Mohon tunggu...
Fajar Widyasmono
Fajar Widyasmono Mohon Tunggu... -

Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Argopuro: Surga di Timur Jawa

30 September 2013   11:12 Diperbarui: 24 Juni 2015   07:12 669
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Penulis menulis tulisan ini sebenarnya 6 tahun yang lalu, ketika penulis sedang iseng-iseng buka-buka file ternyata tulisan ini masih ada di dalam folder yang memang sudah lama tidak penulis buka-buka, maka dari itu penulis ingin berbagi pengalaman dengan rekan-rekan kompasioner. Semoga bermanfaat

Gunung Argopuro atau masyarakat setempat lebih mengenalnya sebagai Gunung Rengganis (sesuai dengan legenda yang memasyarakat tentang seorang Dewi yang bersemayam di gunung tersebut yang bernama Dewi Rengganis) bagi masyarakat umum memang tidak seterkenal Gunung Gede Pangrango (Jawa Barat), Gunung Ciremai (Jawa Barat) ataupun Gunung Semeru (Jawa Timur) yang setiap tahunnya banyak dikunjungi para pendaki. Tetapi bagi komunitas-komunitas pecinta alam, Gunung Argopuro cukup dikenal karena treknya (istilah untuk jalur pendakian) yang merupakan salah satu trek terpanjang dan cukup melelahkan serta diperlukan fisik yang baik saat melakukan pendakian dan dibutuhkan waktu 3-4 hari untuk naik turun gunung.

Gunung Argopuro sama seperti Gunung Semeru terletak di Jawa Timur. Untuk mendaki puncak argopuro terdapat dua jalur pendakian, melalui Jalur Baderan Situbondo atau melalui desa Bremi Kabupaten Probolinggo. Gunung yang sudah tidak aktif ini memiliki beberapa puncak yang puncak tertingginya berada di ketinggian 3088 mdpl.

Sebelum mendaki kita wajib melapor kepada polsek atau pos pusat konservasi perhutani setempat. Saya dan rekan2 memilih mendaki melalui Jalur Baderan dan turunnya melalui Jalur Bremi. Sebelum memasuki kawasan batas hutan kami menyusuri jalan setapak yang sejajar dengan irigasi yang dibuat oleh penduduk setempat sesekali kami berpapasan dengan beberapa orang penduduk yang sedang membawa rumput untuk ternak mereka bahkan beberapa kali kami harus agak menyingkir ke pinggir karena sebagian dari penduduk ada yang membawanya dengan menggunakan sepeda motor. Kami pun mulai mendekati batas hutan. Hutan di sini sangat lembab dengan pepohonan yang tertutup rapat membuat sinar matahari sulit untuk menembus masuk. Sesekali kami melewati padang savanna dan padang eidelweis yang banyak sekali tumbuh di sini sebelum kembali menembus lebatnya hutan, di sinilah letak keunikan Argopuro treknya yang tidak monoton kita disuguhi pemandangan yang tidak membosankan dengan banyak padang savanna dan padang eidelweis nya yang tidak di miliki oleh kebanyakan gunung-gunung di Indonesia. Setelah 6 – 7 jam kami berjalan dengan trek yang agak landai dan tidak begitu terjal dan beberapa kali keluar masuk hutan, sampailah kami di tujuan awal kami Cikasur.

[caption id="attachment_291623" align="aligncenter" width="300" caption="Cikasur -Argopuro"]

13805139602097961572
13805139602097961572
[/caption]

Cikasur adalah sebuah padang Savanna yang sangat indah dan luas terdapat juga sungai kecil yang airnya sangat jernih ditumbuhi selada-selada air yang segar bisa sebagai teman untuk menyantap mie instant hmm yummy ... Kalau kita beruntung di tempat ini kita dapat melihat kawanan rusa yang sedang bermain-main atau mencari makan. Ditengah-tengah savanna terdapat sebuah pos yang kondisinya sudah tidak terawat lagi. Tepat di belakang pos terdapat sebuah reruntuhan bekas bangunan peninggalan jaman Kolonial Belanda. Konon dulu di tempat ini digunakan Pemerintah Kolonial sebagai landasan pesawat terbang. Memang walaupun sudah ditumbuhi rumput yang sangat lebat samar-samar kita bisa melihat adanya jalur seperti landasan pesawat. Kami pun memutuskan untuk ngecamp (bermalam) disini disamping sekedar untuk beristirahat karena kondisi badan kami yang terasa letih kami juga tidak mau melewatkan kesempatan yang langka ini untuk merasakan ketenangan dan kedamaian tempat ini.

Pesona Cikasur pun tidak sampai di situ, keesokan harinya pada saat matahari baru menunjukkan sinarnya saja, terlihat pemandangan yang lagi-lagi membuat kami takjub, kabut putih tipis seperti keluar dan mengambang diatas hamparan padang rumput dan terlihat seperti awan tipis yang sedang mencumbui savanna. Decak kagum dan pujian atas kebesaran Sang Maha Pencipta pun tanpa sadar keluar dari mulut kami. Kami pun merasa seperti berada di atas nirwana. Sekali lagi ini adalah bentuk dari karya agung Sang Pencipta yang mesti kita syukuri. Kami pun tidak menyia-nyiakan momen tersebut untuk mengabadikannya.

Pagi harinya setelah sedikit bermain-main dengan air sungai yang jernih sambil membersihkan diri kami pun mulai berkemas dan melanjutkan perjalanan menuju puncak karena target kami hari ini harus sudah berada puncak. Perjalanan dari cikasur sampai puncak treknya mulai agak berat. Di sinilah kondisi mental dan fisik kami diuji. Sebenarnya treknya tidak jauh berbeda dengan trek di awal-awal pendakian, kita masih disuguhi pemandangan dari beberapa padang savanna dan eidelweis tetapi jalurnya mulai agak sedikit terjal bahkan sesekali jalur menurun tajam sebelum mulai menanjak kembali. Beberapa kali kami harus menerobos pohon-pohon yang tumbang. Jalan yang agak licin karena faktor kelembaban dan memang sedang musim penghujan membuat kami harus extra hati-hati agar tidak tergelincir. Setelah jalan berkilo-kilo meter sampai lah kami pada tempat bernama Cisentor. Tempat ini letaknya agak di tengah-tengah hutan terdapat pos seperti di cikasur dan tempat ini cukup ideal untuk mendirikan tenda, terdapat sungai yang mengalir cukup deras. Disini juga merupakan titik pertemuan jalur pendakian baderan dan bremi. Kami tidak lama di tempat ini hanya sekedar beristirahat dan melepaskan dahaga serta mengisi persediaan airkarena kami berencana bermalam di puncak.

Setelah cukup beristirahat kami melanjutkan perjalanan menuju puncak. Dari Cisentor kami meneruskan perjalanan sampai suatu tempat yang bernama Rawa Embik. Tempat ini sedikit terbuka dan luas tetapi disarankan jangan membuka tenda di tempat ini karena kabarnya banyak sekali babi hutan yang berkeliaran, di Gunung Argopuro memang banyak sekali populasi binatang-binatang liar seperti babi hutan, rusa, lutung, macan bahkan ketika kami dalam perjalanan turun di tempat ini kami melihat kawanan burung merak dengan bulu-bulunya yang indah sekali, mungkin mereka sedang mencari makan tetapi sayang ketika kami hendak mengabadikannya mereka merasa terganggu dan pergi begitu saja. Perjalanan dari rawa embik ke puncak harus menyusuri lereng gunung yang bersebelahan dengan jurang yang cukup dalam dan kita juga memasuki kawasan bekas kebakaran hutan. Beberapa kali kami mesti menerobos jalur yang sudah tertutup alang-alang yang cukup tinggi.

Setelah melalui perjalanan yang cukup melelahkan kami sampai di sebuah sungai kering dari sungai tersebut jalur menanjak cukup terjal sekitar kemiringan 70 derajat untuk mencapai ke puncak, setelah melalui perjuangan yang cukup melelahkan sampai lah kami di puncak Argopuro.

Puncak Argopuro merupakan dataran luas yang cukup tandus banyak bebatuan belerang yang tersebar dan terdapat reruntuhan bekas bangunan mungkin bekas tempat peribadatan atau sejenisnya dan ada juga beberapa bebatuan yang mirip-mirip sebuah makam yang menambah aroma mistis dari gunung tersebut.

[caption id="attachment_291624" align="aligncenter" width="300" caption="Siluet Puncak-Puncak Gunung lain dilihat dari Puncak Argopuro"]

1380513685958822063
1380513685958822063
[/caption]

Di ujung timur terlihat siluet jajaran gunung-gunung yang terdapat di sekitar Argopuro seperti gunung raung, arjuno dan semeru ditambah lagi dengan bias kemerahan cahaya matahari ketika sunrise keesokan harinya. Inilah mahakarya seni Sang Maha Pencipta yang tiada bandingnyaSubhanallah

Pada saat turun kami akan melalui jalur Bremi itu berarti pada saat tiba di cisentor kami tidak mengambil jalur yang sama ketika kami mendaki. Jalur Bremi pun tidak jauh beda dengan jalur Baderan, kami tetap keluar masuk hutan, padang savanna dan eidelweis sampai kami menemui sebuah danau yang bernama Danau Taman Hidup. Di sini kami melihat beberapa penduduk sedang memancing ikan. Kami pun beristirahat sejenak sambil menikmati panorama keindahan danau dan sekelilingnya.

Setelah merasa cukup beristirahat kami kembali melanjutkan perjalanan. Trek dari Danau taman hidup sampai ke kaki gunung merupakan hutan yang cukup lebat tidak ada lagi padang savanna ataupun eidelweis bahkan sesekali kami tergelincir akibat licinnya jalur, kadang kami harus melewati sisi-sisi jurang yang cukup dalam, banyak sekali pacet (sejenis lintah) yang tiba-tiba sudah menempel di kaki-kaki kami. Setelah melalui perjuangan yang cukup melelahkan sampai lah kami di desa penduduk yang ditandai dengan mulai banyaknya perkebunan jagung. Kami pun langsung memanjatkan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas karunianya memberikan keselamatan dan kesehatan kepada kami selama perjalanan yang sangat menguras fisik dan mental ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun