Kampung Labuhan.. salahsatu nama kawasan di tepian jembatan Sei Bilah, Rantauprapat. Tempat ini kesannya memang kurang begitu familiar bagi sebahagian besar warga kota Rantauprapat..
Padahal, daerah yang saat ini dihuni belasan rumah tangga tersebut merupakan daerah permukiman tua di bantaran sungai terpanjang di Labuhanbatu, Sumut tersebut..
Dahulu kala, ketika puluhan tahun lalu, meski tak sesohor Pekan Lama dan Paindoan, ketiga tempat ini merupakan titik pendaratan warga yang berdomisili di hulu dan hilir sungai Bilah ketika ingin menuju kota Rantauprapat.
Ketika itu, moda transportasi masih memanfaatkan prasarana air berupa sampan dan tongkang..
Walaupun Kampung Labuhan masih terbilang di tengah kota Rantauprapat. Di kecamatan Rantau Utara. Tak setiap warga yang berdomisili ataupun pendatang di Rantauprapat, fasih letak kawasan ini di jalan HM Thamrin dh Jalan WR Supratman..
Sebab, masyarakat Rantauprapat masih lebih mengenal daerah Air Bersih, yang konon bertetanggaan dengan Labuhan..
Bukti kampung Labuhan adalah permukiman yang telah ada sejak beberapa dekade terakhir, sejumlah rumah-rumah warga masih berornamen arsitektur rumah dulu..
Kini, dibalik kisah tua kampung itu, mengandung cerita miris bagi warga kota Rantauprapat yang mengetahuinya..
Bagaimana tidak, di sana terdapat sebuah rumah yang memiliki fungsi sebagai penginapan sungguh sangat sederhana. Atau lebih pantasnya di sebut "rumah singgah"..
Penghuninya, cenderung para pendatang dari luar Labuhanbatu. Khususnya, dari Kabupaten Batubara..
Ironisnya, sudah menjadi rahasia umum jika para pendatang yang menginap di rumah singgah ini, melakoni hidup sebagai "pengemis"..
Para penghuni rumah singgah yang berprofesi seperti itu menjadikan kota Rantauprapat memiliki belasan pengemis yang kerap terlihat melakoni hidup dengan berharap derma dan belas kasihan para warga lainnya..
Mereka, dari beragam usia meminta-minta kepada warga di tempat-tempat publik.. Misalkan, di sejumlah warung dan rumah makan di kota Rantauprapat..
Terlepas apakah aktivitas itu berindikasi dikordinir ataupun dimobilisasi oknum-oknum tertentu, menjadi fokus dalam coretan sederhana ini adalah hadirnya kanak-kanak masih usia dini..
Anak-anak tersebut harus rela menggadaikan masa kecilnya yang ceria. Jika anak lain di usia masa pendidikan sekolah dasar dapat bermain dengan teman seusia, tidak dengan anak yang tinggal di rumah singgah Labuhan..
Beberapa anak yang menghuni rumah singgah itu, harus menantang waktu demi uang recehan para penderma..
Kepada penulis, salahseorang diantaranya, dalam hal ini kita sebut saja, udan yang diperkirakan masih berusia 11 tahun..
Dia ketika bersama seorang rekan seprofesinya yang setahun lebih tua, menyebut jika dia pendatang dari daerah Batubara..
Kegagalan rumah tangga yang berujung pada perceraian kedua orangtuanya, membuat dia menjadi korban.. "Ayah sama emak bercerai," ujarnya..
Dia mengaku jika Emaknya masih di salahsatu sudut daerah Kabupaten Batubara. Sedangkan Bapaknya, tidak diketahui keberadaannya. "Emak masih di Batubara," imbuhnya dengan mengenakan kopiah lusuhnya..
Sampainya dia di kota Rantauprapat, tuturnya karena dibawa seseorang. Mereka menyebutnya "Atok". "Atok yang membawa kami ke sini," katanya..
Tapi, cerita dengan para bocah ini tak berlangsung lama. Mereka harus buru-buru meninggalkan penulis untuk selanjutnya mendatangi sejumlah warga lainnya..
Alhasil, penggalan cerita hidup bocah ini sampai menjadi berprofesi seperti itu tak dapat dibingkai dengan sempurna..
Para pengambil kebijakan di daerah Labuhanbatu seyogyanya sesegera mungkin mengambil langkah terbaik terhadap penghuni "rumah singgah" tersebut khususnya. Serta, warga-warga lainnya yang butuh kepedulian dan perhatian bersama..
Agar, Udan-Udan lainnya dapat menggenggam masa depannya dengan berkesempatan mengecap pendidikan formal dan menghiasi usia mudanya dengan keceriaan..
Semoga.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H