Oleh Fajar Junaedi
Perang batu antar supporter sepak bola kembali menghiasi pemberitaan, padahal musim kompetisi Indonesian Super League (ISL) 2010/2011 baru bergulir satu minggu. Perang batu antara Viking, bobotoh atau suporter layal Persib Bandung dengan warga Solo, yang tentu saja bias diidentifikasi sebagai Pasoepati, suporter Persis Solo terjadi di sepanjang jalur rel kereta api yang membelah Kota Solo (3/10). Â Â Viking yang baru saja pulang dari tour away untuk medukung Persib yang bertandang ke kandang Deltras Sidoarjo, mendapat serangan di sepanjang jalur kereta yang berada di Kota Solo dan sekitarnya. Padahal di kota-kota lain yang dilalui rombongan Viking, nyaris tidak terjadi perang batu atau tawuran.
PT. Kereta Api Indonesia (KAI) yang beberapa hari sebelumnya mengalami kerugian material dan juga moral akibat kecelakaan kereta api yang terjadi di Pemalang dan Purwosari, kembali harus menelan kerugian material yang diakibatkan oleh kerusakan gerbong kereta api yang mengalami kerusakan parah akibat lemparan warga terhadap kereta api yang melintas. Pelemparan yang dilakukan warga ini dilakukan tidak hanya pada rangkaian kereta yang membawa rombongan Viking, namun juga rangkaian kereta api lainnya yang melewati Kota Solo, terutama kereta api yang dating dari arah timur.
Kerugian moral juga menimpa perusahaan negara yang menjadi satu-satunya operator kereta api di Indonesia ini. Rasa takut dan trauma yang menghinggapi para penumpang kereta api yang dilempari merupakan kerugian moral yang juga tidak bisa dikesampingkan. Padahal beberapa hari sebelumnya kecelakaan kereta yang menelan puluhan nyawa juga telah menjadi berita negatif bagi pelayanan kereta api di Indonesia.
Suporter sepak bola dan kereta api sepertinya adalah dua fenomena yang tidak bisa dilepaskan. Para supporter sepak bola saat mengadakan tour tandang mendukung tim kesayangannya sering kali memilih moda transportasi kereta api, sebagaimana yang dilakukan supporter Persib Bandung yang melakukan perjalanan ratusan kilometer dengan menggunakan kereta api demi sebuah loyalitas dan kebanggaan terhadap klub yang mereka dukung.
Jika ditelusuri, fenomena aksi mendukung tim sepak bola dengan menumpang kereta dalam jumlah massif tidak bisa dilepaskan dari andil Bonek, supporter Persebaya Surabaya. Para pendukung tim bajul ijo yang terkenal fanatik ini mengawali aksi mendukung tim kebanggaannya dalam berbagai pertandingan tandang yang mereka lakoni dengan jumlah massif. Puncaknya pada dekade 1980-an, ribuan Bonek membanjiri Senayan saat Persebaya berlaga di final Divisi Utama Perserikatan. Awalnya aksi mendukung seperti ini tidak menimbulkan gejolak sosial, namun belakangan ini aksi mendukung tim yang bertandang ke kandang lawan dengan menggunakan kereta api sering kali harus diwarnai dengan bentrokan fisik.
Pada musim kompetisi ISL 2009/2010, ribuan bonek yang menumpang kereta api Pasundan juga terlibat perang batu dengan warga Solo. Suporter Arema, Aremania, saat pulang mendukung Arema yang bertanding di final Piala Indonesia 2010 juga terlibat perang batu dengan warga Kota Kediri. Mereka terlibat aksi lempar dengan warga Kota Kediri dari atas kereta api yang mereka tumpangi.
Dalam istilah Bonek, jalur-jalur yang rawan keributan terutama daerah perbatasan dengan suporter lain disebut sebagai Ambalat. Istilah ini tentu merujuk pada perbatasan Indonesia dan Malaysia yang selama ini disengketakan. Sedangkan para Aremania menyebutnya sebagai Jalur Gaza, yang meujuk pada wilayah di Timur Tengah yang selalu panas.
Ada beberapa hal yang menyebabkan genealogi (asal-usul) konflik suporter sepak bola masih saja menjadi noda hitam dalam kompetisi sepak bola di Indonesia. Pertama, manajemen Persatuan Sepak Bola Indonesia (PSSI) dan Badan Liga Indonesia (BLI) yang masih juga belum profesional dan sarat kepentingan para pengurusnya. Terdegradasinya Persebaya Surabaya di musim ISL tahun 2009/2010 setelah tiga kali pertandingan yang seharusnya mereka lakoni melawan Persik Kediri urung diselenggarakan adalah contoh nyata konflik kepentingan yang mewarnai PSSI dan BLI. Pengurus klub ini, teruama manajer mereka Saleh Mukadar adalah figur yang dikenal kritis dan vokal terhadap kepemimpinan Nurdin Halid.
Kasus suap yang konon masih terjadi juga menjadi indikasi buruknya kompetisi di Indonesia. Terdegradasinya Persis Solo setelah kalah dari Persiku Kudus dalam play off Divisi Utama 2009/2010 juga diwarnai rumor adanya suap.
Tidak aneh jika kekecewaan terhadap penyelenggaraan kompetisi sepak bola profesional di Indonesia kemudian melahirkan akumulasi berupa rencana pembentukan Liga Primer Indonesia (LPI). Liga yang digagas oleh Arifin Panigoro ini konon akan menjadi alternatif baru bagi klub-klub sepak bola yang selama ini merasa selalu dirugikan oleh kebijakan manajemen dan regulasi PSSI.
Tentu saja penyelenggaraan kompetisi yang tidak profesional sebagaimana terindikasikan dengan berbagai realitas di atas akan menyebabkan kekecewaan suporter. Para suporter yang kecewa dengan hasil pertandingan yang merugikan tim yang mereka dukung dan mereka juga merasa bahwa tim yang mereka dukung dicurangi akan rentan dengan aksi anarkis. Yel-yel yang rasis dan meneror tim serta suporter lawan akan menjadi benih-benih kerusuhan yang lebih besar.
Kedua, kompetisi di Indonesia masih tergantung pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Bisa jadi para suporter sepak bola, sadar maupun tidak sadar, merasa bahwa tim yang mereka dukung menggunakan uang rakyat, yang notabene mereka adalah rakyat yang uangnya digunakan oleh membiayai tim sepak bola yang mereka banggakan. Ini yang yang menyebabkan mereka ingin agar tim dari kota mereka selalu meraih kemenangan. Jika sampai kalah, mereka meluapkannya dengan menyerang tim dan suporter lawan, sehingga kemudian benih permusuhan akan muncul.
Beberapa tahun belakangan ini, genealogi konflik suporter di Indonesia semakin terpetakan dalam kubu kelompok suporter. Kubu pertama adalah Viking, Bonek dan Brajamusti beserta beberapa kelompok suporter lainnya. Sedangkan kubu yang lain adalah Aremania, The Jak dan Pasoepati dengan beberapa kelompok suporter lainnya. Untuk membuktikan genealogi ini, kita bisa mendengar dari yel-yel suporter, tulisan di baju suporter dan grafiti yang ada di stadion dan di luar stadion. Di luar stadion, lokasi yang paling banyak grafiti suporter adalah kompleks stasiun. Di Stasiun Purwosari, Solo misalnya, kita dengan mudah menjumpai grafiti yang mengolok-olok Viking dan sekutu-sekutunya. Bisa dimaklumi juga jika Viking yang melintas di stasiun ini marah melihat grafiti yang menyerang identitas kebanggaan mereka. Ujung-ujungnya tidak lain kemudian adalah perang batu.
Jika dibandingkan dengan genealogi konflik supporter di luar negeri, sebenarnya konflik supporter di Indonesia tidak begitu memiliki sebab yang ideologis. Sebagai perbandingan adalah konflik antara pendukung Glasgow Celtics dan Glasgow Rangers di Skotlandia yang bernuansa agama Katolik dan Ptotestan. Bandingkan juga dengan konflik antara pendukung Livorno, yang dikenal sebagai klub yang menjadi representasi kaum kiri di Italia dengan Lazio, klub yang disukai kalangan fasis.
Contoh lebih ekstrim adalah persaingan antara Dinamo Zagreb yang menjadi representasi etnis Kroasia dengan Partizan Beograd yang menjadi klub kebanggaan etnis Serbia. Di masa akhir hayat Yugoslavia, jika kedua klub ini bertemu nyaris dipastikan bentrok massal terjadi. Konon, salah satu penyebab meletusnya Perang Balkan di tahun 1990-an, sebuah perang yang menjadi titik balik pecahnya Yugoslavia, adalah perang antara kedua kelompok supporter pendukung kedua klub ini.
Di Indonesia, nyaris tidak ada alasan ideologi dalam konflik suporter, baik yang bersifat keagamaan seperti di Skotlandia, kelas sosial seperti yang terjadi di Italia maupun etnisitas sebagaimana yang pterjadi di eks-Yugoslavia. Namun, walaupun tidak sebab ideologis yang kuat, konflik supporter di Indonesia bukannya semakin menyusut, namun semakin menjadi-jadi.
Ini sungguh ironis, karena sebenarnya awal carut marut sepak bola Indonesia adalah di kompetisi yang tidak professional, kemudian mengundang kekecewaan suporter. Kekecewaan yang bukannya diarahkan kepada otoritas sepak bola, namun justru kepada sesame suporter.
Penulis adalah dosen broadcasting Departemen Ilmu Komunikasi UMY, peminat budaya sepak bola. Makalah disajikan untuk diskusi santai sebelum nonton bareng pertandingan Indonesia vs Uruguay yang diselenggarakan oleh Komunitasi Kampus Biru UGM di Hijau Café Yogyakarta 8 Oktober 2010
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H