Mohon tunggu...
Fajriani Kurnia Rosdi
Fajriani Kurnia Rosdi Mohon Tunggu... -

Doctor Gonna Be

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cinta Galih

25 September 2012   10:50 Diperbarui: 24 Juni 2015   23:44 188
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Rasanya lelah sekali setelah berjualan sayuran di pasar tradisional yang becek, tidak teratur, tetapi selalu dipadati dengan para pembeli, khususnya pada Hari Minggu seperti hari ini. Seharusnya di hari Minngu aku bisa menghabiskan waktu bermain bersama teman sebaya atau setidaknya memanjakan diri di rumah bersama keluarga setelah enam hari sebelumnnya menghabiskan waktu di sekolah menuntut ilmu. Ups, salah, lebih tepatnya sebagai pekerja yang mengisi waktu kosongnya dengan kegiatan sekolah. Aku bekerja sebagai penyanyi pada salah satu grup seniman jalanan yang sering mengdakan pementasan teater. Karena grup yang aku masuki sudah cukup terkenal, kami lebih sering diundang untuk mengisi acara atau mengikuti perlombaan daripada harus bekerja di jalanan yang padat, panas, dan keras. Penghasilan kerjaku inilah yang membuatku bisa bertahan sampai bangku SMA tingkat akhir. Dan sekarang aku terancam putus sekolah karena sudah enam bulan tidak membayar SPP. Buknnya penghasilan kerjaku yang menurun, melainkan kebutuhan keluarga kami yang semakin meningkat. Ibuku didiagnosis sakit Batu Ginjal oleh dokter. Ibu tidak bisa bekerja seperti biasa dan harus lebih banyak beristirahat. Karena itu, penghasilanku dialihkan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Kalau membicarakan masalah ibu, aku teringat saat aku masih sangat kecil dan ayahku baru saja meninggal akibat penyakit TB Paru. Sudah satu minggu ibu hanya bisa tergeletak dengan sukses di atas tampat tidur sepanjang hari. Mungkin keadaan ini akan kembali seperti semula jika kami memiliki biaya agar ibu bisa menjalani operasi. Lalu akhirnya bisa bekerja kembali dan aku bisa membaya uang SPP melalui penghasilanku. Ah, sudahlah, aku hanya berkhayal saja. Untuk menjalani operasi saja kami membutuhkan uang minimal 15 juta rupiah. Itu senilai dengan penghasilanku selama lima tahun.

Seorang laki-laki yang kukenal menghampiri daganganku setelah sekitar lima menit mondar-mandir membuat kekacauan di tengah padatnya pasar.

“Bik, Gue ingin beli bahan sayuran untuk membuat sop,” ujarnya dengan nada sombong sambil menutup-nutupi kemejanya yang sobek akibat terserempet ratusan manusia, alhasil salah satu kancing baju pun lepas. Jelas saja aku mengetahui laki-laki ini. Dia bernama Galih, murid yang populer dengan kekayaannya. Dia teman sekolah dar SD hingga SMA dan juga tetanggaku. Aku tambah mengetahui latar belakangnya setelah ayahnya yang merupakan seorang dokter bedah menangani kasus ibu dan menyarankan agar ibu segera dioperasi. Tetapi, sepertinya dia tidak mengenalku. Tidak ada sejarah seorang pangeran mengenal rakyatnya yang miskin.

“Nih, semuanya sudah gue masukin dan lengkap. Semuanya 20 ribu,” ujarku. Dia pun memberikan selembar lima puluh ribu dan langsung berbalik arah.

“Hei, kembaliannya lupa”, teriakku. Dia tetap melenggang dengan sebuah lambaian perpisahan. Ini benar-benar penghinaan diri untukku. Walaupun aku membutuhkan banyak uang, tetapi aku tidak akan membiarkan harga diri terinjak seperti ini.

“Tunggu, gue terima kasih banget atas kemurahan hati lo. Dan sebagai gantinya, gue juga akan berterima kasih. Niy, 10 ribu untuk beli kancing kemeja lo yang baru. Tenang saja masih ada sisa untuk makanan pengganti kalori yang lo buang untuk lambaian tangan yang sungguh memukau”. Tergurat kemarahan diwajahnya. Tetapi, semua terhenti. Tiba-tiba saja tubuhnya telah berada di atas tubuhku. Kami terjatuh setelah seorang bapak bertubuh besar mendorong Galih dalam proses mengejar obral sepatu kulit import dan memaksanya untuk terdorong ke depan menabrak tubuhku. Akhirnya kami terjatuh seperti ini. Sebuah ciuman mendarat di pipiku. Kurasakan nafasnya menyertai nafasku. Aku juga bisa merasakan kulitnya yang begitu mulus dan jauh lebih terawat dari kulitku. Aku akhirnya memberanikan diri membuka mata. Terlihat jelas setiap lekukan wajahnya terpahat begitu sempurna. Jantungku berdetak cepat sekali. Secara refleks pun aku langsung meninjunya yang membuat wajahnya sedikit terluka.

“Lo cewek bukan? Dada lo rata sekali dan gila lo ya main tinju segala, padahal gue adalah korban. Apa orang miskin memang selalu lebih kuat walau kurang gizi?” ledek Galih.

Aku pun menjawab, “Jelas banget gue cewek tulen, lo aja yang nggak lebih hati-hati dalam menjaga keseimbangan. Seharusnya seorang cowok  bisa lincah dan tidak lemah seperti lo yang mudah terjatuh. Gue lebih pantas dikatakan korban daripada lo. Karena yang tadi  itu adalah hal pertama buat gue.”

“Apanya yang pertama?” tanyanya curiga.

“Ciuman tadi apalagi kita tidak punya hubungan apa-apa,” jawabku malu.

“Hahahaha,” tawanya besar sekali. Aku sudah menduga hal ini akan terjadi. Dia pasti akan kembali merendahkanku.

“Hei, itu kan hanya ciuman pipi dan karena kecelakaan.”

“Bilang saja lo tadi cari kesempatan kan. sengaja mepet-mepet ke arah Gue dan memanfaatkan situasi bapak tadi,” sangkalku.

“Dengar ya, lo itu bukan tipe gue. Lagipula bukannya lo yang nyusul. Berarti lo dong yang mau dekat-dekat gue dan cari perhatian. Sekarang berikan gue 50 ribu. Jika terluka seperti ini, gue langsung datang ke dokter spesialis dan biayanya lebih dari 100 ribu. Tetapi, karena gue pemurah dengan orang-orang miskin seperti kalian, gue akan kurangi menjadi 50 ribu,”  ujarnya. Dan tak nyana aku pun terdiam dan merogoh uang 50 ribu yang tadi ia berikan.

Langit tiba-tiba menghitam dan tak lama setelah itu menumpahkan air yang begitu derasnya jatuh ke bumi. Sekujur tubuhku basah. Aku segera menyimpan daganganku dan bersiap pulang karena hari sudah siang dan keluargaku pasti sudah sangat lapar. Untungnya aku membawa payung karena saat ini memang sedang musim hujan. Udara dingin, angin kencang, puluhan kilat, dan petir yang menyambar tak membuatku takut. Karena aku sudah terbiasa dengan perubahan cuaca seperti ini. Penghasilan hari ini minus 30 ribu rupiah. Aku sedikit menyesal berani melawan Galih. Sseharusnya dari awal aku sudah menduga bahwa orang miskin selalu kalah dari orang kaya. Hari ini, aku hanya bisa membeli makanan untuk keluarga tanpa bisa menabung untuk biaya operasi ibu.  Aku pun pulang ke rumah dengan rasa bersalah. Ku lihat ibu masih terbaring dengan nafas yang tidak sempurna, sementara kedua adikku tertidur pulas di sebelahnya. Mungkin mereka belum makan. Aku segera menuju dapur untuk memasak. Terkejutnya aku melihat ada banyak makanan di atas meja. Adik pertamaku yang tiba-tiba terbangun seolah mengerti dengan kebingunganku dan berinisiatif untuk menceritakan sebelum ditanya.

“Tadi seorang teman mbak datang dan membawa semua makanan itu. Ada suratnya juga tuh, belum Tari buka kok,” ujar adikku. Aku segera membuka surat dengan penasaran karena selama ini teman dekatku tidak memberikan makanan apalagi sampai mengantarkan ke rumah. Sekujur tubuhku terasa panas dan amarah pun memuncak setelah membaca surat tersebut.

Makanan sebagai pengganti kerugian yang elo alami. Khususnya ciuman pipi pertama lo itu :P. Ternyata rumah lo jauh lebih berantakan daripada yang kubayangkan selama ini.

Aku langsung keluar rumah membawa semua makanan tersebut dan berlari di antara hujan menuju sebuah rumah besar di sebelah gubukku. Seorang satpam mencegahku.

“Neng Cinta, ada apa? Kenapa terburu-buru sekali? Apa ibu sakit parah?” tanya satpam yang cukup mengenal keluarga kami.

“Bukan Pak Joko, aku ada perlu dengan Galih. Dia ada di rumah Pak?” tanyaku.

“Ada neng, tapi kok tiba-tiba ingin bertemu Den Galih bawa banyak makanan dan hujan-hujan begini?” tanya Pak Joko.

“Iya Pak, ada urusan mendadak dan penting sekali,” jawabku dan langsung masuk ke rumah besar tersebut. Salah seorang pembantu rumah ini yang aku kenal karena sering belanja di pasar pun mengantarkan aku menuju kamar Galih. Kamar itu sangat luas. Semua benda tersusun dengan sangat artistik dan rapi. Tetapi Galih tak kelihatan dan kamar itu kosong.

“Galih, dimana lo? Gue datang balikin makanan yang lo bawa. Jangan anggap lo bisa merendahkan Gue dengan mudah.” Aku pun menaruh makanan-makanan tersebut dan berbalik arah meninggalkan kamar. Kemudian aku melihat sebuah kejanggalan pada sebuah lemari di salah satu pojok kamar. Aku pun mendekati lemri tersebut, mengamatinya, lalu membukanya. Jendela itu ternyata tidak terkunci dan terlihat Galih bersimpuh lemah di dalamnya. Ia tampak kesulitan bernafas, tetapi tak ada upaya untuk keluar.

“Ngapain lo? lo bisa mati karena tidak bisa bernafas dengan baik.” Aku pun langsung menarik Galih keluar.  “Apa lo baik-baik saja? Apa tangan dan kaki lo kram? Gue regangkan ya,” ujarku berusaha membantunya.

“Nggak perlu, cepat ambil i-Phone Gue di ruang tamu bawah. Sebelumnya tutup semua tirai kamar dan bantu Gue menutup mata dengan salah satu sapu tangan yang ada di laci lemari,” ujarnya. Aku pun langsung melakukan semua hal yang dikatakannya walaupun aku tidak tahu alasan yang membuatnya menjadi sangat tidak berdaya dan ketakutan seperti saat ini. Setelah keadaan tenang, aku pun ikut duduk di sebelah Galih yang dengan santainya mendengarkan i-Phonenya dengan mata yang tertutup.

“Lo takut Kilat dan petir ya?” tanyaku penuh curiga.

“Iya, ini adalah hal yang sering Gue lakukan ketika kecil, bersembunyi di dalam lemari hingga hujan berhenti. Setelah besar, Gue mulai membiasakan mendengar musik dan menutup mata. Tetapi, hujan hari ini datang begitu cepat dan Gue tidak sempat untuk mengambil i-Phone dan menutup mata. Gue pun berpikiran masuk ke dalam lemari. Ternyata badanku yang telah tumbuh besar mengalami kesulitan. Nggak bisa bernafas, tubuh kram, semua terasa gelap hingga Gue dengar lo masuk dan teriak manggil Gue,” jawabnya.

“Gue nggak nyangka kalau ada laki-laki yang takut kilat dan petir. Lo lemah banget Lih,” canda gue sambil menyenggolnya.

“Lo benar, Gue laki-laki yang terlalu lemah. Padahal Gue ingin menjadi seperti sosok Sudirman, seorang jendral besar yang gagah perkasa membela tanah air. Sekarang sepertinya Gue harus mengubur mimpi Gue,” ujarnya.

“Kenapa?” tanyaku.

“Karena dua Minggu lagi Gue akan menghadapi tes fisik masuk Sekolah Militer selama satu minggu dan Gue takut seandainya saat itu hujan turun, maka Gue pasti akan gagal,” jawabnya.

***

Di Sekolah aku tidak pernah bertemu Galih, bahkan sejak peristiwa ciuman karena kecelakaan dan terbongkarnya kelemahan Galih takut akan kilat dan petir. Setiap hari aku habiskan waktu di sekolah dan berlatih pementasan dengan grup seniman jalananku. Dan aku yakin Galih juga mempunyai kesibukan yaitu berlatih mempersiapkan dirinya untuk tes fisik sekolah militer yang harinya semakin dekat.

Karena pementasan kali ini adalah sebuah perlombaan besar, aku pun berlatih dengan sangat serius. Apalagi hadiahnya sangat besar. Para anggota lainnya telah menyutujui bahwa sebagian besar hadiah diberikan kepadaku sebagai biaya operasi ibu. Dalam pementasan ini diceritakan seorang Pahlawan Jepang yang gagal meraih impiannya membela negeri Jepang dari perebutan Cina. Akhirnya ia memutuskan bunuh diri secara harakiri. Tetapi di balik rencanannya, muncullah seorang perempuan menyelamatinya dan membantu kembali menyemangatinya agar terus bertempur merebut kembali wilayah Jepang. Dari cerita ini, aku berpikir mungkinkah Galih juga akan melakukan hal yang sama. Pikiranku semakin tidak karuan, sehingga membuat anggota lain jengkel dan menyuruhku untuk beristirahat sehari. Aku pun pulang, tidak langsung menuju rumah, tetapi menuju Perpustakaan Nasional. Aku mencari buku-buku yang membahas tentang Phobia dan cara mengatasinya. Aku fokus mencari cara mengatasi ketakutan Galih terhadap kilat dan petir. Kemudian aku menemukan sebuah tulisan yang mungkin bisa kulakukan. Aku pun segera menuju rumah Galih dan menjelaskan tulisan yang baru kubaca. Awalnya Galih tidak mempercayainya. Tetapi berhari-hari aku selalu datang dan berusaha meyakinkan bahwa teknik itu sangat mungkin membuat ketakutan Galih hilang. Lalu Galih berkata kepadaku, “Kemungkinan itu adalah Pilihan yang paling terakhir dilakukan. Jadi Gue tetap nggak mau.” Aku pun menyanggah, “Tetapi bukankah lo juga nggak punya pilihan lain. Inilah satu-satunya pilihan lo, pilihan terakhir lo yaitu sebuah kemungkinan. Sebuah kemungkinan itu akan menghasilkan seuatu yang lebih besar daripada sebuah kepastian. Ayolah kita coba sekarang”.

Galihpun menyetujuinya. Aku juga sudah merasa yakin dengan kemampuanku setelah berhari-hari berlatih. Lalu aku menarik nafas dalam –dalam dan mulai beraksi.

“Galih Antara, Lihat bandul ini..Lihat lebih dalam lagi..Lebih dalam lagi..Hingga akhirnya Kau tertidur. Tertidur Pulas. Tidurlah dengan pulas dan setelah kau bangun ketika kau bangun kau akan sangat ingin melihat kilat dan petir. Kau akan sangat menyukai Kilat dan Petir itu dan tidak akan pernah lagi mengalami ketakutan. Karena, setiap melihat kilat dan petir kau akan selalu terbayang pada wajah Cinta yang cantik dan cute. Kau akan melihat kilat dan petir sebagai bayangan cinta. Jadi tidurlah dengan pulas sekarang”. Aku pun menghentikan hipnotisku dan kulihat Galih sudah tertidur sangat pulas. Aku pun pulang ke rumah dengan lega dan sedikit cemas jika rencana ini gagal atau malah menghasilkan efek samping yang berbahaya.

Keesokan paginya di sekolah Galih menghampiriku di kelas dengan penuh kemarahan dan kebingungan.

“Cinta, lo apain gue Kemarin? Kenapa Gue baru bangun tengah malam dan sangat ingin melihat kilat petir. Karena itu, gue browsing video kilat dan petir. Gue seperti orang gila menonton hal yang membosankan seperti itu semalaman. Dan yang lebih parah kenapa tiba-tiba wajah lo muncul,” ujarnya dengan wajah yang merah.

“Apa wajah Gue cantik dan cute?” godaku. “Bagaimana lo bisa tahu?” tanyanya.

“Karena setiap lo melihat kilat dan petir wajah gue yang akan terbayang. Karena gue cantik, kilat dan petir pun tampak indah. Hati-hati lo bisa jatuh cinta sama gue,” godaku.

“AAARRRGGGHHH, Tidakkkkk!!!!!!”, teriak Galih keluar kelas dan masih terus berteriak. Aku hanya bisa tertawa dan lega karena misiku berhasil sempurna dan Galih tidak akan pernah takut lagi dengan kilat dan petir dan siapa sangka suatu saat nanti pangeran bisa melihat rakyatnya yang miskin.

***

Hari ini adalah prlombaan pementasan yang selama ini aku latih. Sperti biasa, ibu dan adikku duduk di bangku penonton. Aku sengaja mengajak ibu agar semua anggota bisa lebih semangat karena pementasan kali ini didedikasikan khusus untuk ibu. Sebenarnya aku sangat berharap akan ada satu penonton tambahan, yaitu Galih. Tetapi sudah seminggu dia sedang berada sekolah militer untuk menjalani tes fisik.

“Nobu Kun, Aku berjanji akan selalu menemani dan menyemangatimu. Bertahanlah Nobu. Aku tidak ingin kau mati sia-sia seperti ini. Kau masih mempunyai banyak kesempatan membela negeri ini dan kelak kita akan berjuang bersama. Oda Nobugawa, tolong bertahanlah....” Gadis Jepang itu berteriak memanggil nama kekasihnya yang baru saja mensukkan samurai di dadanya sendiri.

“Sakura Chan, benarkah kau masih sangat ingin berjuang bersamaku,” ujarnya terbata sambil berusaha membuka mata untuk melihat gadis yang sangat dicintainya.

“Iya Noguchi Kun.” Gadis itu pun meyakinkan laki-laki itu dengan mata yang telah berlinang air mata.Laki-laki itu menjawab, “Baiklah Sakura aku akan bertahan.” Alunan musik pun diperkeras dan inilah nyanyian terakhir yang kunyanyikan pada pementasan kali ini. Para penonton langsung bertepuk tangan dengan keras dan aku pun mulai meneteskan air mata.

Kami semua berdiri di belakang panggung sambil menanti pengumuman pemenang. Semua terlihat tegang dan sangat menanti waktu kemenanganan yang mungkin akan mereka raih atau kekalahan yang akan mereka bawa. Tiba-tiba ponselku berbunyi, yaitu panggilan dari Galih.

“Cinta.... Gue bisa menjadi Jendral Sudirman, Gue lulus cinta....” Galih berteriak dari seberang sana. Aku sama sekali tidak menanggapi obrolan tersebut karena aku terdiam setelah mendengar pengumuman pemenang dan tanpa sadar aku langsung menangis tersedu-sedu saat ponsel masih tersambung dengan Galih. “Cinta...Cinta.. kenapa menangis? Apa terjadi sesuatu terjadi pada ibu?” tanya Galih cemas. “Iya Galih..Ibu akan bisa segera dioperasi.. Kami mendapatkan biayanya. Kami Menang Galih, Gue menang!” teriakku kencang sekali di ponsel membuat Galih terkejut. “Selamat Cinta, Berkat Cinta kita berhasil menang. Gue sangat merindukan lo di sini. Bagaimana dengan lo?” tanya Galih. “Gue juga, sangat merindukanmu,” jawabku pelan.

Setelah mendapatkan piala dan hadiah aku langsung menuju ke arah ibu dan memeluknya. Lalu ibu berkata kepadaku, “Terima kasih anakku. Cinta telah membawa kemenangan.”

Aku sangat bahagia karena berhasil membwa keluargaku keluar dari mimpi buruk dan juga sangat bahagia karena Galih bisa meraih impiannya. Cinta memang telah membawa kemenangan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun