Tentu saja penyelenggaraan kompetisi yang tidak profesional sebagaimana terindikasikan dengan berbagai realitas di atas akan menyebabkan kekecewaan suporter. Para suporter yang kecewa dengan hasil pertandingan yang merugikan tim yang mereka dukung dan mereka juga merasa bahwa tim yang mereka dukung dicurangi akan rentan dengan aksi anarkis. Yel-yel yang rasis dan meneror tim serta suporter lawan akan menjadi benih-benih kerusuhan yang lebih besar.
Kedua, kompetisi di Indonesia masih tergantung pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Bisa jadi para suporter sepak bola, sadar maupun tidak sadar, merasa bahwa tim yang mereka dukung menggunakan uang rakyat, yang notabene mereka adalah rakyat yang uangnya digunakan oleh membiayai tim sepak bola yang mereka banggakan. Ini yang yang menyebabkan mereka ingin agar tim dari kota mereka selalu meraih kemenangan. Jika sampai kalah, mereka meluapkannya dengan menyerang tim dan suporter lawan, sehingga kemudian benih permusuhan akan muncul.
Beberapa tahun belakangan ini, genealogi konflik suporter di Indonesia semakin terpetakan dalam kubu kelompok suporter. Kubu pertama adalah Viking, Bonek dan Brajamusti beserta beberapa kelompok suporter lainnya. Sedangkan kubu yang lain adalah Aremania, The Jak dan Pasoepati dengan beberapa kelompok suporter lainnya. Untuk membuktikan genealogi ini, kita bisa mendengar dari yel-yel suporter, tulisan di baju suporter dan grafiti yang ada di stadion dan di luar stadion. Di luar stadion, lokasi yang paling banyak grafiti suporter adalah kompleks stasiun. Di Stasiun Purwosari, Solo misalnya, kita dengan mudah menjumpai grafiti yang mengolok-olok Viking dan sekutu-sekutunya. Bisa dimaklumi juga jika Viking yang melintas di stasiun ini marah melihat grafiti yang menyerang identitas kebanggaan mereka. Ujung-ujungnya tidak lain kemudian adalah perang batu.
Jika dibandingkan dengan genealogi konflik supporter di luar negeri, sebenarnya konflik supporter di Indonesia tidak begitu memiliki sebab yang ideologis. Sebagai perbandingan adalah konflik antara pendukung Glasgow Celtics dan Glasgow Rangers di Skotlandia yang bernuansa agama Katolik dan Ptotestan. Bandingkan juga dengan konflik antara pendukung Livorno, yang dikenal sebagai klub yang menjadi representasi kaum kiri di Italia dengan Lazio, klub yang disukai kalangan fasis.
Contoh lebih ekstrim adalah persaingan antara Dinamo Zagreb yang menjadi representasi etnis Kroasia dengan Partizan Beograd yang menjadi klub kebanggaan etnis Serbia. Di masa akhir hayat Yugoslavia, jika kedua klub ini bertemu nyaris dipastikan bentrok massal terjadi. Konon, salah satu penyebab meletusnya Perang Balkan di tahun 1990-an, sebuah perang yang menjadi titik balik pecahnya Yugoslavia, adalah perang antara kedua kelompok supporter pendukung kedua klub ini.
Di Indonesia, nyaris tidak ada alasan ideologi dalam konflik suporter, baik yang bersifat keagamaan seperti di Skotlandia, kelas sosial seperti yang terjadi di Italia maupun etnisitas sebagaimana yang pterjadi di eks-Yugoslavia. Namun, walaupun tidak sebab ideologis yang kuat, konflik supporter di Indonesia bukannya semakin menyusut, namun semakin menjadi-jadi.
Ini sungguh ironis, karena sebenarnya awal carut marut sepak bola Indonesia adalah di kompetisi yang tidak professional, kemudian mengundang kekecewaan suporter. Kekecewaan yang bukannya diarahkan kepada otoritas sepak bola, namun justru kepada sesame suporter.
Penulis adalah dosen broadcasting Departemen Ilmu Komunikasi UMY, peminat budaya sepak bola. Makalah disajikan untuk diskusi santai sebelum nonton bareng pertandingan Indonesia vs Uruguay yang diselenggarakan oleh Komunitasi Kampus Biru UGM di Hijau Café Yogyakarta 8 Oktober 2010
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI