Mohon tunggu...
Fajar Billy Sandi
Fajar Billy Sandi Mohon Tunggu... karyawan swasta -

I'm a hidden king of rock and roll

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Dan, Piala Oscar Jatuh Kepada...

24 Februari 2013   10:39 Diperbarui: 24 Juni 2015   17:47 450
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_238315" align="aligncenter" width="640" caption="Piala Oscar (oscar.go)"][/caption] Saya. Saya masih ingat betul betapa dulu saya ingin sekali menjadi pemenang Oscar. Nasib, saya cuma pembuat film amatiran yang gagal dan sekarang sudah tidak punya niatan lagi. Tapi masih ada sedikit dalam mimpi saya untuk sesekali bisa mengangkat piala sang ksatria telanjang tersebut. Kalau saya tinggal di Amerika, mungkin bisa beruntung jika disinggahi Oscar Road Trip. Tapi saya tinggal jauh di Jakarta, di Indonesia, yang hanya bisa melihat piala tersebut dari internet, televisi, majalah, atau media lain (kalau Anda penasaran tentang pembuatan piala Oscar, bisa dilihat di sini). Atau mungkin Anda. Saya yakin, hampir semua pecinta film atau sebagian orang ingin sekali menjadi pemenang Oscar. Malam ketika nama Anda tertulis dalam amplop rahasia dan disebut, "And the Oscar goes to (insert your name here)" bisa langsung menaikkan pamor Anda. Karir menjulang di depan mata, bayaran Anda sebagai pekerja film sudah pasti akan naik, berbagai wawancara ekslusif dari macam-macam media kelas dunia menghampiri Anda, dan lain-lain yang tidak bisa disebutkan satu persatu. Tapi ada satu pertanyaan yang selalu menghampiri saya setiap melihat pergelaran Piala Oscar, does it matter to win it? Piala Oscar bila diibaratkan sebagai makhluk hidup, umurnya sudah sangat tua. Tahun ini Oscar sudah berumur 85 tahun. Pertama kali digelar pada tahun 1929 di Hollywood Roosevelt Hotel dan sejak saat itu Piala Oscar didaulat sebagai penghargaan tertinggi bagi insan perfilman. Sayangnya, sampai saat ini belum ada satu pun orang Indonesia yang berhasil masuk sebagai nominator. Banyak legenda perfilman, yang tidak akan saya sebutkan di sini, yang sudah memenangkan Oscar. Tapi, ada kutukan tersendiri bagi orang-orang yang memenangkan piala emas ini. Entah kenapa, kadang memenangkan Piala Oscar tidak menjamin kelangsungan karir pemenangnya menjadi lebih baik. Ingat bagaimana nasib Cuba Gooding, Jr., Halle Berry, Kevin Costner, Jennifer Connely, Brenda Fricker, Tatum O'Neil, Roberto Benigni, dan masih banyak aktor ataupun pekerja film lainnya, yang karirnya justru hancur atau hilang dari peredaran Hollywood pasca memenangkan Oscar. Atau nama-nama seperti Alfred Hitchcok, Stanley Kubrick, Peter O'Toole, Robert Altman, Tom Cruise, Glenn Close, dan lain-lain yang merupakan represntasi dari legenda perfilman yang sama sekali tidak pernah memenangkan kategori kompetitif Oscar. Piala Oscar adalah bagian dari industri. Sedangkan industri sendiri berrati lebih mementingkan kuantitas ketimbang kualitas. Seperti umurnya yang sudah tua, para pemenang Oscar ternyata ditentukan oleh anggota Academy dengan jumlah umur yang juga sudah tidak bisa dibilang muda lagi. Hampir 94% adalah ras kaukasian dan 77% adalah laki-laki (baca selengkapnya di sini). Bahkan para anggota member tersebut tidak semuanya menonton film-film yang dinominasikan dan hanya memilih secara acak. Sangat tercium aroma politik yang kuat, bila mengingat hampir setiap nominator dalam tiga bulan terakhir selalu melakukan kampanye gila-gilaan untuk memenangkan piala itu. Siapa yang paling pintar meraih perhatian para anggota Academy, entah film tersebut bagus atau tidak, pasti akan melenggang naik ke atas panggung Dolby Teather. Apalagi jika film tersebut diproduseri oleh Harvey Weinstein. Sehingga Anda mungkin akan selalu kesal atau kurang puas karena merasa film-film yang menang Oscar merupakan film aman atau tidak terlalu revolusioner. Para juri masih memiliki ide yang konservatif, sehingga pemikiran film yang gila di jamannya dianggap terlalu berbahaya untuk memenangkan Oscar. Cukup ambil tema seputar Nazi, Perang Dunia kedua, kebaikan melawan kejahatan. Heart vs Brain. Sesederhana itu. Banyak film-film yang stratanya jauh lebih bagus dan masih sangat kuat pengaruhnya di masa sekarang tetapi tidak menang Oscar. Sedangkan film pemenang, justru sudah dilupakan. Versus yang akan selalu diingat di antara Citizen Kane dan How Green Was My Valley, An American in Paris dan A Streetcar Named Desire, In the Heat of the Night dan The Graduate, Ordinary People dan Raging Bull, Forrest Gump dan Pulp Fiction, The English Patient dan Fargo, Crash dan Brokeback Mountain, The Social Network dan The King's Speech, bahkan yang terakhir The Artist dan Hugo. Bahkan, film terbaik sepanjang masa Vertigo karya Alfred Hitchcok pun tidak pernah mencicipi nominasi Film Terbaik Oscar. Piala Oscar pun akhirnya tidak lebih dari sebuah statistik. Anda cukup melihat formula dari berbagai pemenang di tahun-tahun sebelumnya dan dengan mudah meramalkan siapa pemenang di tahun ini. Menang dengan pasti akan menaikkan prestisius, nama Anda akan dibicarakan dalam tiga hari kedepan, tapi hal tersebut (terutama bagi saya) tidak begitu penting di masa sekarang. Masa ketika kultur pop, internet, dan sosial media lebih berarti dibandingkan mencatatkan nama Anda sebagai "Academy Award winnig filmmaker." Tahun lalu pun sensasi kaki kanan Angelina Jolie lebih banyak dibicarakan orang ketimbang kemenangan The Artist. Ingat seperti apa yang terjadi dalam film musikal Chicago, pemenang Oscar untuk Film Terbaik di tahun 2002, just give 'em the ol' razzle dazzle. Toh kritikus film dan media akan sibuk memikirkan siapa yang akan menjadi pemenang selanjutnya di tahun depan. Lalu, bagaimana dengan pegelaran Oscar besok pagi? Di atas kertas, film Argo sudah pasti akan menjadi pemenang berikut dengan pro dan kontra seorang Ben Affleck. Entah berapa lama semua pemenang besok pagi akan bertahan lama di industri film. Satu hal yang membuat banyak orang lupa karena Piala Oscar adalah bagaimana kita sebagai audiens untuk menikmati film sepenuhnya sebegai hiburan. Karena Piala Oscar, ada sebagian orang yang hanya akan menonton film-film yang mereka anggap berkualitas dan melupakan film-film lain, yang belum tentu kualitasnya jelek. Tiga film favorit sepanjang masa versi saya bukanlah film pemenang Oscar untuk Film Terbaik (Pul Fiction, The Graduate, dan Dazed and Confused). Kembali ke pertanyaan di atas, does it matter to win an Oscar? Jika ingin menjawab pertanyaan tersebut, mungkin ada baiknya menengok kemenangan kedua Sally Field untuk film Places in the Heart dengan quote "YOU REALLY LIKE ME!" (FBS)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun