Tentu Natuna terdengar tidak asing bagi kita. Pasalnya beberapa bulan lalu kita telah dihebohkan dengan berita yang berasal dari salah satu kepulauan di ujung Nusantara. Pada Desember 2019 kapal Tiongkok (Cina) ditemukan tengah melakukan illegal fishing di perairan Natuna.Â
Ini bukan pertama kalinya hal serupa terjadi. Jika kita pikir sejenak mungkin muncul pertanyaan, mengapa kapal nelayan Cina harus datang jauh-jauh untuk mencari ikan di perairan Nusantara?Â
Apakah memang benar kapal berbendera Cina ini menerobos batas perairan hanya untuk mancing? Untuk mengetahui motif dibalik persoalan ini, kita harus memahami fenomena geopolitik yang terjadi di Laut Cina Selatan.
Laut Cina Selatan dan Potensinya
Laut Tiongkok Selatan (biasa disebut South China Sea atau Laut Cina Selatan, disingkat LCS) adalah laut marginal pada Samudra Pasifik Barat. Memiliki luas kurang lebih 3,500,000 km persegi (1,400,000 mil persegi) perairan ini semi tertutup. LCS adalah wilayah yang berdampak signifikan terhadap kepentingan ekonomi dan geostrategik internasional, menghubungkan Samudra Hindia dan Pasifik.Â
Satu per tiga transpor maritim dunia melewati LCS, mengangkut perdagangan senilai US $3 triliun per tahun(Rp 14,2 ribu triliun).[ChinaPower, 1 Januari 2021] Cadangan minyak dan gas alam yang besar dipercaya terkubur dibawah dasar LCS, setidaknya sekitar 190 triliun kubik feet gas alam dan 11 miliyar barel minyak. [AMTI, 1 Januari 2021 ]Â
Keberlimpahan pada sektor perikanan juga menjadi penunjang keamanan pangan bagi penduduk Asia Tenggara. Selain potensi yang dimilikinya, LCS juga memiliki aspek krusial yang perlu disorot. Diantaranya Laut China Selatan memiliki beberapa choke point, menjadi jalur penyelundupan, dan lain sebagainya. Oleh karena semua itu, perubahan kebijakan atas perairan LCS akan berdampak besar terhdap dunia.
Melihat betapa krusialnya LCS dalam berbagai faktor, berbagai negara dan pihak berusaha menguatkan pengaruhnya di wilayah tersebut. Sedikitnya ada tujuh negara yang melakukan klaim batasan maritim, dimana klaim tersebut saling tumpang tindih.Â
Dari semua negara tersebut, Republik Rakyat Cina (RRC) menyodorkan klaim paling besar yaitu dengan klaim teretori Nine-dash line. Usaha RRC untuk mendominasi LCS dengan tidak segan memproyeksikan hegemoni terhadap negara yang bersangkutan.
Peran Penting Laut Cina Selatan untuk Negara di Asia Tenggara
Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, LCS memiliki peran penting sebagai jalur perdagangan. Banyak negara-negara Asia Tenggara yang menggantukan perekonomianya pada ekspor sumber daya alamnya seperti Indonesia dan Malaysia.
Adapun negara importir besar seperti Cina, Jepang, dan Amerika juga bergantung pada jalur ekonomi LCS. Melalui Selat Malaka yang sempit, jalur perdagangan ini merupakan choke point yang sangat penting bagi perekonomian global.Â
Tidak hanya perdagangan, LCS menjadi jalur utama dalam transportasi dan komunikasi negara Asia Tenggara. Populasi pada negara Asia Tenggara biasanya lebih terpusat pada kota-kota pesisir sehingga transportasi dan komunikasi akan lebih mudah dilakukan melalui jalur laut ketimbang darat.Â
Namun berada di pesisir juga membawa potensi ancaman. Pasalnya negara dengan garis pantai yang panjang memudahkan masuknya interupsi  dari luar. Mengamankan dan memperkuat jalur pedagangan, patrol wilyah, pelabuhan, dan militer di perairan memungkinkan suatu negara untuk mencapai stabilitas dan kemakmuran.Â
UNCLOS dan Nine-dash Line
Untuk menentukan batas negara atas suatu wilayah laut dapat menjadi sangat rumit. Pasalnya wilayah lautan tidak memiliki sebuah batasan fisik yang dapat dilihat secara kasat mata. Berbeda dengan batas negara diatas suatu daratan dimana gunung, sungai, lembah, bahkan pagar biasa menjadi penanda atas batas suatu negara. Batasan pada laut biasa ditentukan oleh jarak dari garis pantai yang bersangkutan.Â
Oleh karena itu berbagai peraturan, klaim, dan argumen atas batas perairan dilontarkan oleh berbagai pihak yang berkepentingan. Diantara semua itu, Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS) pada tahun 1982 menerapkan sebuah sistem pembatasan wilayah perairan yang diakui secara internasional pada umumnya. Hingga kini, tak kurang dari 158 negara yang telah menyatakan bergabung dengan Konvensi, termasuk Uni Eropa.Â
Menurut UNCLOS terdapat beberapa peraturan mengenai batas-batas wilayah perairan. Adapun yang secara umum dikenal ialah batas laut teretorial, batas landasan kontinental, dan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE).Â
Batas laut teretorial adalah batas yang ditarik dari garis pantai pada saat air laut surut sejauh 12 mil laut. Negara yang bersangkutan mempunyai hak kedaulatan sepenuhnya terhadap zona perairan ini.
Batas landasan kontinen merupakan dasar laut yang jika dilihat dari segi geologi maupun geomorfologinya merupakan kelanjutan dari kontinen atau benua. Landas kontinen memiliki kedalaman kurang dari 200 m. Oleh karena itu, wilayah laut dangkal dengan kedalaman 200 m merupakan bagian dari wilayah negara yang berada di kawasan laut tersebut.Â
Zona Ekonomi Eksklusif adalah zona yang luasnya 200 mil laut dari garis dasar pantai, yang mana dalam zona tersebut sebuah negara pantai mempunyai hak atas kekayaan alam di dalamnya, dan berhak menggunakan kebijakan hukumnya, kebebasan bernavigasi, terbang di atasnya, ataupun melakukan penanaman kabel dan pipa [Exclusive Economic Zone]. Didasarkan pada kebutuhan yang berkembang semenjak tahun 1945 untuk memperluas batas jurisdiksi negara pantai atas lautnya, sumbernya mengacu pada persiapan untuk UNCLOS III.
Meskipun sistem UNCLOS telah diterapkan secara internasional, masih saja terdapat sengketa atas argumen klaim wilayah seperti yang terjadi di LCS.
Dari peta diatas tampak bahwa klaim Cina atas LCS dengan Nine-dash line sangatlah besar dan dengan jelas telah melanggar apa yang tertulis pada UNCLOS. Nine-dash line (pada waktu yang berbeda disebut pernah juga disebut
Beijing bersamaan dengan Taipei (Ibu kota Taiwan) mengajukan klaim Nine-dash line (dimana mencakup 90% wilayah Laut China Selatan, mencapai 2000km dari mainland Cina) dengan argumen bahwa mereka berhak atas klaim historis yang dimiliki LCS semenjak zaman eksplorasi maritim pada abad 15.Â
Hal ini menyebabkan perselisihan teretorial yang kerap kali memanas dengan negara yang bersangkutan. Berbagai upaya telah dilakukan oleh berbagai pihak guna menguatkan posisinya di wilayah LCS. Perselisihan ini didebatkan secara akademik hingga pada tahun 2013 dimana Cina meluncurkan rencana reklamasi skala besar pada 7 lokasi di Kepulauan Spratly.
Kepulauan Spartly, Militerisasi Laut Cina Selatan
Kepulauan Spartly merupakan kepulauan yang diperebutkan di LCS. Terdiri dari pulau, islet dan pulau pasir kecil serta lebih dari 100 karang, kepulauan ini terletak di pesisir Filipina, Malaysia dan selatan Vietnam. Kepulauan ini hanya memiliki luas daratan secara natural kurang dari 2 km kubik, dimana daratan ini tersebar di area dengan luas 425.000 km kubik.Â
Kepulauan Spartly merupakan salah satu kepulauan yang besar di LCS dimana letak dan kepemilikanya membawa sengketa bagi negara yang bersangkutan. Pasalnya letaknya yang strategis sebagai jalur perkapalan yang efisien. Pulaunya tidak memiliki penghuni namun merupakan spot perikanan yang subur dan diprediksi memiliki cadangan gas dan minyak bumi yang cukup signifikan.Â
Meskipun secara sejatinya tidak berpenghuni, pada beberapa pulau telah dibangun pemukiman dan bangunan militer yang dihuni oleh berbagai pasukan militer dari Malaysia, Taiwan, Cina, Filipina dan Vietnam. Bahkan armada laut Amerika Serikat juga beberapa kali melewati keplauan ini sebagi isyarat tidak mengakui kalim Cina atas kepulauan tersebut.Â
Ini menunjukan seberapa seriusnya negara-negara akan sengketa yang terjadi tidak hanya di Kepulauan Spartly namun LCS secara keseluruhan. Bahkan Cina hingga berupaya memperkuat klaimnya dengan melakukan reklamasi, membangun karang menjadi sebuah pulau bahkan pangkalan militer.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H