Dia melukis pada kanvas yang polos
Gunung gunung biru itu terlihat realistis tapi bernada misteri, suram
Tergambar disana matahari yang hitam, seperti inti bola mata yang kelam.
Perempuan itu menggoreskan kuas pada media itu dengan cat cat yang dia beri jiwa
Dia yang mewarna pelangi warna warni tanpa tumpang tindih juga tanpa gradasi
Terlalu mencolok untuk sekedar memberi jeda dan batas, seperti tanpa basa basi
Dalam lukisan yang belum jadi itu dia menggambar kamu,Â
Lelaki yang memberinya luka untuk ditangisi dan perih untuk dinikmati
Disana dia melukis sesosok figur lelaki yang menangis bingung seorang diri, seolah mengutuk kamu untuk kesepian
Dalam lukisan yang hampir jadi itu tidak ada cahaya selain kesenduan yang melambangkan sesal
Sepertinya dia tidak memberi celah untuk pergi seperti penjara, lukisan sederhana yang menggambarkan kekecewaan.
Mungkin disanalah tempat untukmu meratapi masa lalu, pada lukisan yang hampir jadi yang kini ditinggal pelukisnya pergiÂ
Lukisan yang kukira akan selesai lambat tapi malah menjadi sia sia lantaran ditinggal pergi pelukisnya yang egoisÂ
Akhirnya itu hanya lukisan tanpa kelar itu yang hadir di aula ini yang meningglakan dendam yang tak pernah usai.Â
Tapi setelah lama waktu berlalu dan aku menerka-nerka kesimpulan yang kini kuamini, jika lukisan itu telah lengkap dan utuh.
Kini kulihat kamu menangis hanya bisa meratapi lukisan itu yang angkuh tergantung dengan bingkai megah,
Nyatanya lukisan itu sudahlah selesai dengan meninggalkan kamu dalam patah hati tak berkesudahan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H