Keinginan Leicester City sekadar hanya bisa lolos dari zona degradasi (dari musim lalu) berubah haluan menjadi sang juara. Selama 35 pertandingan ini, Leicester City berhasil memperoleh 76 poin dengan selisih 35 gol positif.
Dengan analisis amatiran ini, secara amatiran mengungkapkan saya sependapat dengan Ranieri. Dengan mengatur dan mengolah emosi dan tidak memberikan amarah dalam setiap ujian yang dihadapi Ranieri ke anak-anak asuhnya. Secara pribadi, saya malu, canggung dan salut luar biasa dengan Ranieri. Sama seperti apa kata nasehat ayah saya ketika saya menghadapi masalah. Secara pribadi, saya masih bermasalah terhadap emosi yang labil.
“Masalah harus kita rangkul. Tapi jangan selesaikan masalah dengan cara yang salah. Jangan juga hadapi masalah dengan emosi”, tutur ayah saya.
Di buku Happiness Inside milik Pak Gobind Vashdev, beliau juga mengatakan seperti ini.
“Setiap Peristiwa yang terjadi adalah sifatnya Netral, tak bernilai apa-apa.
Kita-lah yang memberi label baik atau tidaknya, boleh atau tidaknya, pantas atau tidaknya, sopan atau tidaknya dan seterusnya dalam setiap peristiwa yg kita hadapi. Semua tergantung dalam diri kita. Apakah positif atau tidak.
Orang yang selalu memilih untuk melihat dunia dari sisi keindahan adalah orang yang beruntung, mereka tidak terpengaruh oleh keadaan dan tidak menyalahkan situasi yang ada."
Dengan segala permasalahan Leicester City dari keuangan yang serba pas-pasan dan hampir menyentuh zona degradasi, dalam inti timnya selalu menyikapi dengan positif dan tidak membawa oleh hawa nafsu atau emosi dalam kebutuhan Ranieri, sang peracik.
Ke depan, Leicester akan menghadapi Manchester United, Everton dan Chelsea di sisa-sisa pertandingan Liga Primer Inggris, dengan sisa performa yang masih optimal.
Semoga saja, Louis van Gaal mengucap kata salut luar biasa pada Leicester City, saat ia menghadapi tim mereka Sabtu depan dalam hasil skor manapun.
Apa yang dilakukan Ranieri, Sama seperti Pak Jokowi. Tenang dan tidak terbawa emosi.