"Kenapa kita selalu seperti ini?" tanya Sari tiba-tiba, sambil menatap cangkir kopinya yang sudah dingin.
Dimas terdiam, jarang sekali ia mendengar nada suara Sari yang tidak agresif. "Maksudmu?"
"Kita selalu berusaha menang, tapi tidak ada yang benar-benar peduli. Malah, mungkin mereka melihat kita seperti orang bodoh."
Dimas menyadari hal itu. Sejujurnya, ia juga merasa lelah. Kemenangan yang mereka kejar selama ini sebenarnya untuk siapa? Orang lain tak peduli. Mereka hanya terlihat berusaha membuktikan diri di depan orang-orang yang sudah lama berhenti mendengarkan.
"Kau tahu," ujar Dimas perlahan, "mungkin kita terlalu sibuk saling mengalahkan, sampai lupa bahwa kita sebenarnya bisa jadi teman."
Sari tersenyum kecut. "Teman? Kau pikir kita bisa jadi teman setelah semua ini?"
"Ya, kenapa tidak?" jawab Dimas ringan. "Mungkin kita bisa mulai mendengarkan satu sama lain, daripada terus berteriak."
---
Esok harinya di kantor, ketika ada rapat tim, Bram dan Rina menunggu biasa-biasa saja. Mereka sudah siap mental untuk menyaksikan "pertarungan" rutin antara Dimas dan Sari. Namun, sesuatu yang aneh terjadi. Ketika Dimas dan Sari mulai berbicara, mereka tak saling memotong. Tidak ada yang berteriak. Semua orang di ruangan tampak bingung.
"Apa yang terjadi dengan mereka?" bisik Bram pada Rina. Tapi Rina hanya mengangkat bahu, tak kalah bingungnya.
Di akhir rapat, tak ada yang lebih terkejut daripada Bram dan Rina. Dimas dan Sari bahkan mengakhiri pertemuan dengan tersenyum dan saling memberikan isyarat setuju. Mungkin untuk pertama kalinya, mereka berdua menyadari bahwa memenangkan debat bukanlah segalanya. Yang lebih penting adalah memahami, bahwa terkadang diam dan mendengar bisa lebih berarti daripada kata-kata yang keluar tanpa henti.