Saat matahari hendak terbenam diujung barat langit, Ibunya selalu marah-marah kalau ia masih bermain-main diluar. Ibunya akan menakut-nakutinya agar ia mau menurut. “Ayo masuk, Nak!”, omel Ibunya. “Shalat maghrib dan mengaji! Kamu tahu setan-setan leluasa berkeliaran saat malam turun. Mereka sembunyi dan mengintai orang-orang dibalik pohon-pohon rindang. Takkan ada orang yang berani keluar saat hari gelap. Sekalipun ada, dapat dipastikan manusia itu kerasukan, mabuk, atau gila. Manusia-manusia seperti itu sama sekali takkan mampu membantumu ketika setan-setan itu berhasil menculikmu”.
Maka dari itu ia mengenal banyak hantu serta dongeng-dongeng yang membangkitkan bulu kuduknya berdiri. Yang paling menyeramkan diantara itu baginya adalah hantu perempuan yang sangat suka pada anak-anak, apalagi anak yang belum dikhitan; Kelong Wewe. Hantu perempuan itu akan menculik anak-anak yang berada diluar saat matahari tenggelam, lalu menyekapnya pada rumpun-rumpun bambu di hutan bambu. Ia memperlakukan anak-anak itu bak anaknya sendiri-----memberikan nasi yang berupa belatung dan mie yang berupa cacing.
Keringat dingin anak kecil itu semakin deras mengalir. Hentakan jantungnya mendadak menyumbat ruang nafasnya. Ia sesak. Ada suara-suara aneh yang tiba-tiba menggelegar diudara. Suara ini terdengar lebih mengerikan dari segala suara yang datang pada malam hari; raungan serigala, gonggongan anjing, tangisan kucing, nyanyian jangkrik, atau gerutuan tokek. Herannya, suara itu terdengar jelas berasal dari sebelah kamarnya.
Apakah setan-setan itu telah menemukan jalan pintas menuju rumahnya, lalu dengan leluasa menyusup masuk? Tak diragukan lagi, suara aneh itu pasti keluar dari nafas-nafas setan yang berkeliaran didalam rumahnya. Mereka berlalu lalang, berlarian, bermain-main, dan berpesta pora sekehendak nafsu mereka. Anak kecil itu tak mampu membendung ketakutannya lagi. Ia kembali melompat keatas ranjang dan membungkus seluruh tubuhnya dengan selimut seperti kepompong. Ia tak berani bergerak sedikitpun. Biarpun pegal-pegal ia akan bersikeras pada posisinya. Sepertinya jarum jam juga berhenti bergerak. Karena bergerak sedikit saja, setan-setan itu pasti langsung menyadarinya dan melahapnya mentah-mentah.
Disela-sela ketakutannya itu, bibirnya bergetar komat-kamit melafalkan doa seperti yang telah diajarkan oleh ibunya. Deretan giginya bergemelutuk cemas. Ia memejamkan matanya rapat-rapat ditutupi kengerian yang amat sangat. Namun, bayangan setan-setan itu justru semakin nampak jelas bergentayangan. Hingga keheningan malam mundur diserbu teriakannya yang tak tertahankan lagi.
Ketika itu Ayahnya muncul dimuka pintu. Sinar lampu dibelakangnya melatari posisi berdiri gagahnya hingga tampak bagai malaikat bersayap. Seiring langkahnya menderap, sosok ayah itu semakin jelas terlihat mata dan berwarna cemerlang. Ia menatapnya khawatir, lalu menjulurkan kedua lengannya menawarkan sebuah pelukan. “Kenapa? Kamu pasti mimpi buruk lagi”.
Anak itu mengangguk dan menghambur masuk kedalam pelukan sang ayah. Dalam dekapan sang ayah, ia merasa mendapatkan perlindungan, ketenangan, dan kenyamanan. Pada saat itu juga, telinga yang tertempel didada Ayahnya itu mendengar irama yang membuatnya bagai disenandungi lagu kedamaian. Setelah itu, anak itu tahu ayahnya akan meminta sedikit jatah dari tempat tidurnya. Dengan senang hati, anak itu menggeser tubuhnya kesamping dan membiarkan sang ayah rebah didekatnya. Diatas dinding ternyata waktu terasa lebih cepat berdetak dari yang ia duga.
Tidak seperti Ibunya yang seringkali marah dan mengeluh ketika berbaring disamping Ayahnya. Kata Ibu, ia kerapkali menahan kantuk semalaman karena mimpi Ayahnya itu berisik. Tapi setelah dokter mendiagnosa ada sedikit kelainan diorgan pernafasan Ayahnya, Ibu maklum. Ibu mulai memaksa Ayahnya itu untuk berhenti merokok dan menjadi contoh teladan yang baik bagi anaknya sendiri.
***##***
Ketiga jarum jam kembali bertengger disepasang angka puncak. Mereka semua telah melakukan perputaran penuh pada permukaan bidang waktu tersebut. Bak seorang perantau mereka menjelajah dan kembali pada tempatnya semula, menjejak dimuka jam seperti cicak. Semuanya berdenyut sesuai aturan perintah dan kenisbian. Pagi, siang, senja, hingga akhirnya kembali pada malam untuk memulai waktu yang baru, berganti-ganti wajah seperti sebuah estafet yang tanpa henti.
Kali ini, terang seakan menjadi logika dari segala bentuk waktu. Mentari memberi warna kehijauan pada dedaunan, merah kecoklatan pada permukaan tanah, dan warna-warna kusam pada dinding-dinding rumah. Siluet-siluet yang munculpun kerap berbentuk bulat dan pendek, tampak lebih padat dan terkonsentrasi dibawah sinar matahari.