A: Why is it called Fine Arts? Are there arts that are ugly? B: No ugly arts. I mean... some can be ugly. But it's subjective. Because there are also Decorative Arts, Applied Arts... There's no Ugly Arts school. A: Why not? B: That's a good point. At the time of the Impressionists, everyone who was rejected from the Salon for beautiful paintings and everyone who was considered "ugly" went to the Salon of the... A: Ugly? B: Sort of the Salon of the Ugly. The best artists.
Fine arts. Seni yang paling tinggi. Film bagus dan film jelek. Kartu matinya ada di kata subjektif. Pilihan bagus dan jelek ada di masing-masing pribadi. Saat menemui kesamaan di tiap pendapat, tentu tidak ada masalah. Tapi saat pendapat tadi saling bertolak belakang, ini yang bisa jadi bahaya. Tapi saya percaya dengan love at first sight. Seperti dialog di atas, yang diambil dari film Blue is the Warmest Color, salah satu film kontroversial yang paling banyak dibicarakan tahun 2013 ini. Filmnya sangat berkelas, buktinya ikut komptisi dalam Festival Film Cannes 2013 dan keluar sebagai pemenang penghargaan paling tertinggi, tropi Palm D'or. Tapi di balik itu, ada perkara soal adegan seks lesbian sepanjang 10 menit dan sikap tidak enak antara sutradara film dengan 2 aktirs utamanya. Terlepas dari itu, Blue dengan cermat membicarakan love at first sight tadi, cinta pandangan pertama. Bagi saya, menonton film adalah salah satu kegiatan spiritual, maka saat saya bisa terhubung dengan film itu dari kali pertama menonton, ada semacam kesenangan yang tidak terbatas. Kalau seks sudah mencapai orgasmenya. Meski banyak juga film yang baru klik di saya setelah kali kedua atau ketiga menontonnya. Akhir 2013 sudah di depan mata dan ini adalah kali ketiga saya membuat daftar film-film terbaik di Kompasiana. 2013 sayangnya bagi saya cukup mengecewakan. Secara pribadi, banyak film-film yang tanggung. Ekspektasi saya mungkin yang terlalu tinggi, jadi saat menonton film dan ekpektasi saya tidak tercapai yang datang malah kecewa (ya, saya berbicara soal Gravity). Bahkan, Bret Easton Ellis, salah seorang penulis bermulut besar yang terkadang omongannya ada benarnya juga, mengatakan kalau 2013 adalah tahun terbaik dalam film merupakan perkara pepesan kosong untuk membuat pekerjaan mereka (para kritikus film) agar masih relevan atau hanya sekumpulan orang-orang idiot. Hal itu sangat bisa dimengerti dan saya berada di sisi Ellis tentang pendapat itu. Kalau Anda sering mengikuti berita soal film, maka daftar film terbaik yang muncul di akhir tahun, yang selalu banyak terlihat adalah film-film yang dirilis pada kuarter akhir tahun saja. Film-film yang rilis di awal dan pertengahan tahun langsung dilupakan. Ini wajar karena kebanyakan kritikus langsung fokus pada pegelaran Oscar, yang mana banyak disebut-sebut sebagai definisi fine arts-nya sebuah film, meskipun saya tidak setuju. Atau mungkin para kritikus tadi sama seperti saya, masih mengalami euforia love at first sight. Film-film terdahulu dilupakan, datang film baru. Terdengar tidak adil, tapi ini namanya industri. Terkenal dalam 15 menit itu sangat wajar. Sehingga ini yang menjadi dasar saya untuk membuat daftar film-film terbaik di tahun 2013. Saya mencoba untuk meruntut film-film yang mendefinisikan 2013 lewat rilisan sejak awal tahun. Saya mencoba adil untuk mengecilkan lingkup ke film-film yang secara resmi rilis di Indonesia, entah itu tayang di jaringan bioskop ataupun ketika diputar di festival. Karena saya sering mendapat komentar, "Sayang sekali, saya belum menonton filmnya." Saya ingin saat ada yang berkomentar, bisa lebih relate dengan tulisan ini. Meski tidak bisa dipungkiri, saya tetap bandel untuk kerap mengunduh secara ilegal. "Kalau tidak begitu, tidak akan terkejar," begitu kata saya dalam hati. Apalagi melihat film-film yang lulus sensor dan tayang di Indonesia, kebanyakan adalah film mainstream Hollywood, sedangkan saya haus dengan film-film lain. Sayangnya, saya tidak memunculkan film Indonesia terbaik untuk tahun 2013. Jujur, saya hanya sedikit menonton film Indonesia tahun ini. Satu film saya tonton hanya untuk lucu-lucuan, yaitu Taman Lawang yang lagi-lagi menggambarkan kaum minoritas sebagai bahan tertawaan. Kemudian dua film fine arts lokal, yaitu What They Don't Talk About When They Talk About Love karya Mouly Surya dan Something in the Way karya Teddy Soeriaatmadja (Reza Rahardian bugil di sini) yang terlalu "megah." Dan terakhir adalah Sokola Rimba yang begitu manis memperlihatkan dongeng orang Rimba tapi malah berkahir menjadi feel-good movie yang terlalu formulatik. Bagi saya, film Indonesia sudah kehilangan momentumnya, tidak seperti 10 tahun lalu saat film Indonesia tengah bangkit dan sedang giat-giatnya membuat film bagus. Ditambah juga penonton Indonesia yang sudah kehilangan sopan-santun dan tata kramanya di dalam gedung bioskop. "Gue bayar, gue bisa ngapain aja." Mungkin pikirnya seperti itu. Tapi ada juga perilaku sebagian orang-orang yang kebetulan menulis film dan bisa mendapatkan kesempatan menonton lebih awal (gratis pula) yang bertindak 11-12 dengan yang sudah disebutkan di atas. Dan itu masih terjadi di tahun 2013. Tapi saya masih menaruh respek lebih dengan orang-orang yang masih mau menyisihkan waktu dan uangnya ke bioskop untuk menonton film Indonesia. Ada ratusan film yang rilis di tahun 2013 dan saya akui kalau saya tidak menonton semuanya karena keterbatasan waktu. Setidaknya saya mencoba untuk menutup ketinggalan tadi dengan menonton sekitar 149 film. Dari 13 film yang saya tonton, 11 saya tonton di bioskop, 1 dalam keping DVD, dan satu lagi dalam seminar. Tanpa perlu panjang lebar lagi, berikut daftarnya. Dan tidak lupa juga saya megucapkan selamat hari Natal 2013 dan tahun baru 2014.
#10 The Hunger Games: Catching Fire (2013)
[caption id="attachment_301161" align="aligncenter" width="600" caption="Foto: Lionsgate"][/caption] Inilah satu-satunya popcorn movie yang sangat memuaskan di tahun 2013. Film-film blockbuster 2013 terlalu mengecewakan buat saya, terlalu kosong seperti popcorn yang saya makan. Meski sempat pesimis dengan film ini, tapi saya salah. The Hunger Games: Catching Fire adalah bukti novel YA kalau digarap serius hasilnya juga akan bagus. Mungkin karena materi aslinya, yang saya sendiri belum membacanya sama sekali, sudah bagus. Ada metafora politik di sini, bukan sekedar cinta segi tiga ABG. Mereka yang pesimis bilang lanjutan ini terlalu mengulang dan marah-marah dengan ending yang menggantung. Tapi bukan itu persoalannya. The Hunger Games: Catching Fire memperlihatkan pendalaman karakter yang kuat. Ini yang dibutuhkan sebuah film. Kemenangan justru tidak membuat Katniss (Jennifer Lawrence) dan Peeta (Josh Hutcherson) hidup enak, malah ada beban baru dan memperlihatkan kebohongan untuk konsumsi publik. Tagline-nya saja sudah pas, "Every revolution begins with a spark." Revolusi memang belum dimulai, tapi percikan the girl on fire sudah meledak duluan di sini.
#9 Frozen (2013)
[caption id="attachment_301164" align="aligncenter" width="600" caption="Foto: Disney"]
#8 Captain Phillips (2013) + Rush (2013)
[caption id="attachment_301167" align="aligncenter" width="600" caption="Foto: Columbia Picture"]
#7 Snowpiercer (2013) + Stoker (2013)
[caption id="attachment_301172" align="aligncenter" width="600" caption="Foto: CJ Entertainment"]
#6 Silver Linings Playbook (2012)