Mohon tunggu...
Fajar setiono
Fajar setiono Mohon Tunggu... Buruh - copywriter

Selalu bersyukur atas apa yang kita dapatkan.Jangan pernah menyerah sebelum kita mendapatkan apa yang kita inginkan.Selalu semangat dan pantang menyerah!

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tak Terucap

30 Agustus 2024   17:33 Diperbarui: 30 Agustus 2024   17:53 55
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Di sebuah kota kecil yang tersembunyi di balik pegunungan, ada seorang pemuda bernama Arga yang hidup dengan cara yang sederhana. Sehari-harinya, ia bekerja sebagai tukang kayu. Pekerjaan ini mungkin tak begitu istimewa, tetapi ia sangat menikmatinya. Sore hari, saat matahari mulai tenggelam di balik bukit, Arga sering duduk di depan rumahnya, memandangi langit yang berubah warna. Di sana, di ujung jalan berdebu, ada seorang gadis yang selalu mengisi pikirannya---Rara.

Rara adalah bunga desa, cantik dan ramah. Semua orang mengenalnya, dan hampir semua pemuda di desa itu pernah jatuh hati padanya, termasuk Arga. Namun, Arga berbeda. Ia tak pernah berani menyatakan perasaannya. Baginya, Rara bagaikan bintang yang terlalu tinggi untuk diraih. Setiap kali melihat senyum Rara, hatinya terasa hangat, tapi bibirnya terkunci, tak mampu berkata apa-apa.

Suatu hari, saat Arga sedang bekerja, Rara datang menghampirinya. "Arga, bisa tolong aku?" tanyanya sambil tersenyum manis. Arga hanya bisa mengangguk, jantungnya berdegup lebih kencang dari biasanya.

"Ada apa, Ra?" tanyanya pelan, berusaha menyembunyikan kegugupannya.

"Aku ingin kau buatkan sebuah kotak kayu yang indah. Sebuah kotak untuk menyimpan kenangan," jawab Rara.

Arga mengernyit, sedikit bingung. "Kenangan apa yang ingin kau simpan, Ra?"

Rara tertawa kecil, sebuah tawa yang selalu membuat Arga merasa ringan. "Itu rahasia. Tapi kotaknya harus spesial, karena isinya juga spesial."

Tanpa banyak bertanya lagi, Arga menyanggupi permintaan itu. Selama beberapa hari, ia bekerja keras membuat kotak kayu terbaik yang pernah ia buat. Ia memilih kayu yang paling bagus, mengukirnya dengan hati-hati, dan melapisinya dengan pernis hingga mengilap. Saat kotak itu selesai, Arga merasa bangga. Ia berharap kotak itu cukup untuk menyimpan kenangan yang begitu penting bagi Rara.

Namun, ketika Arga menyerahkan kotak itu, ia merasa ada sesuatu yang berbeda pada Rara. Gadis itu tampak lebih murung, senyumnya tak secerah biasanya. "Terima kasih, Arga," ucapnya lirih, menatap kotak itu sejenak sebelum berbalik pergi.

Hari-hari berlalu, dan Arga tak pernah lagi melihat Rara di desa. Kabar pun tersebar bahwa Rara telah jatuh sakit. Arga merasa hatinya diremas-remas. Ia ingin mengunjungi Rara, tetapi selalu ragu. Rasa takut menguasai dirinya---takut bahwa ia akan melihat Rara dalam keadaan yang lebih buruk, takut bahwa ia akan kehilangan gadis yang tak pernah bisa ia miliki.

Namun, rasa takut itu akhirnya kalah oleh rasa cintanya yang begitu besar. Pada suatu malam yang gelap, Arga memberanikan diri mendatangi rumah Rara. Saat tiba di sana, rumah itu tampak sunyi. Hanya cahaya lilin kecil di jendela yang menerangi kegelapan. Arga mengetuk pintu pelan, dan seorang wanita tua, ibu Rara, membuka pintu dengan wajah sendu.

"Apa yang bisa aku bantu, Nak Arga?" tanyanya lembut.

"Aku ingin menjenguk Rara, Bu. Apakah dia... masih ada?" tanyanya, suaranya bergetar.

Ibu Rara hanya mengangguk pelan, lalu membawanya masuk ke dalam. Di kamar kecil di sudut rumah, Arga melihat Rara terbaring lemah di ranjang. Wajahnya pucat, tetapi senyumnya masih sama, meski jauh lebih redup.

"Arga," bisiknya saat melihat pemuda itu masuk.

Arga tak mampu berkata apa-apa. Ia hanya duduk di samping ranjang, menggenggam tangan Rara yang dingin. Air matanya mengalir tanpa bisa ia tahan.

"Arga, aku minta maaf. Aku tidak pernah bisa mengatakan ini sebelumnya," ucap Rara dengan suara yang nyaris tak terdengar. "Aku mencintaimu, sejak lama. Tapi aku tahu, aku tak punya banyak waktu. Itulah kenapa aku minta kau buatkan kotak itu, untuk menyimpan kenangan tentangmu."

Arga terpaku, dadanya sesak oleh perasaan yang tak mampu ia jelaskan. Rara mengeluarkan sebuah surat dari bawah bantalnya dan menyerahkannya pada Arga. "Buka ini setelah aku pergi," katanya, matanya mulai terpejam.

Malam itu, Rara pergi untuk selamanya. Arga duduk di sampingnya, masih menggenggam tangan gadis yang dicintainya. Hatinya hancur, tetapi ia tahu Rara akhirnya bebas dari penderitaannya.

Esoknya, setelah upacara pemakaman yang sederhana, Arga pulang ke rumah dengan hati yang berat. Ia membuka surat dari Rara dengan tangan gemetar. Di dalamnya hanya ada beberapa kalimat yang ditulis dengan tangan lemah.

"Arga, cintaku padamu adalah rahasia yang aku simpan dalam-dalam. Mungkin kita tak bisa bersama di dunia ini, tapi ingatlah, cinta tak pernah benar-benar mati. Aku akan menunggumu, di sana, di tempat yang jauh dari sini."

Arga menyimpan surat itu di dalam kotak kayu yang ia buat untuk Rara. Setiap malam, ia membuka kotak itu, membaca surat yang sama berulang kali, merasakan kehadiran Rara di sekitarnya. Meskipun mereka tak pernah bisa bersama, Arga percaya bahwa cinta mereka akan bertemu di suatu tempat, di suatu waktu, di mana kematian bukan lagi penghalang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun