[caption id="attachment_224311" align="aligncenter" width="516" caption="ilustrasi utang"][/caption]
Berhutanglah jika sanggup untuk membayar. Hal pertama yang harus dipertimbangkan sebelum memutuskan berhutang adalah kemampuan kita membayarnya. Jangan samapai karena terlilit hutang, senyum dan kebahagiaan kita tergadai. Melalui tulisan ini, saya ingin berbagi pengalaman saya berhutang. Â Saya berkeinginan untuk memiliki sebuah rumah, mengingat biaya kontrakan rumah di Jakarta sudah menyentuh hampir 15 juta rupiah per tahun. Akan lebih bermanfaat jika 15 juta rupiah tersebut saya gunakan untuk menambah biaya membeli rumah. Akhirnya saya membulatkan tekad untuk membeli sebuah rumah. Setelah melihat harga-harga rumah yang ada di kawasan Jakarta, Tangerang, Bekasi atau Depok, rasanya tabungan saya tidak akan cukup untuk membeli rumah secara cash, sehingga mau tidak mau saya harus berhutang.
Singkat kata, saya tertarik dengan sebuah rumah di kawasan Tangerang, namun sayang, tidak menerima KPR. Karena saya terlanjur cinta dengan rumah tersebut, saya berniat akan membayar rumah tersebut dengan menggunakan kredit konsumtif dan bukan KPR. Saya segera membandingkan KPR dengan kredit konsumtif yang rencanya akan saya ambil untuk membayar rumah tersebut. "Duh!, Jika dihitung, hampir 70 persen penghasilan saya akan habis untuk membayar utang pokok dan bunga kredit konsumtif tersebut. Dengan kata lain saya harus menggadaikan senyum dan kebahagiaan saya demi memiliki rumah tersebut, sebuah pilihan yang berat.
Di sela-sela kebimbangan saya tersebut, pada suatu ketika saya dan istri mengunjungi sebuah pameran properti di Tangerang yang diadakan beberapa waktu lalu. Di sana kami melihat beragam model rumah maupun apartemen yang dipasarkan dan tentunya dengan fasilitas KPR. Setelah berkeliling, saya mengunjungi sebuah stand yang memasarkan beberapa rumah di kawasan Tangerang. Saya tertarik, namun saya juga bimbang karena sebenarnya saya terlanjur terpikat dengan rumah yang dijual secara cash yang telah saya lihat sebelumnya. Jika dibandingkan dengan rumah yang dijual secara cash, rumah yang ditawarkan di pameran tersebut terhitung lebih mahal, luas tanah dan bangunan juga lebih kecil, belum lagi saya harus menunggu sekitar satu tahun untuk dapat menempati rumah yang saya pesan. Saya masih belum bisa menentukan apakah memilih jalur kredit konsumtif atau melalui kPR saja.
Setelah hampir dua jam saya mempertimbangkan sisi negatif dan sisi positifnya, akhirnya saya memutuskan untuk mengambil sebuah rumah di pameran tersebut secara KPR. Saya memilih berhutang melalui KPR mengingat tabungan yang saya miliki sekarang hanya cukup untuk membayar uang DP rumah tersebut, selain itu setelah saya hitung, jumlah angsuran KPR yang harus saya bayar setiap bulannya ternyata tidak melebihi 30 persen dari seluruh penghasilan yang saya miliki saya sekarang, sehingga cash flow money saya tidak terganggu.
Saya tidak mampu membayangkan bagaimana saya akan menjalani hidup, jika saya memutuskan untuk membeli rumah secara cash melalui kredit konsumtif yang akan menyedot sekitar 70 persen penghasilan saya setiap bulannya, bagaimana saya harus menderita karena harus mengekang seluruh keinginan-keinginan lahiriah maupun batiniah saya selama beberapa tahun demi memiliki rumah tersebut. Pertimbangan yang saya lakukan sebelum memutuskan berhutang adalah kemampuan membayar. Saya akhirnya lebih memilih membeli rumah secara KPR, Meskipun judulnya sama-sama berhutang, Senyum saya tetap mengembang, rasa tenteram juga tetap ada dan saya tidak perlu khawatir dengan tagihan-tagihan yang akan datang setiap bulannya, karena porsi hutang saya hanyalah 30 persen dari seluruh penghasilan yang saya miliki sekarang. Berhutanglah jika sanggup untuk membayar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H