Mohon tunggu...
Sinar Fajar
Sinar Fajar Mohon Tunggu... Penulis - Karyawan Swasta

Seorang penulis sialan yang mencari keberuntungan Visit now; http://fajhariadjie.blogspot.co.id/

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Kebun Binatang 1

21 Desember 2016   19:42 Diperbarui: 21 Desember 2016   19:52 137
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tentu lebih baik aku lari ke tempat yang lebih jauh daripada Jakarta. Kalau perlu keluar pulau Jawa. Aku harus menyembunyikan diri sedalam-dalamnya. Tapi mengingat dosa yang telah aku perbuat, ke ujung dunia pun keberadaanku bisa terlacak. Aku kabur ke Jakarta karena meyakini ibukota tempat yang tepat untuk orang-orang seperti aku. Ibukota adalah tempat pelarian; lari dari lilitan hutang, himpitan ekonomi, belenggu sosial, kekangan adat, batasan moral, dan aku lari dari kenyataan.

Tiba-tiba pikiran ini menudingku; aku telah menggunakan jatah waktuku hanya untuk melarikan diri dan kelak kembali nanti entah aku hendak melakukan apa. Kenyataan semacam apa sebenarnya yang hendak dibangun oleh seorang pengecut?

Pengecut---- ya, barangkali memang begitulah adanya diriku.

Kembali aku perhatikan penumpang bus dari ujung ke ujung. Adakah diantara mereka juga adalah orang-orang sepertiku yang melarikan diri demi menghindari sesuatu?

            Pelan-pelan bus keluar pintu tol dan memasuki pusat kota. Barisan pepohonan di dalam tol sana digantikan julangan gedung-gedung tinggi. Jakarta tampak begitu sempit dan berisik. Udara terasa padat. Kutengokkan kepalaku memandang keluar melalui kaca bus. Kabut-kabut yang menempel diatasnya telah menguap pelan-pelan. Berupa-rupa kemegahan dan keangkuhan buatan manusia terhampar luas. Tanah-tanah digali, beton-beton ditanam, besi dan baja ditonggakkan, sungai-sungai diluruskan, rumah-rumah digusur, gedung-gedung ditinggikan, jalan-jalan bagaikan labirin, dan tenaga-tenaga rakyat kecil dikuras. Beton, aspal, baja, deru mesin menandakan sebuah puncak teratas evolusi manusia. Segala macam tambang yang terpendam di dasar bumi dinaikkan untuk dibentuk di atas tanah Jakarta. Pembangunan merupakan dominasi tangan manusia terhadap alam. Bukan lagi manusia harus mengikuti keseimbangan alam, sebaliknya alamlah yang mesti mengikuti kehendak manusia. Peristiwa banjir dari tahun ke tahun yang kerap terjadi di kota ini ibarat sebuah perang untuk menentukan siapa yang mestik takluk; manusia atau alam?

            Mengenai kota ini hingga akhirnya menjadi sebuah metropolitan, kira-kira bagaimana wujud Jakarta ratusan bahkan ribuan tahun silam?

            Seperti halnya gagasan Darwin yang kontroversial, aku tahu Jakarta punya teori evolusinya sendiri. Ada sejarah-sejarah yang membentuknya. Begitu pula orang-orang yang tinggal di dalamnya; ada evolusi yang mengarahkan jalan hidupnya. Ada yang menuju puncak, ada pula yang tersingkir. Melalui jalan migrasi menuju Jakarta, evolusiku sendiri tengah aku jalani saat ini juga.

“Jakarta adalah kota kapitalis,” ucap seorang pria yang berdiri tepat disebelahku. Ia mengenakan topinya terlalu bawah, nyaris menutupi sebagian wajahnya, seolah-olah ia menampilkan diri sebagai sosok misterius. Warna kemeja yang dikenakannya luntur. Aku kira ia bukan seorang pegawai kantoran. Penampilannya mirip pengangguran yang sulit cari kerja. “Maka demokrasi tak lain bagian dari bisnis dan bisa dibisniskan, bisa diperjual-belikan. Mungkin guru-guru sekolah mereka dulu juga seorang tukang obat. Begitu pula buku-buku yang mereka baca. Ide-ide mereka tak beda dengan iklan-iklan asuransi ataupun promo-promo iklan pulsa.”

Aku tersihir kata-kata lelaki bertopi itu. Ia menggiringku untuk tak mempercayai keajaiban demokrasi. Ia menyebutkan, karena itu terkait politik, demokrasi itu semacam pergaulan. Lobi-lobi, kampanye, propaganda. Biar bisa keluar sebagai pemenang diperlukan ketenaran, modal besar, dan pandai cuap-cuap. “Itulah tiga hal yang membentuk pergaulan yang lazim disebut demokrasi,” terangnya padaku. “Demokrasi tak lagi bisa disebut kasta rakyat. Siapapun yang mampu memenangkan demokrasi, jadi pejabat dan punya pangkat, ia takkan lagi merasa sebagai rakyat. Ia perlu disanjung dan dipuja. Berkat kekuasaan yang diperolehnya mereka seolah punya mandat untuk menggenggam nasib manusia. Itulah wakil Tuhan karena Tuhan sendiri tak bertanggung jawab atas nasib manusia kecuali takdirnya”.

Kemudian lelaki itu menoleh kearahku dan menatapku dari balik topinya. “Menurutmu sendiri apa arti demokrasi itu? Kebebasan memilih pejabat?”

Sejauh dari yang aku dengar dan aku lihat sistem demokrasi tak jauh beda dengan pemilihan penyanyi baru dalam acara adu bakat di televisi. Sekedar bermain voting-votingan. Hanya soal siapa yang mendapatkan suara terbanyak. Sekalipun dalam acara debat dan kampanye ditunjukkan segala program dan pemikiran para kandidat, tetap saja yang menentukan hasil suara yang diperoleh. Lebih-lebih, dengan segala iming-iming, suara rakyat begitu mudah dicurangi. Iminng-iming itulah isi dari bungkusan kampanye.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun