[caption id="attachment_269498" align="aligncenter" width="640" caption="Still of Charlie Hunnam and Mana Ashida in PACIFIC RIM (Photo by Courtesy of Warner Bros. Picture - © 2011 Warner Bros. Entertainment Inc. and Legendary Pictures Funding, LLC)"][/caption] Ada sepenggal cerita dalam Pacific Rim yang berhasil mencuri perhatian saya. Inilah yang membedakan Pacific Rim dengan film sejenis, yaitu keberadaan cerita dengan pengembangan karakter dua dimensi yang dari dua tokoh utamanya dengan cukup apik. Saat film lain hanya memfokuskan pada adegan perang dan melupakan dasar cerita tokoh-tokohnya, dalam Pacific Rim mencoba masuk dan melihat masa lalu dua tokoh utamanya untuk menemukan titik balik dan menghasilkan sebuah perlawanan demi kemenangan umat manusia. Sang pilot berpengalaman, Raleigh Becket (Charlie Hunnam) memilih untuk mengundurkan diri dari kemudi jaeger setelah melihat sang kakak, Yancy Becket, terbunuh saat melawan kaiju. Penceritaan tentang trauma Raleigh ditampilkan sebagai adegan pembuka. Lain halnya dengan pilot rookie Mako Mori (Rinko Kikuchi) yang mengalami kejadian tidak mengenakkan di masa kecil, saat kaiju menghabisi anggota keluarganya, sehingga membuatnya menjadi seorang yatim piatu. Bedanya, sutradara Guilermo del Toro memvisualisasikan bagian trauma Mako ini lewat sebuah flashback. Pertemuan Raleigh dan Mako pertama kali memang terlihat canggung, tapi dua-duanya sama-sama paham bahwa ada sedikit trauma yang terus menghantui mereka. Meski mengalami trauma, Raleigh tetap menjadi sosok manusia yang mudah berteman, berbeda dengan Mako yang dari luar terlihat layaknya wanita pemberani, tapi sangat rapuh dan menutup diri dari dunia luar. Terlihat dua tokoh utama ini memiliki satu benang merah, yaitu sama-sama memiliki luka dan trauma yang ditimbulkan dari perang manusia melawan kaiju. Trauma yang dialami Raleigh mungkin lebih bisa disembuhkan karena dialami saat dirinya sudah dewasa, namun berbeda dengan trauma yang dialami Mako karena sudah dialami sejak dirinya masih kecil. Anak kecil biasanya menyerap apa yang dilihat dan dirasakannya tanpa adanya sebuah filter, begitupun dengan Mako. Beberapa tahun lalu dirinya dengan mata kepala sendiri melihat bagaimana kejamnya kaiju menghabisi kedua orang tuanya dengan meninggalkan bekas luka yang mendalam. Tapi berkat didikan dan disiplin tinggi dari Pentecost (Idris Elba), Mako menemukan titik balik untuk melawan traumanya tersebut. Keluarga adalah segalanya bagi dia dan meski sudah pernah kehilangan orang tuanya, Mako seperti tidak ingin kehilangan "orang tua" barunya ini. Yang semakin membuat tokoh Mako spesial adalah penempatan dirinya sebagai perempuan di tengah dominasi laki-laki. Mako tidak dijadikan sebagai objek seks, tapi sebagai human being yang ingin melawan ketakutannya sendiri. Mako mungkin saja belum sampai di titik sukses saat film tengah berjalan, tapi diperlihatkan usaha yang gigih sampai akhirnya bisa meyakinkan Pentecost. Pemimpin kesatauan jaeger ini pada awalnya juga takut kalau perang bisa membuatnya kehilangan Mako untuk yang kedua kalinya, tapi sadar bahwa kelemahan masa lalu tidak bisa terus dipertahankan. Kegigihan Mako dicoba dengan memberikannya satu kesempatan untuk menjadi pilot jaeger pendamping Raleigh. Hal ini menjadi semakin spesial saat dua tokoh utama ini mulai melakukan interaksi saat mengendalikan jaeger Gipsy Danger. Sebagai sebuah robot yang dikendalikan lewat pikiran pilotnya, Raleigh dan Mako sama-sama belajar dan mengerti soal ketakutan masa lalu mereka. Raleigh yang lebih paham dengan jaeger Gipsy Danger ini mencoba untuk menjadi pemimpin dengan mengarahkan Mako saat mengemudikan robot raksas. Besi-besi berumur yang menyelimuti Gipsy Danger bisa mewakilkan masa lalu suram kedua tokoh ini, tapi di balik itu semua masih terdapat mesin yang kuat atau sama dengan semangat berjuang yang digunakan oleh dua tokoh ini. Terlebih saat Raleigh dan Mako adalah harapan terakhir umat manusia, saat jaeger-jaeger lain harus tumbang ketika melawan kaiju. Semua usaha dikeluarkan semaksimal mungkin, bahkan bisa saja nyawa menjadi taruhannya. Satu yang terlihat adalah saat dua tokoh ini akhirnya jatuh cinta karena mengerti permasalahan masing-masing dan memiliki maksud untuk saling melengkapi dengan cara yang tidak konvensional. Tapi lewat sebuah hubungan kepercayaan demi kekuatan yang lebih besar. Saat pikiran mereka tidak bisa bersatu, sama-sama memikirkan latar belakang masa lalu yang kelam, terlihat jaeger begitu lemah ketika melawan kaiju sebab tidak adanya pemusatan pikiran untuk berkonstentrasi melawan kaiju. Namun, saat keduanya sudah menemukan titik kecocokan dan mentolerir masa lalu mereka yang suram untuk bangkit melawan ketakuan dan demi masa depan yang lebih baik, jaeger menjadi lebih kuat. Ibaratnya seperti sebuah teka-teki yang sudah menemukan jawaban lewat medium kepercayaan diri. Inilah bukti titik balik lain yang diperlihatkan oleh Pacific Rim, tidak menjadi sebuah film yang mengutamakan kerja individu, tetapi mengedepankan kerja sama tim yang apik untuk menghadapi tantangan yang paling berat. Raleigh dan Mako bisa mengesampingkan ego masing-masing untuk melakukan kerja sama tim yang baik karena mereka masih percaya dengan apa yang disebut dengan harapan. Harapan untuk hidup, harapan untuk terbebas dari masalah, harapan untuk bangkit dari keterpurukan, dan harapan untuk sekedar menyalurkan rasa bersalah. Inilah sekian banyak titik balik kemanusiaan yang terselip tapi disampaikan dengan sederhana dalam Pacific Rim. Kondisi perang memunculkan masa lalu dan trauma, yang kemudian dua tokohnya belajar dari kesalahan mereka masing-masing mengapa hal tersebut bisa sampai terjadi. Porsi ini terbilang sangat cukup untuk pendalaman karakter Raleigh dan Mako. Rasa kehilangan tadi dibangkitkan dengan sebuah harapan. Dan memanusiakan dua tokoh utamanya adalah penting. Hal ini bisa menjadi oase tersendiri di tengah dominasi tampilan efek komputer dan gambar tiga dimensi. Penonton bisa melihat sesuatu yang lebih dan menjadikan pengalaman menonton lebih berharga. Karena saya yakin, di setiap film ada sebuah pesan positif yang bisa diambil untuk dijadikan titik balik dalam kehidupan nyata. As the result, Pacific Rim bukan sekedar menjadi film fantasi perang kaleng tanpa perasaan, tapi menjadi sebuah film dengan pesan titik balik untuk maju, membangkitkan rasa patriotisme, terus bergerak dengan tidak melupakan masa lalu, bangkit kembali dari keterpurukan untuk menghadapi tantangan di masa sekarang, dan memupuk rasa percaya satu sama lain. (FBS)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H