Dari lelaki bertopi ini aku juga tambah tahu bahwa demokrasi turut menjadi bagian dari perkembangan evolusi manusia. Lebih besar perannya tinimbang beton, aspal, baja, deru mesin, dan segala macam tambang yang telah dinaikkan keatas permukaan bumi.
Bagiku sendiri politik adalah dunia yang suram, penuh intrik dan rahasia, semacam perang adu taktik dan licik. Politik adalah gambaran asli watak manusia yang selalu menginginkan dominasi dan monopoli. Didalamnya tak jelas bagaimana salah dan benar itu seperti apa. Salah dan benar mudah saja dipropagandakan menjadi hal yang lain sama sekali, dibolak-balik dan diputar-putar.
Kemudian lelaki bertopi itu menengokku sesaat, mengajakku kembali mendengarkan geraman-geramannya. “Apabila dalam usaha uang dijadikan produk, maka keuntungannya bernilai riba. Apabila dalam iklan-iklan diri dijadikan produk itu namanya lacur. Kira-kira begitulah yang terjadi pada demokrasi masa kini. Semua yang gila jabat dan pangkat pandai memelacurkan diri. Tapi mereka, wajah-wajah dengan senyum manis yang terpasang di tiap spanduk, baliho, poster ataupun reklame, tengah bermain judi. Tak cukup uang, senyum manis, dan biografi teladan yang dijual, juga perlu taktik jitu sekaligus licik. Karena ini judi, kalah dan menangnya mereka, rakyat takkan mendapatkan apa-apa. Buat apa memberikan perhatian pada golongan yang hanya menyumbang suara bisu dari kejauhan.”
Cara lelaki bertopi itu bicara menandakan ia punya dendam yang tak terbalaskan. Begitu ada kemungkinan seseorang dapat diajak bicara, ia tuangkan seluruh rasa kesalnya. Kemudian aku yang duduk disebelahnya, dengan wajah yang terlihat putus asa, dijadikan sasaran. Ia yakin aku akan mendengarkan, seraya ia lepaskan semua bara yang ada dalam dadanya.
Ia turun di depan gedung abu-abu tempat polisi-polisi ibukota berkantor. Ia naikkan topinya. Begitu bus yang aku tumpangi bergerak lagi, dari kejauhan aku dapat melihat sorot matanya. Ada amarah yang teramat deras memancar dari dalam. Aku tak tahu apa yang mendorongnya mendatangi ibukota? Apakah sepertiku, ia juga melarikan diri? Bisa jadi ia datang kemari untuk ikut demontrasi.
Tiba-tiba aku merasa kesesakan dalam dada. Mungkin seperti lelaki bertopi itu, aku merasa kecewa. Ibukota dan masyarakatnya menawarkan banyak pertanyaan. Sementara waktu yang tersedia teramat singkat. Bentuk-bentuk pembangunan yang aku lihat sepanjang perjalanan mengingatkanku bahwa aku kalangan manusia tertinggal. Aku tak membawa pemikiran besar ke kota ini, kecuali sebuah dosa yang menggiringku kemari. Ibukota hanya menawarkan sebuah teori evolusi terbaru; hendak menjadi manusia atau kembali menjadi monyet?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H