Mohon tunggu...
Sinar Fajar
Sinar Fajar Mohon Tunggu... Penulis - Karyawan Swasta

Seorang penulis sialan yang mencari keberuntungan Visit now; http://fajhariadjie.blogspot.co.id/

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Mata Kolam; Teror Masa Dewasa (6)

17 Juli 2017   11:10 Diperbarui: 17 Juli 2017   11:13 231
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sesuai hitungan kalender, seharusnya hari pertama di tahun baru adalah tanggal merah; libur nasional. Seperti pegawai kantoran ataupun buruh pabrik, aku ingin menghabiskan hari ini dengan santai-santai; piknik ke pantai atau pegunungan. Setidak-tidaknya aku dapat bermalas-malasan atau tidur-tiduran di dalam kamar. Persoalannya, jadwal kerja di restoran tidak bisa mengikuti hitungan kalender. Tiap minggu atau tiap bulan manager restoran rutin membuat jadwal kerja bagi seluruh tim dan karyawan. Jadwal libur kami bergilir, bahkan diacak.

Dengan perasaan lesu kami pergi kerja. Langit berwarna biru seperti dinding atau lantai yang telah dicuci bersih, sementara matahari tergantung dengan kemiringan tertentu bagaikan satu-satunya perabotan yang masih tersisa. Panas matahari yang menyilaukan menjemur apapun yang berada di bawahnya; mengeringkan bekas hujan semalam. Tapi melihat langit dan matahari secerah ini, kami dapat memperkirakan sore nanti hujan akan kembali turun. Namun, karena kami bekerja dibalik dinding-dinding beton yang tebal, kami takkan merasakan bagaimana basahnya hujan tersebut dan merdunya suara gemericik hujan itu. Tanpa hujan kami akan melupakan kenangan manis masa kanak-kanak dulu. Begitu kami masuk Plaza Indonesia, kami merasa memasuki sebuah dunia yang tak terhubung sama sekali dengan gerakan rotasi dan revolusi bumi.

"Bagaimana kalau hari ini kita bolos kerja?" Iwin mengusulkan.

Beberapa menit yang lalu aku juga sempat berpikir demikian kemudian mengawali tahun ini dengan sesuatu yang menyenangkan. Sesekali aku ingin keluar dari rutinitas ini. Kepatuhan-kepatuhan yang kami jalani sesuai prosedur lebih menjadikan diri kami rendah ketimbang dihargai. Meski kami tahu pekerjaan ini tidak menjanjikan masa depan, kami tetap saja melakoninya. Mungkin karena makin berumur, semangat pemberontakan kami pun semakin menurun.

"Kita bukan lagi anak sekolah," ucapku. "Kita harus punya tanggung jawab dan dedikasi terhadap pekerjaan. Kalau kita tak punya sedikitpun dedikasi terhadap pekerjaan, apapun pekerjaan itu, kita takkan pernah bisa hidup. Seperti teori seleksi alam; yang bertahan adalah yang kuat, tanpa dedikasi, kita akan musnah dimakan zaman."

"Sementara orang-orang susah mencari pekerjaan, kita beruntung masih punya pekerjaan," ucap Iwin kemudian berkecil hati dan aku merasa bersalah telah mematahkan semangatnya.

Berbicara mengenai sekolah, aku merasa malu dengan keadaan diriku sekarang. Tak tahu aku bagaimana guru-guruku berkomentar, tapi aku dapat memikirkannya, bahkan aku seperti sudah merasakan nada pedas yang terdengar di telingaku. Karena itu, beberapa bulan lalu, ketika mendapatkan selembar surat undangan reuni sekolah, aku lebih memilih menghindar dan bersikap seperti pejabat korup yang absen ke pengadilan dengan alasan sakit. Untuk orang gagal seperti aku acara reuni bukanlah waktu yang tepat untuk berkumpul dengan kawan lama. Dalam pikiranku, acara reuni dalam sebuah aula tak ubahnya mall-mall elite di Jakarta; tempat semua orang dengan leluasa memamerkan gengsinya. Melihat teman-teman sekolahku menceritakan segala kisah suksesnya, terutama di usia semuda ini, tidak hanya akan membuatku iri, tapi juga merasakan sakit.

Menurutku, akan lebih menyenangkan apabila acara reuni itu diisi dengan ingatan-ingatan  mengenai berbagai kenakalan yang pernah kami perbuat. Kami seharusnya membanggakan masa-masa muda kami; masa-masa di dalamnya masih ada kebebasan meskipun, untuk murid seukuran diriku, ikut memikirkan beban dan tanggung jawab orangtua dalam mengatasi biaya pendidikan anak-anaknya. Tentu saja masa anak-anak lebih bebas daripada masa remaja; dibawah hujan kita berlarian dan melompat-lompat. Apabila di negeri-negeri Utara anak-anak bermain bola salju, di negeri tropis seperti dimana kita tinggal, kita akan bermain lumpur dan melemparkannya kepada teman-teman kita. Permainan kita akan membuat kita lebih kotor daripada anak-anak yang bermain salju. Tapi sesulit apapun hidup, kita takkan pernah memperdulikannya apalagi ikut memikirkannya.

Kini, aku telah mencapai usia dewasa; berada dalam sebuah fase yang dipenuhi ketakutan dan ketidak-pastian seakan-akan kita hidup dalam suasana mencekam yang penuh dengan aksi teror. Kita ingin mengacuhkannya, tapi pikiran anak-anak kita telah direnggut pelan-pelan oleh waktu. Yang bisa kita lakukan adalah seperti yang telah orangtua kita lakukan dulu; berupaya keras untuk memastikan bahwa kedepannya akan baik-baik saja.

Melewati pemeriksaan satpam jaga, aku dan Iwin memasuki pintu utama Plaza Indonesia. Meski  aku cukup lama bekerja di salah satu restoran di sini, aku selalu merasa terasing. Seharusnya aku mampu mengakrabinya sebagaimana seseorang telah terbiasa dengan kebiasaan barunya. Namun, pada kenyataannya seiring waktu berjalan, aku malah makin mengenal diriku seperti apa; bahwa tak seharusnya aku berada di sini. Nama Indonesia yang disematkan pada mall ini tidaklah menjamin melahirkan kebanggaan diriku sebagai putra bangsa. Penyebabnya mungkin secara finansial aku bukanlah apa-apa. Maka, bila aku membandingkan diriku dengan para pengunjung mall, aku seperti memperoleh gambaran tepat mengenai penjajahan kolonial yang sempat direguk oleh bangsa ini di masa-masa lampau. Seketika mengingat itu aku ingin melarikan diri keluar dan memproklamasikan diri bahwa aku ini manusia merdeka.

Persoalannya, dengan alasan sederhana, aku malah terus berjalan menuju restoran tempat aku bekerja.

Karena hari ini merupakan tanggal merah dan menjadi bagian dari libur panjang, aku yakin hal ini dapat memberikan pengaruh terhadap intensitas keramaian mall. Starbuck, kedai kopi asli Amerika yang terkenal itu, yang menjadi tempat nongkrong favorit anak muda metropolitan atau tempat santai-santai para pekerja kantoran, tak seramai hari biasanya. Padahal saking ramainya, kedai kopi Amerika ini selalu buka lebih awal dan tutup lebih lambat dari jam-jam operasi mall. Mungkin akibat perayaan tahun baru semalam warga ibukota memilih bangun tidur lebih siang atau mereka berada diluar kota dalam rangka perayaan tahun baru tersebut.

Menuju restoran tempat kami bekerja berarti kami melewati sejumlah koridor. Karena malas naik tangga jalan mati, pagi ini kebanyakan orang yang merupakan tenan mall, memilih menggunakan lift. Sementara kami, tak tahu apa alasannya atau mungkin telah terbiasa, lebih memilih menggunakan tangga jalan mati. Yang bahkan saat-saat merasa iseng kami menghitung tiap anak tangga yang kami naiki tersebut. Meskipun hal ini terasa amat sederhana dan kekanak-kanakkan, sedikit banyak itu menambah energi kami. Dan, rasanya begitu menyenangkan merasakan kembali kegairahan masa-masa kecil dulu.

Masuk ke dalam restoran, suasana menjemukan dan tanpa harapan kecuali menanti-nanti gaji bulan depan segera ditransfer, kembali menerpaku. Segera kami mengenakan seragam dan beres-beres; mengepel lantai, mengelap meja-meja, mencuci sayuran, panci masak, serta setumpuk piring kotor yang kemarin belum sempat dibersihkan. Kemudian kami memeriksa jebakan-jebakan tikus yang terpasang di setiap sudut dapur. Hampir saja aku menjerit melihat seekor tikus masuk perangkap. Tikus tersebut mencicit-cicit putus asa karena badannya menempel di atas karton yang telah diolesi lem anti tikus. Dengan perasaan jijik dan ngeri, aku angkat karton tersebut, menyiramnya dengan air panas, kemudian melemparnya ke dalam tong sampah.

Seperti tanpa irama dan begitu mudah ditebak kelanjutannya, inilah caraku bertahan hidup; bergerak ke sana kemari dan melakukan apapun sesuai perintah dan peraturan yang telah ditetapkan. Sikap patuh yang telah menjadi bagian dari diriku seperti sebuah kutukan yang tak bisa lagi diselamatkan. Berpikir dapat membuat aturan sendiri dan bebas melakukan apapun sesuai kehendak hati terkadang menjadi pelipur saat-saat seperti ini.

Setengah jam sebelum restoran buka, kru dapur telah menghidangkan sepiring besar ayam goreng dan sepanci sayuran berdasarkan kreasi mereka sendiri dari dedaunan yang mereka comot sembarangan di dalam lemari chiller. Mereka mengawali sarapan pagi ini sebelum kru restoran lainnya mengambil jatah sarapannya. Kami makan bersama-sama dengan mengelilingi meja restoran sebagaimana para tamu restoran berkunjung. Alih-alih berdoa, kami mengeluarkan telepon genggam kami masing-masing dan memotret makanan yang hendak kami santap. Padahal makanan yang kami santap tidaklah istimewa. Mungkin tak disadari secara langsung di luar sana masih banyak orang berkekurangan, kami beranggapan masih perlu memamerkan apa yang kami makan kepada orang-orang melalui akun media sosial kami. Namun aku selalu merasa jengkel apabila dalam postingan foto tersebut menyertakan diriku yang tengah berseragam. Meskipun kami berlagak bak para tamu dan masakan kami pun dimasak oleh kru dapur restoran ini sendiri dengan kualitas dan higinitas yang sama, seragam itu memperlihatkan bahwa kami hanyalah pegawai restoran yang berpura-pura menjadi tamu restoran.

Sebagaimana Plaza Indonesia mulai beroperasi, pukul sepuluh pagi restoran dibuka. Begitu pintu dibuka tak ada yang sesiap para pramusaji di depan dalam menyambut tamu restoran; berdiri tegap, wajah kaku dengan mata terpaku ke arah pintu, mengingatkanku pada ketegangan sepasukan prajurit perang yang berdiri di garda paling depan atau seperti barisan bidak-bidak catur yang baru bergerak apabila ada yang menggerakkan. Sementara, para kru dapur bersikap lebih santai; sambil mengiris-iris daun bawang, mereka bersama-sama nonton film bokep dalam layar telepon genggam atau mengemil apapun makanan yang bisa dimakan di dapur. Mereka baru benar-benar bergerak sigap ketika tamu restoran berdatangan dan lembaran-lembaran kertas pesanan tertumpuk di atas meja.

Berpikir banyak warga ibukota menghabiskan malam tahun baru di luar kota bahkan di luar negeri, tak disangka-sangka meja-meja restoran terisi penuh; seluruh kru restoran seperti mendapat serbuan dadakan. Bahkan perang sesungguhnya tidaklah terjadi antara tamu dengan kru restoran, sebaliknya segala adu mulut dan adu argumen terjadi antar sesama kru restoran. Kelihatannya warga Jakarta lebih memilih mengisi liburan tahun baru nongkrong dan belanja di mall-mall.

"Kemacetan di Puncak dan Bandung didominasi mobil-mobil berpelat B," kata manager restoran kami, entah bermaksud memberitahu atau sekadar iseng mengatakan hal demikian saat restoran ramai pengunjung. "Jakarta memang sudah kelebihan penduduk."

Menurutku ini juga membuktikan banyaknya orang kaya di Jakarta ini. Meskipun di televisi kondisi perekonomian negara dikatakan morat-marit, warga Jakarta tak pernah berhenti untuk mencari kemewahan. Bahkan aku sempat kaget ketika iseng-iseng melihat tumpukan struk pembayaran di meja kasir; sekali makan di sini saja, mereka bisa menghabiskan uang sejumlah gajiku sebulan.

Karena dituntut efisiensi kerja, kami sebagai pencuci piring seperti kru restoran lainnya, mesti bergerak secepat mungkin. Yang penting tergosok sabun saja, kami menganggap piring-piring yang kami cuci sudah bersih. Satu per satu aku lemparkan piring-piring yang aku cuci, kemudian Iwin bertugas membilasnya dan menumpuknya di dalam bak bersih. Menatap tumpukan piring kotor itu, meski aku bergerak cepat seperti halnya orang bergerilya, aku sadar, karena pekerjaanku ini, aku takkan pernah tercatat dalam sejarah.

            "Rencananya aku takkan lama-lama kerja di sini," ucapku penuh nada keluhan, "tapi kenyataannya aku bekerja di sini sudah berbilang tahun."

            "Itulah yang disebut manusia hanya bisa berencana sementara Tuhan yang menentukan," timpal Iwin berlagak bijak.

            "Iwin, apa hidup kita akan begini terus. Tak ada perubahan dan tak ada perkembangan."

            "Ikhlas saja. Jangan banyak bertanya seperti orang tak beriman."

Mendengar perkataan Iwin barusan, aku ingin tertawa; tanpa bertanya berarti ia beranggapan menjadi beriman adalah menjadi bodoh. "Seharusnya kita kuliah," ucapku. "Dengan gelar sarjana kita bisa mendapatkan pekerjaan yang lebih manusiawi."

"Buat apa sekolah tinggi-tinggi kalau ujung-ujungnya masih mencari kerja," ucap Iwin terdengar retoris. "Mending duitnya kita pakai buat kredit motor."

"Kau tahu kenapa aku menulis?"

"Melihat penampilanmu yang selalu acak-acakan, kau tentunya ingin menjadi binatang jalang seperti Chairil Anwar."

Terkesan mencoba meledekku, Iwin memonyongkan mulutnya; mencontohkan bagaimana seharusnya binatang jalang itu melolong, dan tentu saja sambil tergelak jenaka. Aku melemparkan piring ke atas bak cuci sehingga air di dalamnya menciprat wajah Iwin. "Iwin, mencuci piring bukanlah karir yang menjanjikan masa depan."

Akhir jam makan siang adalah waktu istirahat kami. Merasa tekanan berkurang, kami mengambil nafas lega. Kami bersiap-siap untuk menghabiskan waktu istirahat; melepas sepatu bot dan membuka selembar efron yang terikat didepan dada dan perut kami. Meski ikut terciprat air, kami masih mengenakan seragam kami dan menutupnya dengan mengenakan jaket. Biasanya angin menjelang sore di luar sana cukup mampu mengeringkan kembali seragam ini. Sejenak kami duduk di bangku depan restoran sambil memperhatikan para pengunjung mall. Seakan-akan mimpiku telah berada di depan mata dan terwujud melalui para pengunjung mall, memperhatikan mereka mampu menghapus rasa bosan. Melihat mereka semua, baik laki-laki maupun perempuan, tak ada satupun bertampang pas-pasan membuatku yakin bahwa sukses tidaknya seseorang ditentukan oleh garis wajah. Keyakinan itu juga pada akhirnya membuatku maklum terhadap orang-orang yang berlangganan klinik kecantikan, rajin merawat diri di salon-salon, bahkan kecanduan operasi plastik.

            "Di sini tak ada perempuan jelek," pujiku terhadap para perempuan yang melintas di depan mata. Sebagaimana lelaki yang selalu tergoda dengan kemulusan kulit dan wajah mereka, aku tak bisa berhenti mengagumi kecantikan wanita-wanita metropolis.

"Tapi semua itu cuma polesan saja," timpal Iwin. "Menurutku mereka lebih mirip manekin daripada manusia. Kelihatannya semakin banyak uang, seseorang akan semakin lupa bahwa dirinya manusia. Bahkan bagaimana caranya menjadi manusia saja mungkin mereka tak tahu."

Ketika kami menyusuri koridor-koridor mall menuju lantai basement menggunakan tangga jalan, Iwin seperti tak bisa mempertanggung-jawabkan perkataan yang baru beberapa menit lalu ia ucapkan; melihat paha mulus serta belahan dada membuatnya tampak berusaha menahan air liurnya kemudian menelannya dalam-dalam. Membayangkan biaya perawatan tubuh dan wajah mereka, adalah hal mustahil kami dapat menyentuh dan mengelus kulit selicin dan sehalus itu. Namun melihat mereka berjalan meliuk-liuk bak peragawati dan meyakini kaki jenjang mereka pasti terasa pegal karena menggunakan sepatu hak tinggi, kami rasanya tergoda menawarkan bantuan untuk memapah mereka atau setidaknya membantu menjinjing kantong-kantong belanja mereka.

Juga tak kalah berkelasnya, pakaian dan segala aksesoris pendukung yang mereka kenakan tentulah teramat mahal. Tas-tas merek dunia----Louis Vuitton, Gucci, Hermes----mereka tenteng penuh gaya pamer. Tas itu tak lagi berfungsi sebagaimana tas seharusnya digunakan, melainkan tas itu layaknya perhiasan yang menambah keanggunan mereka. Ketika berjalan tas itu tergantung dalam kepitan siku pergelangan tangan sekaligus secara sengaja memperlihatkan kepada dunia nama merek yang terpampang di atas permukaan tas tersebut. Ketika duduk mereka meletakkan tas itu di atas meja dengan hati-hati seakan-akan takut pecah. Karena tas itu mampu menaikkan gengsi mereka dan menentukan strata sosial mereka, cara mereka memperlakukan tas tersebut seperti nyawa sendiri. Seandainya aku taksirkan harga barang-barang yang menempel disekujur tubuh mereka pastilah mencapai jutaan rupiah.

Sementara ketika kami melihat label-label harga di sini selalu lekas membuat kami mati rasa dan sesak nafas. Gaji kami sebulan saja takkan cukup untuk membeli selembar celana dalam.

            "Para pengunjung mall di sini semuanya bergaya kebarat-baratan," kataku dengan tatapan iri. "Kecuali kita, bergaya kemiskinan-miskinan."

            "Kita memang miskin," tukas Iwin dengan nada memperingatkan.

"Aku tidak merasa begitu," jawabku. "Kemiskinan yang kita rasakan adalah buatan tangan manusia, bukan sebab takdir Tuhan. Seandainya tak ada manusia miskin, mereka takkan pernah bisa membanggakan kemewahan yang mereka miliki. Karena itu, agar mereka tetap memiliki gengsi dan ruang pamer, mereka harus selalu memastikan bahwa kemiskinan itu tetap ada."

Berkaca melalui barisan etalase, kami ternyata termasuk orang-orang yang memberikan warna kontras di sini. Wajah nelangsa di balik kaca etalase menatap balik kepada kami. Berdasarkan nama mall ini yang menggunakan nama Indonesia, aku telah membuktikan perkataan guru-guru di sekolah bahwa Indonesia itu negara kaya. Namun, melihat diri sendiri muram dan kacau begini, benarkah aku ini orang Indonesia?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun