Arya, bocah 10 tahun yang memiliki berat badan di atas 180 kg yang saat ini melakukan karantina ketat di RS. Hasan Sadikin Bandung.
Seperti yang kita ketahui, saat ini Arya melakukan program karantina seperti program asupan gizi seimbang dan aktivitas fisik, sehingga Arya mendapatkan asupan yang sepantasnya ia dapatkan.
Kemarin (14 Juli), sempat saya tonton Kompas Petang yang membahas ini (agak lupa siapa psikolog dalam wawancara, kasih tahu narasumbernya ya jika teman-teman inget). Kurang lebih yang saya tangkap adalah, jangan sering-sering memanggil anak kita pada usia bayi seperti “Ih lucuya. Gembul ya.”
Psikolog tersebut menganalisis bahwa hal tersebut memicu stimulus pada anak untuk melakukan tindakan yang tidak kita duga karena memori anak pada usia bayi masih kosong dan cenderung memiliki penangkapan memori lebih cepat.
Hal yang membuat saya cukup mengejutkan sebagai pribadi ternyata satu kata saja yang diucapkan secara berulang-ulang akan berujung terhadap bahaya yang kita tak sadari.
Dalam bahasa Indonesia, konotasi “Gembul” identik dengan gendut, gemuk dan badan gede. Kata tersebut sebenarnya memiliki kesan lucu dan gemes yang muncul ketika kita memuji anak kita. Namun, itu justru menimbulkan efek domino pada anak dan merangsang anak-anak tersebut terkesan” saya gendut dan gemuk.”
Sebagai amatiran, saya sepakat terhadap psikolog yang bersangkutan mengungkapkan hal ini, karena potensi resiko terhadap keburukan dantingkah laku anak justru berada di tangan orang tua itu sendiri. Seperti kasus Ryan di Jombang 9 tahun yang lalu, dimana perilaku orang tuayang buruk dan lingkungan yang tidak sehat.
Inilah pentingnya menyaring perkataan orangtua yang akan disampaikan ke anak-anak, apalagi pada usia dini. Karena, satu kata yang dilontarkan melalui lidah kita akan menusuk bagai pisau bak di kepala kita. (itu kiasan, jangan diseriusin yak).
Mungkin saran saya sebagai K-Popers dan Penggemar Bus, kata-kata yang bagus bagi anak-anak kita pada usia dini adalah seperti ini (terutama pada usia bayi).
Kamu "Sholeh/Sholehah, Cantik, Pintar, Cerdas".
Kata manis (mohon maaf) saya tidak merekomendasikan, karena kata "manis" memiliki sifat domino yang kurang lebih sama seperti gembul. Kata tersebut memiliki konotasi misterius yang dapat merangsang anak-anak tersebut memiliki motivasi sama untuk seperti menjadi karakter manis.
Misterius ini dapat saya artikan belum jelas karakternya akan seperti apa dalam sifat tersebut, sehingga kata tersebut sebisa mungkin saya sarankan jangan sering diucapkan pada anak-anak kita.
Dengan adanya kasus Arya ini, sepadannya orang tua lebih berhati-hati dalam memberikan asupan yang tepat sasaran, tidak sekadar gizi dan nutrisi, namun juga asupan perkataan dan perilaku pada anak-anak kita sejak dini.
Dalam kesehatan dan keselamatan, tidak sekadar berkerja dan berkendara yang harus selamat. Tapi juga bertutur kata.
Salam, penggemar bus dan K-Popers.
Fajarbuslovers.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H