Mohon tunggu...
Fajar Syahlillah
Fajar Syahlillah Mohon Tunggu... -

Penikmat sepi. Pecandu kopi. Pejuang hak asasi. Pengagum puisi. Pemain diksi. Saya bisa dihubungi di fafha.ardiansyah@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ironi Perempuan Indonesia, Masih Jadi Objek "Empuk" Berita

9 Maret 2019   00:20 Diperbarui: 9 Maret 2019   00:27 333
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Instagram @ardiansyahfajarsyahlillah

Sebagai seorang penikmat produk media, yaitu berita. Saya masih menyimpan tanda tanya besar. Kepada redaksinya. Khususnya oknum redaktur dan jurnalisnya. Terlebih, kalau itu perempuan. Keheranan saya kenapa sebagian dari mereka rela 'menelanjangi' gendernya sendiri.

Sajian berita di negeriku masih tetap sama. Belum ada perubahan. Perempuan jadi topik utamanya. Seakan mereka ditelanjangi. Seakan merekalah yang bisa dijual. Caranya ya dengan mengeksploitasi. 

Baru-baru ini, saya membaca salah satu surat kabar. Pembahasannya bagus. Menarik. Sayangnya kurang berimbang. Terutama di bagian judul. Sudah sangat kelihatan. Tujuannya mengeksploitasi perempuan untuk memenuhi keinginan otak pembaca di negeriku ini. 

Mereka membahas perceraian, tapi yang dijadikan topik utamanya ialah perempuan. Dengan mengangkat bahwa jumlah angka janda meningkat di Headline (HL). Tentunya, para lelaki pasti tertarik untuk segera membaca ini. Keheranan saya pun muncul. Kenapa harus janda yang ditonjolkan? Kalau ingin gender yang diutamakan, harusnya duda juga dimasukkan dalam topik utamanya.

Sekali lagi, penerbitan berita ini untuk memenuhi keinginan otak pembaca. Nilai patriarki masih sangat jelas. Seakan tak ada kesetaraan gender di sini. Ada juga yang protes ke saya, kenapa kok duda gak dibahas? Ya karena menelanjangi lelaki belum menarik bagi sebagian media di negeriku ini. Tapi seharusnya tidak ada yang perlu dieksploitasi.

Memang, sangat menakutkan menjadi seorang perempuan di negeriku. Jadi janda dieksploitasi, masih perawan belum nikah dirasani, pacaran disoroti, orientasi seks berbeda dikecam bahkan jomblo saja dijadikan bahan bully-an. 

Saya membayangkan, kalau berita itu harusnya membahas perempuan tangguh. Perempuan yang bisa hidup menjadi orangtua tunggal setelah ditinggal suaminya, dengan alasan cerai atau pun meninggal dunia. Saya berharap, harusnya pembahasan rinci satu tokoh perempuan yang mampu memfasilitasi anaknya seorang diri. Bukankah itu lebih manusiawi? lebih melihatkan perempuan yang bisa menghidupi meski tanpa lelaki, lebih mengangkat stigma positif seorang janda.

Janda dan duda itu hanya status sosial. Tak ada yang perlu disudutkan. Tak ada yang harus ditelanjangi. Hak keduanya sama di mata HAM. Mau jadi apapun tidak perlu malu, karena hak kebebasan itu ada. Selagi kebebasanmu tak mengganggu hak orang lain.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun