Merasa telingaku telah salah dengar, perlu beberapa menit bagiku memastikan apa sebenarnya yang dikatakan Namira barusan. Sebagai perjaka lapuk yang kesepian inilah adalah kesempatan baik yang tak boleh dilewatkan. Namun sebagai manusia terpelajar, aku harus mampu mengutamakan arti moralitas.
"Kamu tidak keberatan, kan?" mintanya lagi. Beberapa jenak lamanya aku terdiam. Ketika melihat sepasang bola matanya yang sendu, yang tampak memohon padaku, menimbulkan rasa kasihan dalam batinku; perempuan itu tampaknya membutuhkan sebuah perlindungan.
Dengan menggunakan alasan-alasan yang terdengar moralis, bahwa tak baik seorang perempuan menginap di kamar seorang lelaki dan itu dapat menimbulkan anggapan-anggapan miring, seharusnya aku menolak. Membayangkan induk semangku mengetahui malam ini aku membawa seorang perempuan masuk kamar saja membuatku merinding. Tak hanya akan dimarahi habis-habisan, aku pasti akan dihardiknya dan diusir dari sini. Sementara aku tak mau meninggalkan kamar kos senyaman ini. Tapi alih-alih bergairah melihat kecantikan dan kemulusan kulitnya, hujan di luar sana telah memberikanku alasan kuat untuk mengizinkan perempuan itu menginap di sini.
"Sebagai lelaki yang telah ditolong hidupnya," ucapku berbasa-basi, "tentu saja tak ada yang lebih menggembirakan selain membalas pertolonganmu kembali."
 "Terima kasih," ucap Namira malu-malu. "Maaf, aku merepotkan."
"Tak perlu sungkan. Aku harap kamarku tidak membuatmu alergi."
Seraya aku mengantarkannya masuk ke dalam kamar. Tak tahu kenapa ketika aku menutup pintu kamar kembali dengan pelan-pelan, aku merasa lega seolah-olah aku telah berhasil menyembunyikan sesuatu di tempat yang aman.
Merasa penasaran, melalui lubang kunci, aku mengintip ke dalam kamar. Setelah cukup puas duduk di hadapannya dan mengobrol bersama, mungkin saja kali ini aku melihat Namira menanggalkan pakaiannya satu per satu di dalam kamar. Sejenak aku berpikir Namira mengobrak-abrik isi kamarku, tapi mengingat aku tak memiliki barang yang cukup berarti tak seharusnya aku mengkhawatirkan Namira bakal mencuri. Sekian lama diabaikan nasib, dengan kehadiran Namira malam ini, aku merasa takdir mulai memihak kepadaku. Aku merasa bagaikan seorang pemburu; berhasil menangkap hewan buruan, menguncinya rapat-rapat dalam kandang, lalu tinggal sesuka hatiku bagaimana memperlakukan hewan buruan tersebut. Memikirkan semua itu, mendadak aku ereksi, dan tak tahan untuk menerkamnya.
Tiba-tiba sebuah tangan menepuk-nepuk bahuku. Karena kaget, refleks aku memutar badan. Setelah berpisah menonton panggung hiburan, akhirnya Iwin kembali hadir di hadapanku. Dengan jantung berdebar-debar, tegap-tegap aku berdiri menjaga pintu, mengawasi ke arah mana Iwin bergerak, yang justru menumbuhkan kecurigaan padanya.
"Kenapa?" tanyanya menatap curiga.
"Tidak apa-apa," jawabku gugup, sulit menguasai diri sendiri.