Mohon tunggu...
Fajar setiono
Fajar setiono Mohon Tunggu... Buruh - copywriter

Selalu bersyukur atas apa yang kita dapatkan.Jangan pernah menyerah sebelum kita mendapatkan apa yang kita inginkan.Selalu semangat dan pantang menyerah!

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Langit di Atas Abu

11 Oktober 2024   18:46 Diperbarui: 11 Oktober 2024   21:16 25
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Langit Jakarta malam itu terlihat biasa saja. Bintang-bintang samar tertutup oleh cahaya kota, tapi di balik kerlipan yang redup itu, ada sebuah cerita yang akan berubah selamanya. Di salah satu sudut kota, berdiri megah rumah besar milik keluarga Adrian. Rumah itu adalah simbol kemakmuran yang tidak semua orang bisa nikmati. Sejak kecil, Adrian terbiasa dengan segala hal yang mudah; makan di restoran mahal, liburan ke luar negeri, dan semua yang diinginkan selalu bisa ia dapatkan dalam hitungan menit.


Adrian adalah anak semata wayang. Hidupnya dikelilingi oleh kasih sayang yang melimpah, perhatian orang tua yang selalu memastikan ia mendapatkan pendidikan terbaik. Cita-citanya sederhana, namun besar di matanya: ia ingin menjadi arsitek ternama, membangun gedung-gedung yang bisa mengubah wajah kota. "Aku ingin membangun gedung tertinggi di Indonesia," katanya suatu malam kepada ayahnya, sambil menunjuk langit dari balkon rumah mereka. Sang ayah hanya tersenyum, memeluk anaknya erat dan berkata, "Kamu pasti bisa."

Namun, malam itu---malam di mana Jakarta terasa biasa saja---hidup Adrian berubah. Api dengan cepat melahap rumah mereka. Dalam hitungan menit, rumah yang selama ini menjadi tempat nyaman, hangat, dan penuh kenangan berubah menjadi abu. Orang tua Adrian tidak sempat keluar. Hanya Adrian yang berhasil selamat, terluka, dan kehilangan segalanya. Dalam sekejap, ia yang terbiasa dengan kemewahan harus menerima kenyataan hidup tanpa rumah, tanpa orang tua, dan tanpa kemewahan yang dulu membentuknya.

Adrian yang dulu hidup tanpa kekurangan kini berdiri di atas reruntuhan. Usianya baru 17 tahun, masih terlalu muda untuk menghadapi dunia sendirian, tetapi terlalu tua untuk terus bergantung pada belas kasihan orang lain. Setelah pemakaman orang tuanya, ia hanya punya satu tujuan: mewujudkan cita-citanya menjadi arsitek, meski kini jalannya dipenuhi rintangan yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya.

Ia bekerja keras, mengambil pekerjaan serabutan sambil melanjutkan sekolah. Pagi hari ia menjadi pelayan di sebuah kafe kecil, malamnya ia bekerja sebagai pengantar barang di minimarket. Hidupnya yang dulu serba mudah berubah drastis. Setiap hari terasa berat, tetapi dalam hati kecilnya, ia terus memegang teguh mimpinya. Satu-satunya hal yang membuatnya bertahan adalah janji kepada dirinya sendiri bahwa suatu hari ia akan berhasil.

Namun, perjuangan Adrian tidak mudah. Berkali-kali ia jatuh, berkali-kali ia merasa dunia seolah melawannya. Uang sekolah terlambat dibayar, beasiswa yang diharapkan tak kunjung datang, dan terkadang rasa lapar membuatnya ingin menyerah. Sahabat-sahabatnya yang dulu bersamanya pun perlahan menjauh. Hanya segelintir yang masih menanyakan kabar, itupun sebatas basa-basi.

Meski demikian, Adrian tidak pernah kehilangan harapan. Tahun demi tahun berlalu, ia semakin mendekat pada cita-citanya. Ia berhasil lulus dari sekolah teknik dengan nilai yang memuaskan, meski harus merasakan getirnya hidup. Dalam benaknya, ia membayangkan gedung-gedung tinggi yang akan ia bangun, gedung yang akan menjadi warisannya untuk kota ini. Kota yang dulu memberinya kemewahan, lalu mencabut semuanya.

Tapi kehidupan tidak selalu adil.

Suatu malam, setelah lembur di sebuah proyek kecil, tubuh Adrian mulai menunjukkan tanda-tanda kelelahan yang tak bisa lagi ia abaikan. Batuk yang terus-menerus, napas yang semakin pendek, hingga akhirnya ia terbaring di rumah sakit, tubuhnya lemah. Dokter memberitahu bahwa paru-parunya sudah terlalu lemah. Penyakit yang ia abaikan karena terlalu sibuk mengejar cita-cita kini mulai mengambil alih. Adrian tahu waktunya sudah tidak banyak.

Malam itu, di kamar rumah sakit yang sunyi, Adrian menatap langit dari jendela. Langit yang sama seperti malam ketika ia berbicara dengan ayahnya tentang mimpinya. Bedanya, kini ia sendirian, tanpa orang tua, tanpa kemewahan, dan tanpa kekuatan lagi untuk mewujudkan cita-citanya. Matanya perlahan tertutup, tetapi hatinya tetap menggenggam erat impian itu. Sebelum ajal menjemputnya, ia berbisik pelan, "Aku hampir sampai, Ayah."

Langit di luar tetap sama, gelap dan penuh kerlip bintang yang samar. Tapi di hati Adrian, mimpi itu tak pernah padam. Meski ia tidak sempat mewujudkannya, ia tahu bahwa impiannya akan selalu ada---di langit di atas abu, di dalam kenangan mereka yang pernah mengenalnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun