Mohon tunggu...
Money

Apakah Harga Minyak Dibayangi Memperlambat Ekonomi

28 Desember 2018   10:38 Diperbarui: 28 Desember 2018   10:52 142
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Pemimpin perusahaan minyak Rusia Rosneft, memperkirakan harga minyak bakal bergerak di kisaran US$50 hingga US$53 pada 2019. Prediksi itu jauh di bawah level tertinggi selama empat tahun terakhir, yaitu US$86 per barel, yang dicapai pada bulan Oktober lalu. 

Meskipun demikian, proyeksi minyak tidak seburuk pada 2016 saat pasokan permintaan terhadap minyak membanjir. Pasalnya, OPEC telah mencoba untuk mendongkrak pasar agar permintaan minyak tidak merosot.

Pada awal bulan Desember, OPEC dan sekutunya, termasuk Rusia, sepakat untuk memangkas produksinya sebesar 1,2 juta barel per hari (bph) dan akan di mulai Januari 2019. Kebijakan ini berubah dari kebijakan pada bulan Juni lalu dimana kartel minyak dunia ini memutuskan untuk memproduksi minyak lebih banyak. 

Pada sore tanggal 27 Desember 2018 hingga pukul 18:00 WIB, harga minyak dunia terperosok semakin dalam. Harga minyak jenis lightsweet (West Texas Intermediate) amblas 1,58% ke level US$ 45,49/barel sedangkan jenis Brenttergerus 1,60% ke posisi US$ 53,60/barel sejak penutupan perdagangan minyak pada hari Rabu 16 Desember 2018 kemarin. 

Padahal harga minyak pada sesi kemarin ditutup dengan posisi menguat sebesar 8,67% (West Texas Intermediate) dan 7,92%. Lebih jauh lagi, sejak awal tahun 2018 hingga saat ini harga minyak jenis West Texas Intermediate sudah jeblok 25% sedangkan jenis Brent menyusut 25%.

Kekhawatiran terhadap akan melimpahnya supply minyak mentah sepertinya masih memberikan tekanan berat untuk harga komoditas ini. Berdasarkan produksi minyak mentah Arab Saudi, Amerika Serikat, dan Rusia saat ini sudah hampir menyentuh rekor tertingginya.

Bahkan pemerintah Amerika Serikat mengatakan bahwa pada akhir Desember mendatang, produksi minyak serpih Amerika Serikat akan naik menjadi lebih dari 8 juta barel per hari. Terlebih lagi, pada bulan September lalu, Amerika Serikat resmi telah menjadi 'raja minyak' dengan tingkat  menjadi produksi minyak yang terbesar di dunia.

Ada pendapat juga datang dari Iran, yang kemarin memberikan pernyataan bahwa exportir minyak negeri persia tersebut tidak mengalami masalah untuk menjual minyak mentah hasil produksinya, seperti yang dilansir oleh Reuters. Sebagai informasi, pada bulan Agustus lalu, Amerika Serikat menjatuhkan sanksi kepada negara Iran yang melarang negara-negara yang menjalin hubungan kerjasama dengan Amerika Serikat untuk membeli minyak Iran.

Menurut para analisis pasar CMC Markets, pasar membutuhkan bukti yang lebih nyata untuk memperbaiki perhitungan fundamental dan memberikan keseimbangan penawaran-permintaan sebelum harga minyak menyentuh titik terendah yang sebenarnya.

Dengan adanya penurunan jumlah produksi pada tahun 2019, akan dapat memperbanyak jumlah produksi minyak. Sehingga dengan adanya penurunan jumlah produksi permintaan terhadap akan minyak akan terus meningkat dan tidak akan mempengaruhi perlambatan ekonomi yang dialami suatu negara.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun