Di sebuah desa kecil yang terlupakan, di mana langit senantiasa memancarkan warna kebiruan yang pudar dan angin berbisik dalam nada melankolis, hiduplah seorang gadis bernama Arum. Ia bukan gadis desa biasa. Arum dikenal karena kemampuannya merajut kisah-kisah dari benang-benang yang tak terlihat. Kisah-kisah itu bukanlah sekadar dongeng untuk anak-anak sebelum tidur, tetapi cerita tentang kehidupan, cinta, dan kehilangan yang tersimpan di sudut-sudut hati setiap penduduk desa.
Setiap malam, Arum duduk di bawah pohon tua di tepi hutan, memandang bintang-bintang yang mulai bermunculan satu per satu. Di sinilah ia merajut ceritanya, dengan tangan yang cekatan dan hati yang penuh kehangatan. Namun, ada satu kisah yang belum pernah dirajutnya---kisah cintanya sendiri.
Arum jatuh cinta pada seorang pemuda yang tinggal di desa tetangga, seorang pemahat kayu bernama Damar. Damar adalah sosok yang pendiam, lebih banyak menghabiskan waktunya di hutan, memilih kayu terbaik untuk pahatan-pahatan indah yang menghiasi rumah-rumah di desa mereka. Setiap kali Arum mendengar namanya disebut, hatinya berdebar, namun ia tidak pernah berani mengungkapkan perasaannya.
Suatu hari, Arum memutuskan untuk merajut kisah cintanya sendiri, namun kali ini bukan dengan benang tak terlihat, melainkan dengan benang sungguhan. Ia ingin memberikan sebuah selendang yang indah kepada Damar, sebagai ungkapan cinta yang selama ini terpendam di dalam hatinya.
Selama berminggu-minggu, Arum mengerjakan selendang itu dengan penuh kasih sayang. Setiap helai benang yang ia pilih mengandung harapan, impian, dan cinta yang murni. Namun, semakin dekat ia pada penyelesaian selendang itu, semakin besar keraguannya. "Bagaimana jika Damar tidak merasakan hal yang sama?" pikirnya.
Akhirnya, selendang itu selesai, dan Arum memberanikan diri untuk menemui Damar. Di malam yang diterangi sinar bulan, Arum berjalan menuju rumah Damar, membawa selendang itu dengan tangan gemetar. Ketika ia sampai di depan rumah Damar, ia melihat pemuda itu sedang memahat sepotong kayu dengan penuh konsentrasi.
Dengan suara bergetar, Arum memanggil namanya, "Damar..."
Damar menoleh, dan melihat Arum berdiri di sana, memegang selendang yang indah. Ia terkejut melihatnya, tapi kemudian ia tersenyum lembut.
"Untukmu," kata Arum, menyerahkan selendang itu dengan malu-malu. "Aku... aku membuatnya sendiri."
Damar menerima selendang itu, menyentuhnya dengan hati-hati, seolah-olah itu adalah sesuatu yang sangat berharga. "Ini sangat indah," ujarnya pelan, "seperti kau, Arum."
Arum tersipu, dan sebelum ia sempat mengatakan apapun, Damar melangkah maju dan memeluknya. "Aku tahu, Arum," bisiknya, "Aku tahu bahwa kau telah lama menyimpan perasaan ini. Dan ketahuilah, aku pun merasakan hal yang sama."
Malam itu, di bawah langit tua yang setia menyaksikan setiap kisah yang terajut di bumi, dua hati yang telah lama terpisah akhirnya bersatu. Dan untuk pertama kalinya, Arum merasakan bahwa kisah cintanya tidak perlu dirajut dalam benang tak terlihat, karena ia telah menemukan seseorang yang akan menjaga kisah itu dalam hatinya selamanya.
Di pagi hari, ketika matahari mulai menyinari desa kecil itu, penduduk desa melihat Damar dan Arum berjalan berdampingan, tangan mereka saling menggenggam. Dan di pundak Damar, melilit erat, selendang yang dirajut dengan cinta, yang kini menjadi simbol kisah mereka---sebuah kisah yang akhirnya selesai ditenun di bawah langit tua yang selalu mengingat setiap detailnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H