Iwin memicingkan matanya. Merasa penasaran dan menyadari ada sesuatu yang disembunyikan, ia mendorong-dorongku, memaksaku menyingkir, dan berupaya menjangkau gagang pintu. Karena ia lebih kuat, ia berhasil menyingkirkanku dari depan pintu. Ia membungkuk dan menempatkan padanya di depan lubang kunci sebagaimana aku mengintip tadi. Merasa terpukul, ia menatapku.
"Bajingan!" umpatnya padaku.
Sambil mendesis, aku menempelkan telunjuk di atas bibirku. Dengan suara yang lebih terkontrol, Iwin bilang, "Pintar sekarang. Mentang-mentang tak ada Ibu kos kamu bawa perempuan kemari."
 "Jangan pikir macam-macam," bisikku menyanggah. "Ini hanya kebetulan."
"Kebetulan ini malam tahun baru dan kebetulan juga Ibu kos pergi ke Bogor."
 "Ini tidak seperti yang kamu pikirkan," ucapku mencoba menenangkan. "Ini seperti bidadari yang dikirimkan oleh bintang jatuh."
Pastilah perumpaanku itu terdengar lucu di telinga Iwin dan aku merasa bodoh mendengar tawanya. Sisa dini hari itu aku habiskan dengan menceritakan kembali insiden bodoh itu. Tanpa ada rasa prihatinnya sama sekali, ia tergelak-gelak lucu, bahkan hingga perutnya terasa melilit. Dikarenakan hujan deras dan ia harus bergegas mencari tempat berteduh, ia tak sempat mengetahui siapa orang yang tercebur kolam ini dan kini ia baru sadar lelaki itu adalah aku.
"Sungguh aku merasa rugi tidak melihatmu tenggelam." Kemudian sambil mencondongkan tubuhnya padaku, ia menggodaku dengan tatapan jahil. "Terus sudah berbuat apa saja dengan perempuan itu?"
"Kau tahu aku ini lelaki baik-baik," aku merasa tersinggung.
"Aku percaya," ia masih saja cengengesan seperti orang yang telah mempersiapkan jebakan berikutnya. "Lelaki impoten mana mungkin berani jantan pada seorang perempuan."
" Sialan!" aku dorong ia hingga jatuh tersungkur ke belakang.