah AC tersebut diletakkan sebuah kaleng cat untuk menampung tetesan air yang keluar dari selang AC tersebut. Aku dapat mendengar suara jatuhnya tetesan air tersebut ke dalam kaleng cat tersebut.

Dari panasnya area parkir basement, kemudian masuk ke ruang berpendingin membuat suhu tubuhku terasa mendadak anjlok. Menahan dingin, aku merapatkan jaketku dan menyilangkan tangan di atas dada seolah-olah berusaha memeluk diri sendiri. Yang bahkan menurutku suhu di ruang sopir ini terlampau dingin, melebihi dinginnya udara dalam mall Plaza Indonesia itu sendiri, sehingga apabila belum terbiasa, kelamaan berada di sini membuat tubuh kita menggigil dan membutuhkan selimut tebal. Karena itu, aku kagum pada perempuan metropolis yang selalu mengenakan pakaian terbuka di bawah hawa dingin Plaza Indonesia yang kelihatannya disesuaikan dengan udara musim dingin di Eropa sana. 

Mereka tahan bahkan tampaknya hawa dingin itu tak berpengaruh sama sekali terhadap daya tubuh mereka. Sementara aku, saat awal-awal bekerja di Plaza Indonesia, mesti beberapa kali menggosok punggung dengan balsem atau kayu putih karena masuk angin atau mesti bolak-balik masuk toilet. Udara siang hari dalam Plaza Indonesia memang sama jahatnya dengan udara pada dini hari di luar sana. Tapi seiring waktu aku terbiasa juga, dan mungkin suatu saat, apabila ada rezekinya, aku tak perlu membawa minyak kayu putih atau balsem ke Eropa sana.

Dibandingkan dengan ruang sopir lainnya di Plaza Indonesia ini, yang paling mengesankan dari ruang sopir ini dan mengapa pantas disebut mirip bioskop adalah sebuah televisi layar datar yang terpasang pada salah satu sisi dinding. Sepanjang waktu televisi tersebut menayangkan film-film Hollywood di saluran HBO dan tak ada seorangpun yang tampaknya berani mengganti saluran televisi tersebut ke saluran lainnya. Saat menyaksikan tontonan televisi tersebut, mataku selalu terpicing karena pancaran cahaya biru dari televisi tersebut cukup menyilaukan di tempat segelap ini. Hanya saja di sini tak ada kursi-kursi empuk yang dapat digunakan sebagai sandaran kecuali jejeran kursi plastik berwarna biru yang membuat pantat cepat pegal.

Alih-alih menonton film, sebenarnya ruang sopir ini digunakan sebagai tempat tidur para tenant mall yang menghabiskan waktu istirahatnya. Tanpa memperdulikan kebersihannya, mereka berbaring di atas lantai yang dingin. Di atas lantai tersebut mereka membentuk barisan seperti deretan mayat manusia yang berhasil dievakuasi dari bencana banjir besar ataupun tanah longsor. Ketika aku mengingat kembali pelajaran sejarah tentang perang dunia atau agresi militer Belanda setelah proklamasi kemerdekaan, ruang ini tiba-tiba terasa seperti sebuah kamp konsenterasi atau ruang isolasi yang dipenuhi tumpukan mayat manusia. Dan tentu saja, apabila ruang sopir ini dikosongkan dari nafas manusia tentulah akan memancarkan aura yang menyeramkan.

Di atas deretan kursi plastik berwarna biru yang mirip dengan bangku-bangku penumpang dalam bis kaleng Kopaja telah duduk lelaki kurus berpakaian kemeja kotak-kotak yang terlihat longgar dipakai badannya. Lelaki itu, yang mungkin adalah seorang sopir yang menyetiri kemanapun majikannya pergi dan kini tengah menunggu majikannya selesai belanja, bersandar tenang di atas kursi tersebut sambil menjulurkan kakinya panjang-panjang ke depan. Sepasang tangannya ia sedekapkan di atas dadanya yang sama rata dengan perutnya. Matanya terpaku ke arah layar televisi, namun tak terlalu memperhatikan apa yang tengah ditontonnya itu. Sementara Iwin memilih berbaring tidur di atas lantai yang dingin, aku malah duduk di atas kursi plastik tersebut, tepat di depan lelaki sopir itu.

Saluran HBO menayangkan sebuah film yang cukup laris di Hollywood sana yang sempat aku tonton beberapa tahun lalu. Dalam film itu Angelina Jolie berperan sebagai perempuan semlohai yang jago kelahi bernama Lara Croft. Alih-alih mencoba menghitung berapa senjata api yang tergantung di sekujur tubuhnya, aku malah mengagumi lekukan tubuhnya dan gerakannya yang tangkas. Kedua tangannya tak lepas dari menggenggam pistol dan selalu mengarahkan moncong pistol tersebut sejajar dengan tatapan matanya yang tajam dan selalu waspada.

Menurutku, tiap kali ia melakukan adegan perkelahian, dengan segala kegesitan dan ketangkasannya, aku melihat ia tak berperan sebagaimana petarung seharusnya. Ia tampak berperan sebagaimana seorang penari yang menggoda lawan mainnya yang bertampang dan berpenampilan mafia dengan kegemulaian tubuhnya dan juga bibirnya yang telah dianggap seksi oleh seluruh penduduk dunia. Aku pikir itulah yang disebut keluwesan tubuh seorang wanita yang dibalut dengan kemaskulinan. Aku akui, segagah apapun Angelina Jolie memainkan perannya sebagai gadis jago kelahi dan jago tembak, ia selalu tampil menggoda dan sensual. Tak salah ia menjadi artis papan atas di Hollywood sana, meskipun sebelumnya aku sempat mengira Angelina Jolie adalah artis porno di Amerika sana.

Ketika itu aku masih berusia dua belas atau tiga belas tahun. Seiring maraknya penjualan pemutar VCD dan menjamur rental VCD, aku mulai gandrung pada film-film yang diproduksi di Amerika sana. Kebetulan tak jauh dari sekolahku terdapat tempat penyewaan VCD. Karena aku ingin sekali menonton film Titanic yang legendaris itu, aku beberapa kali mendatangi rental VCD dekat sekolah itu. Tapi aku selalu terlambat dan VCD film Titanic itu selalu keburu dipinjam oleh orang lain. Daripada aku pulang dengan tangan kosong, aku memutuskan melihat-lihat rak yang dipenuhi dengan kepingan-kepingan VCD yang dipinjamkan.

Di tempat penyewaan VCD ini tak ada seorang pengunjung pun kecuali aku seorang. Kepingan-kepingan bundar VCD dideretkan di atas rak-rak kayu seperti barang-barang di toko swalayan atau tumpukan buku di perpustakaan. Sebelum memutuskan hendak menonton film apa dan menjatuhkan pilihan, aku melihat satu per satu kepingan VCD yang dipajang di atas rak tersebut. Seharusnya aku merasa leluasa memilih-milih di tempat yang sepi pengunnjung, tapi begitu melihat penjaga rental yang sesekali melirik ke arahku, aku merasa dicurigai. Barangkali karena hanya aku seorang pengunjung di sini, ia terus memperhatikanku dan merasa tak sabar menungguku untuk segera menjatuhkan pilihan seolah-olah ia mencurigai bahwa aku datang kemari hanya sekadar untuk melihat-lihat saja.

Sempat aku melirik VCD film Indonesia yang beberapa bulan lalu mengguncang perfilman Indonesia sekaligus menggemparkan dunia remaja tanah air. Film itu berkisah tentang sepasang remaja sekolah yang sama-sama mencintai sastra dan puisi. Guru Bahasa Indonesiaku tidak hanya menganggap film remaja tersebut sebagai awal dari kebangkitan perfilman Indonesia, sekaligus sepakat film tersebut sangat layak ditonton oleh para anak didiknya yang kesemuanya masih berusia remaja. Ia bahagia gara-gara film tersebut anak didiknya bersikap lunak terhadap mata pelajaran yang diajarnya. Menurutnya film tersebut membangkitkan kesadaran para siswa akan betapa pentingnya membaca buku, terutama terkait sastra dalam kehidupan. Meskipun sebagian besar para siswa masih menganggap puisi hanyalah sebuah alat untuk menggombal, menggoda, dan merayu.

Seakan hendak melawan dunia dan anggapan umum yang telah terlanjur beredar dan dipercayai sebagai sesuatu hal yang baik, guru agama justru punya pendapat yang berlawanan. Tak mau ketinggalan dalam euforia bangkitnya perfilman Indonesia, ia ikut menonton film remaja berjudul Ada Apa Dengan Cinta? tersebut. Ia merasa kecewa dan terlonjak kaget seperti halnya orang tersetrum listrik ketika melihat gambar-gambar adegan terakhir memperlihatkan sepasang anak remaja berseragam sekolah berpelukan bahkan tanpa ragu-ragu saling menempelkan bibir dan mengulumnya di bandara yang merupakan tempatnya orang bebas hilir mudik. 

Ia tak mengerti apa maksud film tersebut menyertakan adegan ciuman anak sekolah di tempat umum; apakah hendak mencontohkan kehidupan liberalisasi kebarat-baratan pada generasi masa kini atau sekadar menarik perhatian khalayak berhubung dunia perfilman Indonesia berada di ujung tanduk dan kalah saing dengan film-film luar negeri. Walau bagaimanapun juga, ia menyimpulkan film itu tidak layak tonton dan mengutuk lembaga sensor film yang meluluskan film yang jelas-jelas telah melanggar norma ketimuran dan agama yang diyakininya.

"Dari film tersebut sudah jelas terlihat bahwa kiamat sudah dekat dan makin dekat," gerutunya saat dipercaya menjadi pembina upacara penaikan bendera pada hari Senin. "Berciuman di tempat umum adalah perzinahan tanpa rasa malu. Dan salah satu tanda-tanda kiamat adalah kebanyakan orang sudah tak malu lagi berzinah dilihat banyak orang."

Jadilah, ceramah pembina upacara di hari Senin itu seperti khutbah shalat Jum'at. Pak guru agama juga menambahkan tentang arti kebebasan berekspresi sesungguhnya. Menurutnya bebas bukan berarti tanpa aturan, malahan seseorang harus lebih pandai mengendalikan dirinya karena orang lain juga memiliki kebebasan sendiri yang harus dihormati. Ia memberikan contoh bebas tanpa aturan seperti yang kerap terjadi di negara-negara Eropa yang justru menimbulkan kekacauan dan bentrokan. Salah satunya kasus menggambar karikatur Nabi Muhammad yang mereka anggap sebagai kebebasan berekspresi tanpa memperdulikan norma-norma yang diyakini oleh orang lain.

"Pada akhirnya kebebasan berekspresi hanyalah topeng untuk menghina dan mengolok-ngolok kepada mereka yang berseberangan paham dan pendapat," simpul guru agamaku kemudian.

 Aku membayangkan bagaimana tanggapan orang-orang yang terlibat dalam pembuatan film tersebut mendengar pidato guru agamaku itu. Apakah benar film tersebut bermaksud mengolok-olok sekumpulan orang konservatif seperti guru agamaku atau memang ada nuansa saingan mengingat film-film Hollywood sudah terlanjur biasa menyertakan adegan cium dalam setiap judul filmnya. Tapi mengamati raut muka guru bahasa Indonesiaku, aku dapat memperkirakan bahwa ia merasa tersinggung.

Bersamaan itu pula guru olahraga yang sepertinya juga merangkap bertugas sebagai satpam sekaligus penjaga sekolah memergoki sejumlah siswa berciuman di belakang kantin sekolah. Hal demikian menambah keprihatinan guru agama. Pada detik-detik terakhir jam pelajaran agama siang itu, guru agamaku tiba-tiba bilang bahwa atheis kapitalis lebih berbahaya daripada atheis komunis. "Atheis komunis sudah membusuk di tong sampah. Sementara atheis kapitalis kini tengah tumbuh subur. Kita berani mengkritik atheis komunis sebagai kafir. 

Tapi kita tidak seberani itu pada atheis kapitalis. Malahan kita suka meniru-nirunya bahkan merasa bangga dengan kemodernan yang merupakan hasil ciptaan mereka. Atheis kapitalis sulit diberantas karena mereka bersembunyi dibalik topeng agama, padahal mereka menganggap agama merupakan salah satu peluang yang dapat mereka gunakan untuk faktor keuntungan."

Seluruh siswa dalam ruang kelas itu ternganga memperhatikannya, tak mengerti apa yang barusan dikatakannya. Guru agama kami yang dikenal lembut dan santun tiba-tiba seperti menjelma politisi yang tengah suka ria berkampanye. Seperti halnya orasi dalam kampanye pula, tampaknya kata-katanya kali ini tidak terlalu penting untuk didengar.

Sebuah kepingan VCD bergambar perempuan telanjang yang dipeluk dari belakang oleh lelaki yang juga telanjang tiba-tiba mengalihkan perhatianku dari film remaja yang dibintangi Dian Sastrowardoyo dan Nicholas Saputra tersebut. Ketelanjangan dua manusia itu yang tampaknya sepasang kekasih hanya ditutupi selembar selimut. Film itu berjudul Original Sin. Melihat gambar VCD itu melambungankan angan-anganku pada sejumlah film porno yang sembunyi-sembunyi ditonton oleh teman-teman sekolahku. Aku tak pernah sekalipun menonton film semacam itu seperti halnya teman-temanku. 

Tapi mendengarkan cerita teman-temanku mengenai film tersebut membangkitkan rasa penasaranku. Dalam jiwaku yang masih polos nan lugu aku masih tak percaya ada sepasang manusia berjenis kelamin berbeda berani telanjang disorot kamera kemudian filmnya disebar kemana-mana untuk dilihat oleh banyak orang. Jika itu benar, mau tak mau aku mesti percaya dengan kata-kata guru agamaku tempo lalu bahwa manusia zaman sekarang sudah lagi tak memiliki rasa malu terhadap auratnya sendiri.

Aku mengambil VCD film berjudul Original Sin itu dan meminjamnya. Jantungku berdebar-debar karena merasa yakin penjaga rental itu pasti melarangku meminjam film tersebut. Jelas-jelas gambar VCD itu khusus untuk orang minimal berusia delapan belas tahun. Kalau sampai aku ditegur bahkan dibentak-bentak dengan kata-kata peringatan, hari ini akan menjadi peristiwa memalukan buat aku, kemudian aku mesti menyimpan kembali VCD film tersebut di tempatnya semula. Beruntung penjaga rental itu tak memperhatikan secara detail gambar lelaki dan perempuan telanjang itu. Ia melakukannya dengan terburu-buru; mencatat judul film yang aku pinjam, membungkus VCD tersebut, kemudian meminta KTP-ku sebagai jaminan. Gara-gara KTP itu, aku berpikir tampaknya penjaga rental itu mengira usiaku sudah tujuh belas tahun. 

Apakah memang tampangku terlihat lebih tua beberapa tahun dari usiaku yang sebenarnya? Aku akui, dibandingkan dengan teman-teman sepantaran, aku memiliki lebih banyak beban pikiran. Tentu saja, karena aku belum punya KTP, aku menyerahkan kartu pelajarku. Yang membuatku masih aneh, penjaga rental itu sepertinya masih tak sadar berapa usiaku sebenarnya. Barangkali ia mengira aku adalah anak SMA yang beberapa bulan lagi lulus sekolah.

Malam itu, ketika  seluruh orang di rumah telah tidur, diam-diam aku menonton film tersebut sendirian. Pembukaan film itu jauh dari kesan-kesan yang aku pikirkan sebelumnya; dimulai dari pertemuan tokoh utama laki-laki----diperankan oleh Antonio Banderas----dengan si sensual Angelina Jolie sebagai tokoh utama perempuannya di sebuah dermaga atau pelabuhan di Havana, Kuba. Hari itu merupakan pertemuan pertama mereka setelah berkenalan lewat iklan kontak jodoh pada sebuah surat kabar. Pertemuan itu juga diselingi beberapa keganjilan karena wajah sang perempuan tak seperti potret yang dikirimkan yang oleh si lelaki disimpan dibalik liontinnya. Namun karena perempuan yang ditemuinya lebih cantik daripada perempuan dalam foto, tanpa menunda-nunda waktu lagi, sepulang dari pelabuhan atau dermaga tersebut, mereka melangsungkan pernikahan dengan pesta kecil-kecilan yang tergolong mewah. Namun, sebagai suami istri meraka tak langsung tidur sekamar.

Cerita berjalan dengan runtut mengenai sejumlah kebahagiaan setelah pernikahan. Hingga akhirnya, beberapa hari setelah pernikahan tersebut, pasangan suami istri baru tersebut berjalan-jalan di sebuah perkebunan kopi, yang sekaligus membantah bahwa si suami yang mengaku sebagai pegawai perkebunan dalam surat-surat yang ditulisnya, sebenarnya adalah pemilik perkebunan kopi tersebut. Kemudian si suami memetik sebutir biji kopi untuk menunjukkan kualitas kopi yang ditanam di perkebunannya. 

Biji kopi yang ia putar-putar diantara jemari tangannya tersebut tiba-tiba terlempar dan masuk ke dalam belahan dada si istri barunya tersebut. Merasa canggung, si suami itu meminta maaf dan memasukkan tangannya untuk mengambil biji kopi tersebut yang terselip diantara belahan dada istrinya tersebut. Tiba-tiba suasana di sekitar mereka menjadi hening. Mereka saling bertatapan, membisu, dan seolah ragu-ragu mereka saling mendekatkan wajah untuk akhirnya mereka berciuman dengan penuh gairah. Adegan ciuman di perkebunan kopi itu tiba-tiba membawa mereka masuk ke dalam adegan malam pertama setelah beberapa hari pernikahan.

Selama beberapa menit lamanya aku menyaksikan adegan terlarang bagi remaja seusiaku. Jantungku berdebar-debar dan sepasang mataku seolah berusaha tak berkedip menyaksikan tayangan yang menurut aturan tak sesuai dengan norma-norma ketimuran. Yang menakjubkan dari itu semua, ada yang tiba-tiba mengeras dibalik celanaku.

Malam-malam berikutnya adegan pasangan suami istri dalam film tersebut melulu membayangi pikiranku. Segala imajinasiku soal rahasia dibalik kamar para pasangan suami istri digantikan oleh adegan Angelina Jolie yang saling bertumpang tindih dengan Antonio Banderas. Ketika bayangan film tersebut membuatku ereksi, diam-diam tangan kananku menyusup ke balik celana seperti seekor tikus yang celingak-celinguk keluar sarang karena takut kepergok terlihat manusia. Begitu aku merasakan ada sesuatu yang memancar dari kelamin kelelakianku, panas tubuh dan gairahku menjadi tenang kembali. 

Aku tak mengerti, dengan hanya membelai-belai dan membolak-balik organ kelelakian, aku merasakan sesuatu kenikmatan yang tak pernah sebelumnya aku rasakan sebagai anak laki-laki. Cepat-cepat aku ke kamar mandi untuk mencuci selangkangan dan berganti celana. Namun begitu aku memperhatikan apa yang terpancar dari kelaminku beberapa menit lalu saat menggosok celana dalamku sungguh di luar dugaan. Yang semula aku mengira itu adalah air kencing biasa, cairan itu malah serupa lendir yang mirip dengan ingus. Sejak itulah aku memaklumi ungkapan bahwa seorang lelaki takkan pernah tumbuh dewasa, karena berapapun usianya, seorang lelaki akan selalu ingusan. Hanya saja, sesuai dengan usia, lubang keluar dan cara keluarnya berbeda.

Dingin dan gelapnya ruang sopir ini membuat mataku mudah terkantuk-kantuk. Lagipula aku sudah menonton berkali-kali film Angelina Jolie yang berperan sebagai Lara Croft tersebut, sehingga aku merasa bosan untuk menyaksikannya sampai selesai. Aku menguap sekali dan mengulat untuk meregangkan otot-otot yang terasa tegang disekujur tubuh. Di bioskop yang tentunya juga berhawa dingin dan gelap seperti ruang sopir ini, aku yakin ada sejumlah penonton yang lebih memilih memejamkan mata daripada menyaksikan film yang tengah diputar hingga selesai.

Aku beranjak dari tempat dudukku dan menyelipkan diri diantara tubuh-tubuh yang tengah berbaring. Ada yang telentang, menyamping, bahkan tengkurap seperti orang ketakutan. Saking banyaknya orang tidur, suara dengkuran saling bersahutan, berpadu dengan suara-suara yang keluar dari layar televisi. Begitu aku membaringkan badanku, sehati-hati mungkin agar tak menyenggol orang-orang di sebelahku, aku merasakan lantai yang terasa beku. Baru beberapa menit memejamkan mata, Iwin menggoyang-goyang bahuku.

"Bangun," bisiknya dengan nada suara yang dijaga selembut mungkin agar tak mengganggu tidur orang-orang di sekitarnya. "Saatnya masuk kerja."

Ia memperlihatkan jam tangannya padaku sambil menepuk-nepuk layarnya dengan jari telunjuk. Aku membuka mata pelan-pelan dan kembali menyesuaikan pandangan dengan pencahayaan minim di dalam ruang sopir ini. Di tempat segelap ini gerakan jarum jam tangan itu kurang jelas terlihat, tapi aku percaya saja omongan Iwin. Soal waktu aku takkan pernah mengerti; saat bekerja waktu terasa panjang dan membosankan, sementara saat rebah istirahat begini waktu rasanya bergerak dua kali lebih cepat dari biasanya. Dengan rasa malas, aku susah payah berdiri kembali seperti seorang lumpuh yang tengah terapi berjalan, kemudian aku tergopoh berjalan keluar dan mengenakan sepatu.

"Kita ke toilet dulu," mintaku. "Aku mau cuci muka."

Kami berjalan beriringan menuju toilet yang letaknya tak jauh dari mushalla. Saat kami berbelok, hampir saja aku menabrak seseorang. Buah dadanya yang sebesar kelapa nyaris saja tercium olehku. Dengan cepat aku mundur selangkah dan menegakkan kepala. Belum sempat minta maaf, aku malah terlanjur kaget melihat wajah orang itu. Orang itu adalah penyanyi dangdut yang memang terkenal karena buah dadanya daripada suaranya. Aku begitu takjub dan terpesona melihat artis yang sering muncul di televisi sedekat ini, bahkan kulit kami nyaris saja bersentuhan. 

Mungkin mimik mukaku yang terlihat seperti penggemar fanatik, penyanyi dangdut itu yang seharusnya memarahiku malah tersenyum ramah padaku. Aku cepat-cepat menyingkir dari hadapannya, berlagak seperti penjaga pintu yang mempersilahkan seorang putri untuk masuk ke ruang pesta. Aku perhatikan ia berjalan hingga masuk ke balik pintu kaca, kemudian aku benar-benar merasa tergugah karena nyaris bertabrakan; buah dada penyanyi dangdut itu seperti tahu jelotot. Sepasang mataku yang tadi terasa begitu berat mendadak melotot.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun