Di sebuah kafe kecil yang dikelilingi gedung-gedung tinggi di tengah kota, duduklah empat orang, masing-masing dengan secangkir kopi di hadapan mereka. Di sudut paling pojok, dua di antara mereka, Dimas dan Sari, sedang berdebat keras. Dimas, seorang pria berusia 30-an, selalu memakai kacamata hitam meski di dalam ruangan. Sari, wanita dengan gaya berpakaian yang mencolok, tak pernah lelah memotong pembicaraan orang lain. Dua orang lainnya, Bram dan Rina, hanya duduk di seberang meja, memandangi mereka dengan tatapan lelah.
"Saya bilang, masalah ekonomi ini bisa diselesaikan kalau kita pakai pendekatan yang lebih tegas!" seru Dimas sambil menepuk meja.
"Pendekatan tegas? Kau gila? Itu cuma akan menambah masalah! Harusnya kita lebih sabar dan mengikuti langkah-langkah yang lebih diplomatis!" balas Sari tanpa memberi celah sedikit pun untuk Dimas membalas.
Bram hanya menggeleng pelan. Rina menyesap kopinya perlahan, seolah tak ingin terlibat dalam kekacauan yang ada di depannya. Setiap kali mereka bertemu, selalu begini. Dimas dan Sari tak pernah sepakat. Mereka berdebat tentang politik, ekonomi, bahkan hal-hal sepele seperti siapa yang paling tepat memimpin rapat kantor. Namun, ada satu hal yang sama di antara mereka: mereka selalu ingin menang, dan tak peduli seberapa keras atau panjang argumennya.
---
Beberapa bulan sebelumnya, di ruangan kantor yang ramai, Dimas dan Sari lagi-lagi saling berhadapan. Mereka bekerja di perusahaan yang sama, divisi yang sama, bahkan meja mereka berdekatan. Setiap kali ada diskusi tim, semua orang tahu bagaimana akhirnya---mereka berdua akan mendominasi percakapan. Awalnya, tim mencoba ikut serta, tapi lama-kelamaan mereka semua lelah. Orang-orang mulai melihat mereka berdua dengan tatapan jenuh, seakan debat mereka hanya omong kosong tanpa arah.
"Kenapa selalu mereka?" bisik Bram pada Rina saat itu. "Aku bahkan tidak peduli lagi apa yang mereka bicarakan. Aku cuma ingin pulang."
Rina tertawa kecil. "Kau tahu, mungkin mereka berdua cocok satu sama lain. Saling melengkapi di dunia debat yang tidak pernah selesai."
---
Dimas dan Sari tidak menyadari pandangan orang-orang di sekitarnya. Mereka terlalu sibuk dengan kebutuhan mereka untuk membuktikan diri. Setiap kali salah satu dari mereka merasa kalah, perasaan itu seperti pukulan telak. Mereka tak ingin dipandang lemah, apalagi di hadapan satu sama lain.
Suatu hari, setelah debat panjang di kantor yang akhirnya membuat rekan kerja mereka meninggalkan ruangan, Sari merasa lelah. Bukan fisik, tapi mental. Dimas pun merasakan hal yang sama, tapi tentu saja, mereka tak akan pernah mengakuinya. Sepulang kantor, tanpa sengaja mereka berdua bertemu di kafe yang biasa mereka datangi. Kali ini, tidak ada orang lain. Tidak ada yang perlu dibuktikan.