Mohon tunggu...
Fajar Syahlillah
Fajar Syahlillah Mohon Tunggu... -

Penikmat sepi. Pecandu kopi. Pejuang hak asasi. Pengagum puisi. Pemain diksi. Saya bisa dihubungi di fafha.ardiansyah@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Debat "Normatif" Capres-Cawapres 2019

2 Maret 2019   18:30 Diperbarui: 2 Maret 2019   18:27 89
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Memasuki tahun 2019, publik sudah harus berhadapan dengan hal berat. Buktinya, debat publik yang digelar 17 Januari 2019 lalu. Tidak hanya sekali, debat Calon Presiden (Capres)-Calon Wakil Presiden (Cawapres) ini masih punya empat babak lagi.

Haruskah digelar sebanyak itu, padahal, debat pertama kemarin serasa sangat hambar. Kalau dikatakan miris, memang iya. Betapa tidak, calon pemimpin kita tak bisa menghadirkan suasana yang sejuk. Sampai-sampai moderator debat, Ira Koesno harus mendikte kedua pasangan calon (paslon). Agar memberikan apresiasi pada sesi akhir.

Tapi apa? Keduanya masih kaku. Harusnya Jokowi atau Prabowo tak perlu sampai dibimbing oleh Ira untuk memberi apresiasi itu. Kalimat Ira sangat jelas. Diulang-ulang, sudah seperti mendikte bahkan menyuruh. Keduanya tetap tidak mau. Sungguh terlalu.

Kalau pun mau. Jokowi dan Prabowo bisa saja memberi apresiasi itu. Keduanya terlalu khawatir kalau simpatisannya beralih dukungan. Padahal tidak. Tergantung bagaimana cara beri apresiasi dan pujiannya.

Misalnya, Jokowi bisa saja puji pakaian jas serasi Prabowo-Sandi. Terkesan rapi. Warnanya hitam. Mengkilap. Tak terlihat noda satu pun. Atau justru memuji bagaimana pembawaan Prabowo saat debat. Suaranya lantang, atau tariannya indah. Mungkin punya hobi dan bakat tari.

Sementara Prabowo, bisa saja puji Jokowi-Ma'ruf yang pakai kemeja bewarna putih. Terkesan rapi. Seperti mau berangkat ngaji. Atau mungkin soal pembawaan Jokowi yang lebih lancar daripada tahun 2014 lalu. Karena sambil banyak membaca di tahun ini.

Tak ada yang mau untuk memuji. Semuanya terlalu takut ditinggal pendukungnya. Atau mungkin tidak ada kisi-kisi tentang memuji satu sama lain? Wah harusnya diberi. Tapi untuk memuji saja apa perlu disiapkan kunci jawaban ya? Sepertinya perlu.

Sepanjang debat juga begitu. Kedua paslon tidak menunjukan kalimat yang intelektual. Apalagi filosofi. Padahal kalau ada. Bisa dipakai untuk memuji. Sambil menyiasati untuk melambungkan elektoralnya sendiri.

Memang, Jokowi telah memberi pukulan ke Prabowo. Soal isu calon legislatif (Caleg) mantan koruptor dan strukturtural partai yang minim perempuan. Sampai-sampai, Prabowo lupa cara menangkisnya. Dia lupa punya sanggar pencak silat yang besar di Jakarta.

Sementara Prabowo-Sandi, mampu membuat Jokowi jengkel. Beberapa kali hanya melontarkan jawaban, "Nuduh-nuduh saja, atau Laporkan saja". Meski begitu, Sang Kiai Ma'ruf, memilih untuk mendukung Jokowi penuh. Lantas Sandi, tak mau terlibat lebih jauh. "Saya bukan orang Gerindra lagi".

Kedua paslon masih terkesan normatif. Jokowi terlihat banyak membaca. Prabowo berulang kali salah memilih diksinya. Apa memang kedua Capres ini tak ahli debat? Tapi kenyataannya ahli debat tak ada yang jadi Capres. Masih pentingkah debat Capres?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun