Mohon tunggu...
Fajar Tri Hartini
Fajar Tri Hartini Mohon Tunggu... Guru - Guru SDN Kemasan Surakarta

Saya seorang guru SD yang mulai mengembangkan hobi membaca & menulis sejak pandemi melanda negeri ini bahkan dunia. Meski tulisan saya belum sebagus punya teman-teman, tapi karena kecanduan menulis, saya tetap nekat terus menulis. Salam literasi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sinis

10 Juni 2023   20:31 Diperbarui: 10 Juni 2023   20:34 118
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sinis

Aku bukan sebagai pesakitan, duduk di depan para 'penegak hukum' di Kantor Pengadilan ini. Kalau bukan ingin menolong tetangga dengan mengatakan hal yang sebenarnya terjadi, tak mungkin aku mau jadi saksi.
Tapi sungguh sejak duduk di depan hakim, perempuan yang cantik tapi berwajah sangar itu, aku merasa sangat tak nyaman. Tatapan matanya sungguh sinis kepadaku. Seperti aku ini seorang pelanggar hukum. Huh! Aku merasa sebal dan ingin segera meninggalkan ruang sidang. Tapi ku tahan karena komitmenku untuk menjadi saksi tindak pidana yang tidak dilakukan tetanggaku.
Pertanyaan hakim ku jawab dengan lancar. Tak ada yang ku sembunyikan atau pun mereka-reka supaya tetanggaku tak mendapat hukuman. Bukan sifatku itu. Tak seperti saksi lawan tetanggaku Uya. Kasihan Uya, dia bantu temannya Oon ini habis-habisan. Tak hanya bantuan materiil berupa uang, pakaian, makanan, atau pun lainnya. Bahkan ketika Oon diusir dari rumahnya, Oon lah yang memberi tumpangan gratis kepada Oon.
Untunglah, selain bertetangga, keluargaku punya kedekatan secara khusus. Seringkali Uya bercerita tentang temannya itu yang sudah lama menumpang di rumahnya. Kalau aku langsung melihat dan mendengar sendiri, percakapan Uya dan Oon. Bahkan sering aku terlibat langsung dalam obrolan mereka.
Maka ku sampaikan di depan majelis hakim apa yang ku dengar dan ku lihat. Dari sejak perkenalanku dengan Oon, pinjaman uangnya kepada Uya, sampai perlakuan Oon pada Uya dan keluarganya. Hatiku merasa lega setelah semua ku ungkapkan dengan jujur. Meskipun masih menyimpan rasa jengah pada hakim wanita yang berwajah seram itu.
Hari ini adalah hari ketiga sejak kesaksianku. Sambil menikmati udara sejuk ku perlambat laju sepeda motorku. Jalanan juga masih sepi karena aku berangkat kerja lebih awal. Udara bersih ku nikmati sepuas hati meski aku masih memakai masker.
Sedikit kaget aku waktu sepeda motor yang melaju cepat mendahuluiku, tiba-tiba oleng ke kanan dan kiri. Diiringi suara meletusnya ban sepeda motornya. Wanita pengendara sepeda motor itu terlihat tak bisa mengendalikan kemudinya.
Grooobbyaaakkk...!!! Aku lebih terkejut ketika dia jatuh berguling-guling di atas aspal. Untunglah tak ada satu pun kendaraan yang melintas. Andai saja hal itu terjadi, entahlah! Aku tak bisa membayangkannya.
Ku dekati dia yang masih nampak terengah-engah duduk di pinggir jalan. Pasti berbagai rasa campur aduk di hatinya. Kaget, takut, bahkan bisa juga panik. Ku bawa motorku ke tepi dan mendekatinya. Tapi aku lebih kaget lagi dan segera mengurungkan niat untuk menolongnya. Karena ternyata wanita itu adalah hakim yang berwajah angker saat aku memberi kesaksian di pengadilan.
Kali ini aku bisa membalasnya dengan tatapan sinis seperti yang pernah dilakukannya padaku. Meski wajahku tetap tertutup masker tapi aku puas sudah bisa membalas sikapnya padaku.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun