bakso kecil yang tak pernah sepi pengunjung. Bukan hanya karena baksonya yang terkenal lezat, tapi juga karena senyuman hangat dari si penjual bakso, Pak Darto. Pria sederhana ini sudah berjualan bakso di sana selama puluhan tahun. Pelanggannya datang dari berbagai kalangan, mulai dari anak-anak sekolah hingga para pekerja kantoran yang mampir untuk makan siang.
Di sebuah gang sempit di sudut kota, ada sebuah warungPak Darto bukan pria muda lagi, usia telah menggoreskan kerutan di wajahnya. Tapi, matanya masih memancarkan semangat yang tak pernah padam. Di warung kecil itulah, setiap hari ia bekerja keras, menggiling daging, membentuk bulatan bakso, dan menyajikannya dengan penuh cinta. Warung ini adalah jantung kehidupannya, sumber penghidupannya, dan---yang tak banyak orang tahu---juga tempat ia menunggu cinta yang tak pernah bisa ia miliki.
Dulu, ketika masih muda, Pak Darto jatuh cinta pada seorang gadis bernama Ratna. Ratna adalah putri seorang pengusaha kaya di kampungnya. Mereka sering bertemu secara tak sengaja di pasar, di mana Pak Darto yang saat itu masih bekerja sebagai kuli panggul, membantu membawa barang belanjaan keluarga Ratna. Gadis itu selalu ramah dan sopan, membuat hati Pak Darto yang keras oleh kerja kasar, menjadi lembut setiap kali melihatnya.
Tapi Pak Darto tahu diri. Ia hanya seorang kuli, sementara Ratna adalah gadis terpandang. Namun, cinta memang tak kenal kasta. Perasaan itu tumbuh dalam diam, berakar kuat dalam hatinya meski ia tahu bahwa harapannya untuk bisa bersama Ratna nyaris mustahil.
Suatu hari, Pak Darto memberanikan diri untuk menyampaikan perasaannya. Bukan dengan kata-kata, tapi lewat tindakan. Ia berusaha keras mengumpulkan uang, lalu membuka warung bakso kecil dengan harapan suatu hari nanti Ratna akan datang dan merasakan hasil kerja kerasnya. Ia ingin menunjukkan bahwa meskipun ia hanya seorang penjual bakso, cintanya untuk Ratna adalah yang paling tulus.
Waktu berlalu, dan Pak Darto terus berjualan bakso, menunggu hari di mana Ratna akan datang ke warungnya. Tapi hari itu tak pernah datang. Ratna menikah dengan seorang pria kaya, meninggalkan kampung untuk hidup di kota besar. Kabar itu sampai ke telinga Pak Darto, menghancurkan hatinya. Tapi ia tidak pernah berhenti mencintai Ratna, meski hanya dalam kenangan.
Meski begitu, Pak Darto tidak pernah menyesali hidupnya. Warung bakso itu menjadi simbol cintanya, sebuah cinta yang sederhana dan tulus, meski tak pernah terbalas. Setiap bakso yang ia buat, ia lakukan dengan sepenuh hati, seolah-olah ia membuatnya untuk Ratna. Pelanggan yang datang tak pernah tahu, bahwa di setiap mangkuk bakso yang mereka nikmati, ada sepotong kecil cinta yang tak pernah hilang.
Suatu siang yang cerah, seorang wanita paruh baya mampir ke warung Pak Darto. Wajahnya sudah tidak asing lagi bagi Pak Darto, meskipun waktu telah mengubahnya. Itu adalah Ratna, yang kembali ke kampung halaman untuk suatu urusan. Mereka saling menatap dalam diam, seolah-olah waktu berhenti sejenak.
Ratna tersenyum, "Baksonya masih seenak dulu, Pak Darto."
Pak Darto hanya mengangguk pelan, senyum tak pernah lepas dari wajahnya. Di dalam hati, ia merasa bahagia, meskipun hanya untuk sesaat. Cintanya mungkin tidak pernah terbalas, tetapi melihat Ratna bahagia sudah cukup baginya.
Ketika Ratna pergi meninggalkan warung itu, Pak Darto merasa lega. Bukan karena cintanya telah hilang, tetapi karena ia tahu bahwa meski cinta mereka tak pernah setara, cintanya tidak sia-sia. Ia akan terus membuat bakso dengan cinta, cinta yang sederhana, untuk semua orang yang datang ke warung kecilnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H