[caption id="attachment_301176" align="aligncenter" width="600" caption="Foto: The Weinstein Company"]
[/caption] Bukannya film ini dirilis di tahun 2012? Memang benar, tapi bioskop Indonesia baru menikmati akting manis Jennifer Lawrence di kuarter awal tahun 2013 ini saat kampanye Oscar tengah berlangsung. Kalau boleh jujur, dari semua nominator Film Terbaik Oscar, film ini yang memiliki
chemistry paling baik dengan penontonnya saat diputar di bioskop. Memang seru melihat orang-orang gila bergelut dengan masalahnya sendiri. Apalagi saat "orang gila" (Bradley Cooper) yang satu bertemu dengan "orang gila" yang lain (Lawrence). Hasilnya meledak-ledak, penuh emosi, dan juga sangat lucu. Apalagi sutradara David O. Russell menceritakan kalau film ini sangat personal. Ini jadinya kalau sesuatu yang personal dibuat dengan baik, bisa menjadi karya yang memuaskan. Empat aktor-aktrinya masing-masing mendapat nominasi Oscar untuk kategori akting, prestasi yang sudah lama tidak dicapai sebuah film. Kurang apalagi coba? Ah, saya jadi ingin kembali mendengarkan
Don't You Worry 'Bout a Thing milik Stevie Wonder.
#5 The Act of Killing (2012)
[caption id="attachment_301179" align="aligncenter" width="600" caption="Foto: Drafthouse Films"]
[/caption] Indonesia tiba-tiba menjadi obrolan seluruh dunia lewat sosok Anwar Congo. Orang asing sekaligus sutradara Joshua Oppenheimer datang ke Indonesia dan memperlihat coretan buruk sejarah di Indonesia soal premanisme dan komunisme lewat film dokumenter ini. Di Indonesia dirilis dengan judul yang sangat menjijikan,
Jagal. Sangat miris saat yang peduli bukan orang Indonesia sendiri, tapi malah orang luar. Kalimat yang sudah muak saya utarakan jika kita berbicara soal budaya sendiri. Indonesia juga punya tragedi
holocaust dan itu sangat menyeramkan. Terlebih saat para pelakunya meminta untuk dibuat ulang lewat film-film favorit mereka, yang juga mengidolakan Marlon Brando. Awalnya pembuatan film reka ulang ini menjadi kegiatan yang menyenangkan, tapi lama-kelamaan membuat para pelakunya tersadar akan perbuatannya sendiri. Pengakuan dosa terlihat begitu menyedihkan sekaligus menyakitkan di sini. Dan menjadi bukti kalau film menjadi media yang kuat untuk mengutarakan pendapat. Tapi entah apa pendapat orang luar sekarang ini tentang Indonesia. Mudah-mudahan tidak asal lewat. Kami juga manusia, Bung!
#4 Warm Bodies (2013)
[caption id="attachment_301181" align="aligncenter" width="600" caption="Foto: Summit Entertainent"]
[/caption] Saya senang dengan kalimat yang pernah saya baca di sebuah buku soal orisinalitas. Kira-kira seperti ini, "Di dunia sudah tidak ada lagi yang asli, semuanya adalah curian dari karya sebelumnya." Film karya Jonathan Levine ini pun begitu, memutarbalikkan stigma makhluk paling menjijikan bernama
zombie dengan balutan cerita paling romantis sepanjang masa karya William Shakespeare,
Romeo & Juliet. Inilah salah satu cara paksaan Hollywood untuk membuat monster menjadi "cantik." Tapi hasilnya sukses dan juga kikuk.
Zombie berinisial R (Nicholas Hoult) memiliki catatan pribadi soal kiamat
zombie dan hidupnya langsung galau saat bertemu wanita bernama Julie (Teresa Palmer).
Warm Bodies mentertawakan
genre sejenis dan sukses dengan tertawa balik ke dirinya sendiri. Sangat orisinil.
#3 The Great Gatsby (2013)
[caption id="attachment_301184" align="aligncenter" width="600" caption="Foto: Warner Bros."]
[/caption] Novel milik F. Scott Fitzgerald yang sudah berusia 80 tahun lebih ini masih terasa relevan bahkan hingga sekarang. Apalagi saat sutradara Baz Luhrmann mengadaptasinya dengan cara yang paling
glossy dan mencampuranya dengan musik hip-hop.
The Great Gatsby menjadi gambaran murni soal hingar-bingar kehidupan manusia dari sisi strata sosialnya. Ditinggal atau meninggalkan. Jay Gatsby (Leonardo DiCaprio) dihadapi dengan 2 pilihan tadi. Dengar lagu tema yang dinyanyikan Lana Del Rey yang berjudul
Young and Beautiful, yang secara pas menggambarkan seperti apa
The Great Gatsby versi 2013 ini.
#2 12 Years a Slave (2013)
[caption id="attachment_301186" align="aligncenter" width="600" caption="Foto: Fox Searchlight"]
[/caption] Ini adalah
fine art yang membicarakan sesuatu yang
ugly.
Django Unchained mungkin melihat perbudakan dari sisi yang lebih
fun, sedangkan
12 Years a Slave begitu serius melihat ironi perbudakan dari kacamata laki-laki bernama Solomon Northup (Chiwitel Ejiofor). Mungkin ini film Steve McQueen yang paling pop, paling aman, dan juga paling Hollywood, tapi juga yang paling emosional. Tapi satu benang merah yang kerap muncul di film McQueen, penonton melihat sebuah dunia dari sudut pandang laki-laki yang bermasalah. Masalah
12 Years a Slave memang bukan datang dari laki-laki itu, tapi dari sisi luar. Laki-laki tadi melihat kekejaman saat manusia masih membeda-bedakan ras, warna kulit, seks, gender, dan lain sebagainya. Jangan harap soal permasalahan tadi sudah tidak terjadi di masa sekarang, beberapa isu tadi masih saja terjadi sampai saat ini. Tidak ada orang yang ingin terlahir sebagai budak, begitu pula dengan kebebasan Solomon yang begitu saja dirampas di waktu yang tidak tepat. Solomon berada di posisi yang sulit, antara ingin membela haknya sendiri atau menyelamatkan orang-orang sepertinya. Salah satu lewat tokoh Patsey, dimainkan dengan sangat baik oleh Lupita Nyong'o, sebagai gambaran posisi sulit kaum budak, terutama perempuan. Kebebasan Patsey hilang dan hampir menemui kematian demi sebuah sabun dalam sebuah adegan yang begitu kuat pesannya di film ini. Saya hanya kuat menonton film ini sekali saja, terlalu menyakitkan untuk menontonnya untuk yang kedua kali.
#1 Before Midnight (2013) + Stranger by the Lake (2013)
Foto: Sony Pictures Classic
Lihat Lyfe Selengkapnya