Manusia-manusia mulai mengalami keadaan nyatanya. Mereka keluar dari sarang-sarang yang sekian lama meneduhi kepala mereka. Mereka merangkai kisah-kisah agar membentuk satu peristiwa yang dapat diinggat---entah itu layak atau tak layak untuk dikenang. Terik panas diatas sana menjadikan kulit mereka lebih rentan terbakar dan berkeringat. Mereka mengikuti arahan dunianya masing-masing sampai semabuk-mabuknya. Panas nafas mereka melampaui kegerahan gelombang sang surya. Terik-terik begini, mereka asyik masyuk berteduh dibawah pohon-pohon atau atap-atap pondok reyot mereka.
Ketiga mata jarum jam tersebut menatap tingkah laku mereka lebih mengerikan daripada rahasia kelam dibalik malam.
Seolah tak ada harap lagi untuk memperbaiki sedetikpun, keserakahan itu selalu menjadi tamu istimewa dan dipuja-puja. Peradaban sebuah masa terjungkal balik tertabrak nafsu dan minat, cenderung mengadaptasi ucap lidah daripada benak sanubari. Kesewenanganpun diberhalakan yang memberikan kebebasan tanpa batas-batas.
Tak ada cara lain untuk ketiga mata jam dalam permukaan bidang waktu tersebut selain mengucilkan diri. Kerapkali ada mata manusia yang memelototinya, mereka seakan mendiktenya untuk menuruti kehendak mereka. Suara bisikan ketiga mata jarum jam yang selalu terhentak dalam senyap menyerah pada kerakusan nurani manusia; entah itu teriakan mereka, caci maki, tawa, ratap, omong kosong, derap langkah, bahkan deru mesin karatan. Tapi anak kecil itu, diantara kebobrokan manusia-manusia, dibalik seragam sekolahnya, berjalan pulang menyusuri sebuah gang kecil seirama dengan debar jantungnya dan detak dimuka jam.
Langkah kaki mungilnya tiba-tiba terkesiap, tertahan diatas derakan kerikil-kerikil kasar. Disana, diteras depan rumah, menyandar diatas kursi kayu, seorang pria yang kira-kira telah bernafas lebih dari tiga dasawarsa tengah terbuai dalam lelapnya. Permukaan wajahnya memancarkan kelelahan bekas dipukul nasib. Kepalanya tengadah dengan mulut menganga terbuka seolah mengharap setetes air hujan dari langit. Tapi jakun dibalik tenggorokannya bergerak naik turun seperti memompakan nafas. Lalu keluar melalui mulutnya sebuah suara ganjil yang lebih ganjil dari suara apapun pada malam hari yang telah terdengar akrab ditelinganya.
Suara itu suara aneh yang selalu terdengar dari sebelah kamarnya kembali terdengar melalui pernafasan pria tersebut. Apakah pria itu kerasukan? Mabuk? Gila? Kini, anak kecil itu sadar ternyata setan-setan tak hanya bergentayangan saat hitam berhamburan diatas hamparan bumi, tapi juga saat terang merajai makhluk-makhluk bumi. Anak kecil itu ketakutan seribu zaman, sementara jarum-jarum jam seakan menemui ajalnya.
Tiba-tiba, dengan gesit waktu seolah memberitahu. Dikejauhan terdengar suara sayup-sayup yang bersahutan dan didendangkan penuh cinta menghalau habis suara aneh tersebut. Anak kecil itu teringat. Ia masih menyala. Suara sayup-sayup itulah yang seringkali membuat orangtuanya memaksa ia untuk meninggalkan segala aktifitasnya. Suara kebesaran itu seperti pertanda untuk menjernihkan kembali pikiran yang lesu. Ia akan disuruh oleh orangtuanya menemui air dan menggelar sajadah.
***##***
Jarum-jarum jam nyaris terjatuh ke posisi angka terendah dimuka waktu. Mereka berpegang teguh ditenggeran angka yang berjarak beberapa langkah lagi diatas angka terendah tersebut. Diwaktu-waktu begini, dibalik kerawanan semakin terlihat ketenangan zaman. Anak kecil itu juga ikut merasakannya. Ia terbangun diketuk nuansa matahari terbit. Memang belumlah seterang pagi yang sibuk, tapi juga tak segelap kelam. Ganjilnya, suara aneh yang melebihi kengerian suara-suara hewan malam masih terdengar dan mengancamnya.
Hasrat untuk buang air kecil mendesak sang anak untuk turun dari tempat tidurnya. Ia melangkah diatas lantai yang beku, berjingkat-jingkat pelan menuju kamar orangtuanya untuk minta diantar kebelakang. Rasa yang tak tertahankan dibalik celananya memberikan sedikit keberanian padanya. Ia mendengar suara aneh itu lebih jelas. Ia tempelkan daun telinganya tepat diatas daun pintu kamar orangtuanya. Benarkan pendengarannya ini; suara aneh itu berasal dari dalam kamar orangtuanya? Apakah aman untuk membuka pintu kamar ini?
Ia membuka pintu itu hati-hati, memastikan agar tak megeluarkan suara deritan sepelan apapun. Ada yang menakjubkan saat ia memandang kedalam. Ibu tampak putus asa membangunkan Ayah. Ia lemparkan asbak yang penuh abu dan puntung rokok ke lantai. Anak kecil itu terpekik ingin memberitahu Ibunya, tapi lidahnya seperti terlipat menahan suaranya ditenggorokan. Telunjuknya menunjuk-nunjuk kearah sang Ayah yang masih terlelap. Tak kuasa ia menahan rasa yang sedari tadi ditahannya, kehangatan mengalir tenang keluar menjalari kedua kakinya. Tampaknya, setan-setan memang telah berhasil memasuki rumah ini. Ternyata, selama ini, Ayahnyalah yang mengeluarkan suara-suara aneh itu melalui tenggorokannya seperti pria yang tadi siang ia jumpai sepulang sekolah. Apakah Ayahnya mabuk, kerasukan, atau gila?