Alif tersentak. Kata-kata itu menggema di dalam kepalanya, mengusir rasa takut yang selama ini mencekiknya. Dengan tekad yang baru, dia menarik napas dalam-dalam dan menatap bayangannya sekali lagi. Dia tahu sekarang bahwa dia tidak bisa membiarkan ketakutannya menguasai hidupnya.
Hari-hari berikutnya, Alif mulai berubah. Dia kembali ke desa, mendekati orang-orang yang telah dia jauhi, dan memulai hidup baru dengan harapan yang baru pula. Setiap tindakan yang dia ambil, dia pastikan dilandasi oleh keberanian dan kebijaksanaan, bukan ketakutan. Dan perlahan-lahan, bayangan suram yang pernah dia lihat di Pohon Cermin mulai memudar dari ingatannya.
Hingga suatu hari, ketika Alif kembali ke Pohon Cermin untuk terakhir kalinya, yang dia lihat adalah bayangan dirinya yang berbeda. Dia melihat seorang pria muda dengan senyuman di wajahnya, dikelilingi oleh orang-orang yang peduli padanya. Tidak ada lagi jubah hitam, tidak ada lagi mata yang penuh kesedihan. Hanya ada ketenangan dan kebahagiaan yang tercermin di permukaan pohon itu.
Alif tersenyum, menyadari bahwa masa depan adalah miliknya untuk dibentuk. Pohon Cermin tidak pernah menunjukkan nasib yang tak terhindarkan; pohon itu hanya menunjukkan bayangan dari pilihan-pilihan yang ada di dalam hati. Dan dengan hati yang penuh dengan harapan, Alif pun melangkah pergi, meninggalkan Pohon Cermin dan masa lalunya di belakang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H