Mohon tunggu...
Fajar Pamuji
Fajar Pamuji Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis yang masih magang

Banyak ide-ide random yang belum di eksekusi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Semua tentang Aku, Dia, dan Merapi

22 November 2021   17:36 Diperbarui: 22 November 2021   18:24 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Namaku Alisa, ini adalah perjalananku menuju kota yang mungkin membawa sedih dan luka. Perjalanan yang sebenarnya tidak ku inginkan namun air matalah yang membawaku kesana. Dan lagi-lagi namaku Alisa, dan perjalananku kali ini adalah sebuah pendakian di gunung Merapi via Kaliurang. Ini adalah pendakian kedua dan terakhirku, dan aku akan membawa semua kesedihanku dan akan kutinggalkan semua disana tanpa sisa.
 
Perjalanan yang lima jam lagi akan sampai ini aku menulis semua perasaan kecewa dan sedihku tentang seseorang. Perasaan yang seharusnya ku ungkapkan sebelumnya sebelum ia benar-benar pergi. Semua rasa marah dan sesdih ini hanya karena seorang laki-laki yang kini pergi dan mungkin tidak akan bertemu lagi. Ia adalah Kenzo, laki-laki yang hampir menghabiskan 17 tahun umurnya bersamaku. Laki-laki yang menjadi sahabatku satu-satunya yang ternyata pada akhirnya membawa luka.
 
Dialah orang yang memandu perjalanan pertamaku ke Merapi. Sosok laki-laki yang baik dan periang. Laki-laki yang selalu ramah dan perhatian padaku. Laki-laki yang mengerti bagaimana harus bersikap kepadaku.
 
Tepat hari ini, satu tahun yang lalu. Aku melepas kepergiannya dan semua kenangan bersamanya. Sesampainya aku di kaki Merapi dan sebelum kulanjutkan pendakian esok hari, ku mantapkan keberanian dan hatiku.
 
"Puncak masih jauh, jangan menyerah disini" kata Kenzo
"Aku masih kuat, jangan meremehkanku hanya karena aku wanita" Balasku sedikit ketus.
 
Percakapannya yang sedikit nyeleneh itu yang masih ku ingat hingga saat ini.
 
Saat pendakianku dimulai yang kupikirkan hanya dia. Tanah dan batu yang kupijak dibaluri air mata yang tak sengaja kujatuhkan tanpa kusadari. Beratnya tas yang kubawa bahkan tak membebani perjalananku saat ini. Yang ada dipikiranku hanya perasaan sedih dan semua kenangan tentang dia.
 
Perjalananku ini bisa dikatakan sebuah meditasi dan penenangan diri. Tiap sudut tikungan, gemulainya pepohonan, dan runcingnya bebatuan seolah-olah membawa semua kenangan tentang dia. Membawaku pada ingatan yang selalu aku sesali. Dia adalah laki-laki yang setahun yang lalu harus pergi merenggut nyawa karena kecelakaan. Perjalanannya yang meregang nyawa itu dikarenakan aku yang memintanya menemuiku hanya karena aku sakit kepala. Menurut informasi yang kudapat, ia berkendara dengan kecepatan tinggi hingga menabrak pembatas jalan.
 
Perasaan bersalah itulah yang selalu menghantuiku dari hari ke hari. Perasaan kecewa dengan diri sendiri atas apa yang terjadi, dan perasaan marah padanya kenapa harus pergi secepat itu dan meninggalkan aku disini sendiri merundung air mata. Padahal ia tahu bahwa masih banyak yang belum ku ceritakan padanya.
 
"Apakah kamu tahu kalau aku memotong pendek rambutku karena kamu yang meminta?" Ucapku dalam hati.
 
Ia selalu bilang bahwa aku lebih cantik dengan potongan rambut pendek sepundak. Padahal meskipun rambutku tidak pendekpun ia selalu memujiku cantik. Aku tahu meskipun ia hanya menggodaku saja, namun aku selalu senang dibuatnya. Namun kini kata-katanya yang menenangkan hanya sebatas ingatan yang berujung tangis dan air mata, yang lagi-lagi membawaku pada perasaan sedih dan rasa bersalah yang tak berkesudahan.
 
"Kenzo, dan kini aku sedang berdiri di kaki merapi. Memandang awan dan luasnya semesta seperti yang kita lakukan sebelumnya. Bedanya kini aku sendiri dan kamu yang entah dimana." Ucapku samar, yang mana aku tahu pasti ia disana mendengar.
 
Tak lama lagi aku akan segera sampai puncak, mungkin tinggal hitungan jam. Hingar bingar dan ramainya jalur pendakian tidak membuatku lebih tenang, tak juga membuat senyumku terbuka lebar. Pendaki lain mungkin marah dan enggan bicara denganku lagi karena tegur dan sapa yang kudengar mungkin ku hiraukan begitu saja. Bukan maksudku acuh atau tak peduli, namun hati dan pikiranku sedang tak tau kemana. Yang aku tahu hanya melangkah dan terus melangkah menuju puncak.
 
Sesampainya aku dipucak, segera ku buka tasku dan ku susun semua perbekalanku. Menurutku semakin cepat aku berkemas, semakin cepat aku menenangkan diri.
 
Tepat pukul sembilan malam setelah fisik dan hati siap, ragaku melangkah keluar dari tenda menuju luasnya malam. Hatiku syahdu disapa bintang, dan ragaku hangat dipeluk dinginnya malam. Aku duduk diatas batu yang sudah menggigil karena angin. Memandang langit dan luasnya semesta dari atas cakrawala Merapi. Waktu ke waktu ku lewati dengan hati yang tenang, lalu setelah itu aku mulai mengutarakan semuanya karena aku yakin ia pasti mendengar dari atas sana.
 
"Dari Merapi, tempat tertinggi yang pernah kita singgahi bersama sebelumnya, aku duduk dan merindu. Aku merindukan kita. Aku merindukan semua yang kita lakukan bersama. Bukankah jahat bahwa kau meninggalkanku disini sendiri. Aku yang harus menahan rindu sendiri karena tak mungkin lagi kita menyongsong temu." Kataku lirih untuknya.
 
"Terlalu banyak kenangan yang kita miliki bersama, karena 17 tahun bukan waktu yang singkat bukan? Maafkan aku karena selalu merepotkan, maafkan aku karena selalu menangis kalau aku jatuh, maafkan aku karena selalu cerewet kalau sehari tidak bertemu. Aku berterimakasih karena kau selalu menjadi yang selalu ada. Kamu yang selalu mengerti dan memahamiku. 

Kau akan selalu menjadi yang terbaik dan terus selalu yang terbaik. Maafkan aku karena aku menangis, aku tau kau diatas sana sedih melihatku seperti ini. Kupastikan bukan aku yang seperti ini yang kau harapkan. Tapi aku bisa apa? Bukankah aku selalu bilang bahwa aku tak setegar yang kau bayangkan."  Ungkapku yang kini semakin menangis.
 
Lalu aku kian menangis tersedu-sedu dan air mataku nyaru dengan kabut malam. Gemuruh angin seolah olah menderu menutupi suara isak tangisku. Tak bisa kubendung lagi semuanya, sudah ku utarakan semua sedihku, kecewaku, maafku, dan terimakasihku atasnya. Setelah itu aku hanya menghabiskan waktu dengan menangis. Setelah hampir empat jam aku menangis, akhirnya aku menyerah juga pada lelah.
 
Sebelum aku beranjak tidur, kembali aku teringat kata-katanya dulu.
 
"Apa kau tau kalau merapi tak pernah ingkar janji?" katanya.
 
Dan kini aku telah membuktikannya, bahwa apa yang dikatakannya adalah benar. Aku pernah berbalas pesan rindu padanya, dan kini aku merasakan ia merindukanku juga. Dan sudahlah cukup buatku.
 
Kini aku beranjak tidur dan kututup mataku dengan bahagia seolah olah semua perasaanku tersampaikan dengan tuntas. Kemudian aku terbangun pagi hari dalam keadaan tenang dengan senyum diwajahku. Pagi seolah menyambutku, matahari yang menyongsong keluar disudut timur cakrawala melambai dari kejauhan. Sebelum aku benar-benar turun meninggalkan Merapi, kutinggalkan semua sedihku, rinduku, dan semua yang melekat tentangnya. Kutinggalkan disini, ditempat yang selalu istimewa untuk kita.
 
Kemudian kubawa semua harapanmu tentangku. Harapanmu tentang ku untuk menjadi wanita yang kuat dan pemberani. Setelah itu yang kusimpan tinggal namamu, dan kusimpan baik-baik jauh didalam hati.

Incollaboration with : Annisa Prameswari Wibowo

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun