Mohon tunggu...
Sinar Fajar
Sinar Fajar Mohon Tunggu... Penulis - Karyawan Swasta

Seorang penulis sialan yang mencari keberuntungan Visit now; http://fajhariadjie.blogspot.co.id/

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pesan Waktu

20 Januari 2017   07:33 Diperbarui: 20 Januari 2017   07:37 320
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam sebuah bidang yang berisi angka-angka dan jarum-jarum, ada mata yang tajamnya melebihi kekasatan. Bergerak mengikuti aturan dan mengawasi setiap momennya dengan pasti.

Jarum-jarum yang terdapat dalam bidang itu saling tertumpuk menunjukkan angka teratas. Secepat kedipan mata, jarum jam yang paling ramping dan tinggi bergerak memimpin, mengelilingi permukaan bidang tersebut dari kiri ke kanan. Satu per satu angka yang bertengger dibawahnya ia cumbui. Setiap titik merasakan sentuhannya hanya sedetik bagai membisikkan sesuatu hal yang rahasia. Ditempat sesenyap ini seringkali bisikannya itu terdengar yang paling bersuara. Sementara angka-angka itu tetap terdiam ditempatnya seperti menuruti segala katanya.

Diantara dua jarum jam lain yang menjadi kawannnya, ia memang yang paling lentur bergerak. Cepat dan elastis. Selusin angka-angka itulah yang selalu menunggunya, mengharapkannya datang menghampiri untuk memberikan perubahan dan kabar terbaru. Setelah berputar sepenuh lingkaran, ia kembali lagi pada angka teratas menemui sepasang kawannya lagi.

Ia beritahu juga sepasang kawannya berita yang ia peroleh; zaman belum berdamai sebelum matahari membelalakan matanya. Masa belum sanggup melogikan namanya sebelum terdengar kokok ayam jantan bersahutan. Ketenangan dapat kembali dirasakan saat alunan kebesaran dan kebahagiaan diperdendangkan manusia-manusia diangkasa melalui balik surau-surau.

Lantas kedua kawannya itu akan berjalan mengendap nyaris tanpa gerak dan suara. Langkahnya gemetar menyingkap isi rahasia kelam. Namun, jarum jam yang paling gemuk dan pendek masih terpaku ditempat sebelum akhirnya jarum tengah berhasil melaksanakan sekali rotasinya, seakan-akan ia tak percaya apa yang dikabar-kabarkan oleh jarum yang paling ramping dan tinggi itu.

Ketiga jarum jam itu menjadi mata yang paling tajam dan hidup ditempat yang sesunyi dan segelap ini. Dan ia, jarum jam yang paling pendek dan gemuk, memiliki sorotan mata yang lebih tajam dan hidup daripada kedua kawannya yang bergerak lebih cepat. Seharusnya ialah yang menjadi kompas dan mengabarkan berita-berita terbaru. Tapi mata yang terlampau tajam dan hidup membuatnya melihat sejelas-jelasnya rahasia kelam itu dibalik malam. Dan, barangkali anak kecil dibawahnya ikut pula merasakan hawa angker rahasia kelam tersebut.

Rahasia kelam itu gaib bentuknya. Tersembunyi dibalik semak-semak malam. Angin yang tak pernah tertangkap indera cahaya apalagi peraba menghalagi tabir-tabir tersebut dari sorotan umum. Logika takkan cukup mampu meraihnya. Bahkan makhluk paling cerdas sekalipun takkan bisa menalar nama waktunya dengan sempurna. Setiap pribadi berbeda-beda menyebutkannya. Mereka baru merasa pasti inilah pergantian, awal dari perhitungan tanggal yang baru. Karena didetik-detik saat ini, zaman tengah berselisih memperebutkan waktunya. Sementara waktu sendiri tengah sibuk mempersidangkan namanya.

Adalah pantas kebanyakan makhluk-makhluk kasar menarik diri dari kehidupannya sementara ini. Mereka memilih menghirup kematiannya diatas alas-alas empuk atau menyisipkan doa-doa dengan khusyuk pada hening, berharap semak-semak malam segera menyingkir dihembus angin berisi penuh permohonan.

Namun dibawah bidang waktu itu, seorang anak kecil masih membuka mata. Pandangannya diliputi kegelisahan. Ia kebingungan. Kegelapan mengerumuninya bak teman setia yang menyandingi keresahannya. Syaraf-syarafnya menegang dengan kewaspadaan yang sempurna. Ia lirikkan pandangannya pada jam yang juga terasa balas menatapnya. Benda itu seolah-olah hidup dalam kematiannya, namun juga sama-sama ketakutannya seperti dirinya. Detakannya terdengar lebih jernih, namun geraknya bagai tertahan ditempat lebih lama. Bahkan terasa diam saja.

Anak kecil itu perlahan-lahan merangkak mendekati daun pintu kamarnya. Ia mengintip keluar melalui lubang kunci pintu tersebut. Debar jantungnya dibebani adrenalin yang terpacu kencang. Semua bayangan benda yang diamatinya diluar membisu ditempat, hadir dalam rupa kepolosan, tetap menjaga bentuknya dari cengkeraman gelap yang mengancam. Sekelebat cahaya dari luar masuk melalui celah-celah rumah, menyisir bayang-bayang tersebut seolah berusaha melepaskannya dari keterpurukan. Lalu beberapa detik kemudian cahaya itu hilang ditelan gelap. Saat itu juga suara deru mesin kendaraan lewat dan tiang listrik yang dipukul-pukul menghentak diudara, memecah keheningan dalam kesenyapan.

Benarkah yang mengendarai sepeda motor dan memukul-mukul tiang listrik pada saat gelap merajai bumi dan udara itu sejenis manusia juga?

Saat matahari hendak terbenam diujung barat langit, Ibunya selalu marah-marah kalau ia masih bermain-main diluar. Ibunya akan menakut-nakutinya agar ia mau menurut. “Ayo masuk, Nak!”, omel Ibunya. “Shalat maghrib dan mengaji! Kamu tahu setan-setan leluasa berkeliaran saat malam turun. Mereka sembunyi dan mengintai orang-orang dibalik pohon-pohon rindang. Takkan ada orang yang berani keluar saat hari gelap. Sekalipun ada, dapat dipastikan manusia itu kerasukan, mabuk, atau gila. Manusia-manusia seperti itu sama sekali takkan mampu membantumu ketika setan-setan itu berhasil menculikmu”.

Maka dari itu ia mengenal banyak hantu serta dongeng-dongeng yang membangkitkan bulu kuduknya berdiri. Yang paling menyeramkan diantara itu baginya adalah hantu perempuan yang sangat suka pada anak-anak, apalagi anak yang belum dikhitan; Kelong Wewe. Hantu perempuan itu akan menculik anak-anak yang berada diluar saat matahari tenggelam, lalu menyekapnya pada rumpun-rumpun bambu di hutan bambu. Ia memperlakukan anak-anak itu bak anaknya sendiri-----memberikan nasi yang berupa belatung dan mie yang berupa cacing.

Keringat dingin anak kecil itu semakin deras mengalir. Hentakan jantungnya mendadak menyumbat ruang nafasnya. Ia sesak. Ada suara-suara aneh yang tiba-tiba menggelegar diudara. Suara ini terdengar lebih mengerikan dari segala suara yang datang pada malam hari; raungan serigala, gonggongan anjing, tangisan kucing, nyanyian jangkrik, atau gerutuan tokek. Herannya, suara itu terdengar jelas berasal dari sebelah kamarnya.

Apakah setan-setan itu telah menemukan jalan pintas menuju rumahnya, lalu dengan leluasa menyusup masuk? Tak diragukan lagi, suara aneh itu pasti keluar dari nafas-nafas setan yang berkeliaran didalam rumahnya. Mereka berlalu lalang, berlarian, bermain-main, dan berpesta pora sekehendak nafsu mereka. Anak kecil itu tak mampu membendung ketakutannya lagi. Ia kembali melompat keatas ranjang dan membungkus seluruh tubuhnya dengan selimut seperti kepompong. Ia tak berani bergerak sedikitpun. Biarpun pegal-pegal ia akan bersikeras pada posisinya. Sepertinya jarum jam juga berhenti bergerak. Karena bergerak sedikit saja, setan-setan itu pasti langsung menyadarinya dan melahapnya mentah-mentah.

Disela-sela ketakutannya itu, bibirnya bergetar komat-kamit melafalkan doa seperti yang telah diajarkan oleh ibunya. Deretan giginya bergemelutuk cemas. Ia memejamkan matanya rapat-rapat ditutupi kengerian yang amat sangat. Namun, bayangan setan-setan itu justru semakin nampak jelas bergentayangan. Hingga keheningan malam mundur diserbu teriakannya yang tak tertahankan lagi.

Ketika itu Ayahnya muncul dimuka pintu. Sinar lampu dibelakangnya melatari posisi berdiri gagahnya hingga tampak bagai malaikat bersayap. Seiring langkahnya menderap, sosok ayah itu semakin jelas terlihat mata dan berwarna cemerlang. Ia menatapnya khawatir, lalu menjulurkan kedua lengannya menawarkan sebuah pelukan. “Kenapa? Kamu pasti mimpi buruk lagi”.

Anak itu mengangguk dan menghambur masuk kedalam pelukan sang ayah. Dalam dekapan sang ayah, ia merasa mendapatkan perlindungan, ketenangan, dan kenyamanan. Pada saat itu juga, telinga yang tertempel didada Ayahnya itu mendengar irama yang membuatnya bagai disenandungi lagu kedamaian. Setelah itu, anak itu tahu ayahnya akan meminta sedikit jatah dari tempat tidurnya. Dengan senang hati, anak itu menggeser tubuhnya kesamping dan membiarkan sang ayah rebah didekatnya. Diatas dinding ternyata waktu terasa lebih cepat berdetak dari yang ia duga.

Tidak seperti Ibunya yang seringkali marah dan mengeluh ketika berbaring disamping Ayahnya. Kata Ibu, ia kerapkali menahan kantuk semalaman karena mimpi Ayahnya itu berisik. Tapi setelah dokter mendiagnosa ada sedikit kelainan diorgan pernafasan Ayahnya, Ibu maklum. Ibu mulai memaksa Ayahnya itu untuk berhenti merokok dan menjadi contoh teladan yang baik bagi anaknya sendiri.

***##***

Ketiga jarum jam kembali bertengger disepasang angka puncak. Mereka semua telah melakukan perputaran penuh pada permukaan bidang waktu tersebut. Bak seorang perantau mereka menjelajah dan kembali pada tempatnya semula, menjejak dimuka jam seperti cicak. Semuanya berdenyut sesuai aturan perintah dan kenisbian. Pagi, siang, senja, hingga akhirnya kembali pada malam untuk memulai waktu yang baru, berganti-ganti wajah seperti sebuah estafet yang tanpa henti.

Kali ini, terang seakan menjadi logika dari segala bentuk waktu. Mentari memberi warna kehijauan pada dedaunan, merah kecoklatan pada permukaan tanah, dan warna-warna kusam pada dinding-dinding rumah. Siluet-siluet yang munculpun kerap berbentuk bulat dan pendek, tampak lebih padat dan terkonsentrasi dibawah sinar matahari.

Manusia-manusia mulai mengalami keadaan nyatanya. Mereka keluar dari sarang-sarang yang sekian lama meneduhi kepala mereka. Mereka merangkai kisah-kisah agar membentuk satu peristiwa yang dapat diinggat---entah itu layak atau tak layak untuk dikenang. Terik panas diatas sana menjadikan kulit mereka lebih rentan terbakar dan berkeringat. Mereka mengikuti arahan dunianya masing-masing sampai semabuk-mabuknya. Panas nafas mereka melampaui kegerahan gelombang sang surya. Terik-terik begini, mereka asyik masyuk berteduh dibawah pohon-pohon atau atap-atap pondok reyot mereka.

Ketiga mata jarum jam tersebut menatap tingkah laku mereka lebih mengerikan daripada rahasia kelam dibalik malam.

Seolah tak ada harap lagi untuk memperbaiki sedetikpun, keserakahan itu selalu menjadi tamu istimewa dan dipuja-puja. Peradaban sebuah masa terjungkal balik tertabrak nafsu dan minat, cenderung mengadaptasi ucap lidah daripada benak sanubari. Kesewenanganpun diberhalakan yang memberikan kebebasan tanpa batas-batas.

Tak ada cara lain untuk ketiga mata jam dalam permukaan bidang waktu tersebut selain mengucilkan diri. Kerapkali ada mata manusia yang memelototinya, mereka seakan mendiktenya untuk menuruti kehendak mereka. Suara bisikan ketiga mata jarum jam yang selalu terhentak dalam senyap menyerah pada kerakusan nurani manusia; entah itu teriakan mereka, caci maki, tawa, ratap, omong kosong, derap langkah, bahkan deru mesin karatan. Tapi anak kecil itu, diantara kebobrokan manusia-manusia, dibalik seragam sekolahnya, berjalan pulang menyusuri sebuah gang kecil seirama dengan debar jantungnya dan detak dimuka jam.

Langkah kaki mungilnya tiba-tiba terkesiap, tertahan diatas derakan kerikil-kerikil kasar. Disana, diteras depan rumah, menyandar diatas kursi kayu, seorang pria yang kira-kira telah bernafas lebih dari tiga dasawarsa tengah terbuai dalam lelapnya. Permukaan wajahnya memancarkan kelelahan bekas dipukul nasib. Kepalanya tengadah dengan mulut menganga terbuka seolah mengharap setetes air hujan dari langit. Tapi jakun dibalik tenggorokannya bergerak naik turun seperti memompakan nafas. Lalu keluar melalui mulutnya sebuah suara ganjil yang lebih ganjil dari suara apapun pada malam hari yang telah terdengar akrab ditelinganya.

Suara itu suara aneh yang selalu terdengar dari sebelah kamarnya kembali terdengar melalui pernafasan pria tersebut. Apakah pria itu kerasukan? Mabuk? Gila? Kini, anak kecil itu sadar ternyata setan-setan tak hanya bergentayangan saat hitam berhamburan diatas hamparan bumi, tapi juga saat terang merajai makhluk-makhluk bumi. Anak kecil itu ketakutan seribu zaman, sementara jarum-jarum jam seakan menemui ajalnya.

Tiba-tiba, dengan gesit waktu seolah memberitahu. Dikejauhan terdengar suara sayup-sayup yang bersahutan dan didendangkan penuh cinta menghalau habis suara aneh tersebut. Anak kecil itu teringat. Ia masih menyala. Suara sayup-sayup itulah yang seringkali membuat orangtuanya memaksa ia untuk meninggalkan segala aktifitasnya. Suara kebesaran itu seperti pertanda untuk menjernihkan kembali pikiran yang lesu. Ia akan disuruh oleh orangtuanya menemui air dan menggelar sajadah.

***##***

Jarum-jarum jam nyaris terjatuh ke posisi angka terendah dimuka waktu. Mereka berpegang teguh ditenggeran angka yang berjarak beberapa langkah lagi diatas angka terendah tersebut. Diwaktu-waktu begini, dibalik kerawanan semakin terlihat ketenangan zaman. Anak kecil itu juga ikut merasakannya. Ia terbangun diketuk nuansa matahari terbit. Memang belumlah seterang pagi yang sibuk, tapi juga tak segelap kelam. Ganjilnya, suara aneh yang melebihi kengerian suara-suara hewan malam masih terdengar dan mengancamnya.

Hasrat untuk buang air kecil mendesak sang anak untuk turun dari tempat tidurnya. Ia melangkah diatas lantai yang beku, berjingkat-jingkat pelan menuju kamar orangtuanya untuk minta diantar kebelakang. Rasa yang tak tertahankan dibalik celananya memberikan sedikit keberanian padanya. Ia mendengar suara aneh itu lebih jelas. Ia tempelkan daun telinganya tepat diatas daun pintu kamar orangtuanya. Benarkan pendengarannya ini; suara aneh itu berasal dari dalam kamar orangtuanya? Apakah aman untuk membuka pintu kamar ini?

Ia membuka pintu itu hati-hati, memastikan agar tak megeluarkan suara deritan sepelan apapun. Ada yang menakjubkan saat ia memandang kedalam. Ibu tampak putus asa membangunkan Ayah. Ia lemparkan asbak yang penuh abu dan puntung rokok ke lantai. Anak kecil itu terpekik ingin memberitahu Ibunya, tapi lidahnya seperti terlipat menahan suaranya ditenggorokan. Telunjuknya menunjuk-nunjuk kearah sang Ayah yang masih terlelap. Tak kuasa ia menahan rasa yang sedari tadi ditahannya, kehangatan mengalir tenang keluar menjalari kedua kakinya. Tampaknya, setan-setan memang telah berhasil memasuki rumah ini. Ternyata, selama ini, Ayahnyalah yang mengeluarkan suara-suara aneh itu melalui tenggorokannya seperti pria yang tadi siang ia jumpai sepulang sekolah. Apakah Ayahnya mabuk, kerasukan, atau gila?

Sementara diluar sana, suara sayup-sayup yang bersahutan dari balik surau-surau kembali berkumandang dengan lafal sedikit berbeda demi mendamaikan kehidupan dunia; lebih baik shalat daripada tidur.

Pagi yang menenteramkan dimuka jam yang bergerak tenang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun