[caption id="attachment_190184" align="aligncenter" width="625" caption="Poster Abraham Lincoln: Vampire Hunter (Fox), Brave (Dsney/Pixar), Lewat Djam Malam (sahabatsinematek)"][/caption] Pada dasarnya semua film adalah bagus. Jelek atau tidaknya sebuah film berdasarkan dari pantauan subjektifitas penontonnya. Objektifitas masih terbilang minim. Saya mencoba membagi beberapa jenis film, bukan berdasarkan genre tapi lebih kepada bagus atau tidaknya film tersebut. Berikut uraiannya:
- Film yang memang benar-benar bagus, dari mulai film tersebut akan dibuat hingga akhirnya bisa ditonton oleh publik; ex: Drive, semua film dari Paul Thomas Anderson
- Film yang dikira akan menjadi bagus, tapi hasilnya malah jelek atau biasa saja alias overhyped; ex: Prometheus, Sucker Punch
- Film yang biasa saja tapi dilebih-lebihkan untuk jadi bagus alias overrated; ex: The Artist
- Film yang dikira akan jelek, tapi ternyata bagus; ex: Fast Five
- Film yang dibuat untuk keren, tapi hasilnya malah sok keren; ex: Modus Anomali
- Film yang tidak terlalu diperhatikan tapi hasilnya bagus alias underrated; ex: Warrior
- Film yang memang jelek; ex: Jack & Jill, semua film dari Uwe Boll
- Film yang sebetulnya jelek, tapi unsur kegilaan dan fun-nya ada sehingga jadi menghibur; ex: kebanyakan film horor dan B-Movie
Kalau diingat apa kata Joni dalam film Janji Joni, "percaya sama kritik itu haram," setidaknya membuat penonton untuk bisa menjadi kritikus bagi dirinya sendiri. Selamat menonton dan selamat berakhir pekan! (FBS)
Abraham Lincoln: Vampire Hunter (2012) B
[caption id="attachment_190186" align="aligncenter" width="475" caption="Still of Benjamin Walker in Abraham Lincoln: Vampire Hunter (Photo by Stephen Vaughan - © 2012 Twentieth Century Fox Film Corporation. All rights reserved. Not for sale or duplication.)"]
[/caption]
Directed by Timur Bekmambetov Starring: Benjamin Walker, Dominic Cooper, Anthony Mackie, Mary Elizabeth Winstead, Rufus Sewell Apa jadinya jika salah seorang presiden Amerika Serika yang paling karismatik, Abraham Lincoln, dulunya adalah seorang pemburu vampir? Menarik dan kacau yang pasti. Inilah yang membuat Abraham Lincoln: Vampire Hunter, film yang diangkat dari novel berjudul sama buah karya Seth Grahame-Smith, menjadi menarik. Yang mana fakta sejarah berhasil digabungkan dan dirombak ulang dengan balutan fiksi menjadi satu. Abraham Lincoln (Benjamin Walker) berniat menjadi pemburu vampir setelah menyaksikan sang ibu dibunuh oleh salah satu makhluk penghisap darah. Di masa itu, Amerika Serikat banyak dihuni oleh vampir-vampir yang bermigrasi. Berbekal latihan pertahanan dari sang mentor, Henry Sturges (Dominic Cooper), dan minatnya terhadap hukum, akhirnya Abe menjadi presiden Amerika Serikat ke-16 bersamaan dengan 'pekerjaan' lainnya sebagai pembasmi makhluk malam. Menyaksikan film ini sedikit membuat bosan di awal, namun menjelang akhir, plot cerita semakin intens. Kegilaan film ini sudah berada di tangan yang tepat, yaitu lewat tangan dingin sutradara Timur Bekmambetov, yang sukses menjajal karir Amerikanya dengan film Wanted. Meski tidak sebagus seri World of Watches, tapi sama seperti Wanted, Abraham Lincoln: Vampire Hunter juga diisi dengan adegan-adegan aksi yang di luar nalar manusia normal tapi cukup menghibur. Juga jangan bayangkan vampir yang ganteng dan 'bersinar' ala Twilight, vampir-vampir di sini lebih menyeramkan walaupun masih bloodless. Perombakan ulang sejarah dengan penambahan aspek-aspek fantasi ala Hollywood sudah sering dilakukan. Hal tersebut sangat menarik karena sebuah sejarah yang pernah terjadi 'direvisi' ulang sehingga memunculkan sudut pandang baru. Sehingga penonton bisa menarik kesimpulan akan teori "bagaimana jika..." yang bila dikaji ulang bisa menimbulkan pemikiran-pemikiran yang menarik.
(Daftar film-film yang 'merombak ulang' sejarah bisa dilihat di sini)
Tanpa disengaja atau tidak, akhir tahun 2012 ini Hollywood juga akan merilis pula satu film Abraham Lincoln yang lain yang berjudul Lincoln. Lincoln merupakan film biopik yang disutradarai oleh Steven Spielberg dan Daniel Day-Lewis akan berperan sebagai presiden berjanggut tersebut. Bagi yang tidak puas dengan kisah ngaco ini, Lincoln mungkin bisa memuaskan penonton dengan cakupan sejarah yang cukup faktual.
Abraham Lincoln: Vampire Hunter ibarat sebuah film B yang disajikan secara rapih dan tersusun. Dengan akhir cerita yang cukup "nakal" (walaupun jauh berbeda dengan novelnya, tapi ini adalah adaptasi), sang presiden dengan sejata kapaknya berhasil mencuri perhatian saya. Mungkin kita bisa sedikit meniru dengan ide Presiden Soekarno yang dulunya adalah pembunuh zombie atau SBY yang ternyata pernah menjadi seorang ninja. Kenapa tidak dicoba. (trailer di sini)
Brave (2012) A-
[caption id="attachment_190187" align="aligncenter" width="475" caption="Brave (Photo by Pixar - © 2012 Disney/Pixar. All Rights Reserved.)"]
[/caption] Directed by Mark Andrews, Brenda Chapman, Steve Purcell Starring: Kelly Macdonald, Julie Walters, Billy Connolly, Emma Thompson, Kevin McKidd, Craig Ferguson, Robbie Coltrane Satu hal yang paling sulit dilakukan ketika membahas sebuah film animasi terbaru keluaran Pixar adalah dengan tidak membandingkannya dengan film Pixar yang lain. Pixar selalu menampilkan sesuatu yang orisinil dan sederhana, tapi sarat makna. Sempat terjadi kekhawatiran tahun lalu dengan turunnya kualitas Pixar di film
Cars 2 (walaupun terbilang masih bagus, baca tulisan lengkapnya
di sini), banyak pihak yang sedikit khawatir dengan
Brave. Sebagai film Pixar pertama yang menampilkan seorang
heroine alias jagoan wanita pertamanya yang juga seorang putri kerajaan dan bertema cerita dongeng,
Brave sudah memiliki nilai plus tersendiri.
Brave mengisahkan hidup Putri Merida (Kelly Macdonald), putri dari Kerajaan DunBroch. Merida bukanlah seorang stereotip putri kerajaan, kesenangannya memanah dan bertualang. Perilakunya ini tentu bertentangan dengan kehendak orang tuanya, Raja Fergus (Billy Connolly) dan Ratu Elinor (Emma Thompson) yang menginginkan Merida menjadi putri yang anggun. Merasa tidak senang dan terkekang dengan perjodohan yang dilakukan oleh orang tuanya, Merida lalu meminta kepada seorang penyihir (Julie Walters) untuk mengubah sang ibu agar memberi Merida lebih banyak kebabasan. Namun yang terjadi adalah sebuah kutukan dan mitos menyeramkan yang harus Merida selesaikan sendiri. Premis film ini memang tipikal sebuah dongeng sebelum tidur, banyak unsur-unsur petualangan, kerajaan, dan sihir serta pesan moral yang berarti. Hal inilah yang sudah lama hilang dari dunia anak-anak di Indonesia, yang mana
hiburan bagi anak-anak tidak lebih dari konsumsi lagu-lagu atau cerita dengan tema cinta monyet.
Brave pun menyuguhkan dongeng apik dengan pesan moral yang dalam. Bila di
Finding Nemo adalah hubungan ayah (Marlin) dan anak laki-lakinya (Nemo), sedangkan
Brave lebih berfokus pada hubungan ibu (Elinor) dan anak perempuannya (Merida) yang menjadi sorotan. Hubungan ini jauh lebih kompleks karena perempuan dibangun dengan sisi emosional yang tinggi, ketimbang laki-laki yang lebih mementingkan rasionalitas. Sosok Merida pun bukanlah seorang
damsel in distress, justru keyakinan dan keberanian Merida lah yang menjadi kunci film ini.
Brave juga mengajarkan kita untuk tidak melupakan sejarah, sebab sejarah adalah sebuah pembelajaran. Tanpa adanya sejarah, tidak akan terbentuk sosok yang seperti sekarang ini. Seks dalam
Brave terasa sangat kuat, bukan dalam artian hal yang vulgar, namun pada penempatan laki-laki dan perempuan. Sangat lucu melihat laki-laki dalam
Brave yang bertindak ceroboh dan kekanak-kanakan dibandingkan dengan perempuan yang selalu menggunakan intuisinya. Walaupun mengandung unsur feminis yang kuat, pesan moral
Brave tetap dapat diterima semua pihak.
Brave bukanlah sebuah dongeng biasa,
Brave lebih kepada sebuah metafora tentang keberanian, martabat, dan menjadi seorang manusia (terlebih wanita) sesungguhnya. Drama dan komedi pun berhasil menyatu dengan baik. Sekali lagi, Pixar melakukan pekerjaannya dengan sempurna. (trailer
di sini) *Jangan sampai telat untuk datang ke bioskop untuk menonton film pendek Pixar yang berjudul
La Luna. Pasca menonton film ini, pasti akan merubah pandangan Anda mengenai bulan sabit.
The best five minutes in 2012.
Lewat Djam Malam (1954) B+/A-
[caption id="attachment_190188" align="aligncenter" width="475" caption="Lewat Djam Malam (sahabatsinematek)"]
[/caption] Directed by Usmar Ismail Starring: A. N. Alcaff, Dhalia, Netty Herawati, Bambang Hermanto, R. D. Ismail Jujur, saya bukan orang yang sering untuk menonton film-film jadul buatan Indonesia. Bukan karena tidak suka, tapi karena tidak tahu untuk mencari keberadaan film-film tersebut ada dimana. Mungkin media berupa DVD atau VCD masih ada, itu pun juga sudah sangat jarang. Atau ketika Kineforum sedang melakukan
screening film-film tersebut, waktunya selalu tidak pas. Sangat berbeda dengan film-film jadul Hollywood, Eropa, maupun Asia lainnya yang memiliki dokumentasi lengkap. Sehingga istilah restorasi film sudah sangat umum di sana, namun masih terasa sangat baru di Indonesia. Yang paling miris dari film Indonesia adalah sangat sulitnya untuk mencari dokumentasi film-film tersebut. Jangankan sebuah film penuh, untuk mencari informasi di internet pun masih sangat sulit. Hal ini tidak hanya menimpa film-film yang sudah dirilis puluhan tahun lalu, film yang muncul dari satu dekade terakhir saja kadang susah untuk mencari informasinya di laman web seperti wikipedia ataupun imdb. Karena bagi orang Indonesia sendiri, film tak lebih dari sebuah hiburan belaka. Ketika mendapat kabar bahwa
Lewat Djam Malam sedang berada tahap pengrestorasian film (baca lengkap
di sini), saya cukup
excited karena ada yang peduli dengan film jadul lokal. Bagi saya dan mungkin sebagian orang lain, film adalah sebuah rekaman budaya dari suatu masa. Film adalah harta karun, dari film kita bisa belajar banyak hal. Beruntung, Martin Scorsese sebagai ketua World Cinema Foundation dan National Museum of Singapore beserta yayasan-yayasan non-pemerintah (Kineforum, Konfiden, Sahabat Sinematek) menaruh perhatian besar terhadap film-film tersebut. Cerita dari
Lewat Djam Malam sebenarnya sangat sederhana, tapi sangat kompleks. Iskandar (A. N. Alcaff) yang kembali dari perang mendapati Bandung kini memiliki jam malam dari jam 10 malam hingga jam 5 pagi. Sebab, Indonesia masih dalam keadaan pasca kemerdekaan, situasi masih penuh gejolak politik. Tapi ada yang berubah di diri Iskandar. Perang telah merubah pola pikirnya. Dalam dua hari tinggal di Bandung, Iskandar harus berhadapan dengan banyak hal, mulai dari teman-temannya yang juga mantan pejuang, sang tunangan, seorang pelacur, dan dirinya sendiri. Menonton film ini seperti melihat kembali kehidupan sosial masyarakat menengah ke atas di Bandung pada tahun 50-an. Bagaimana orang-orang di masa itu saling berinteraksi, mulai dari cara berbicara, cara berpakaian, berperilaku, berpesta, dan lain-lain. Uniknya, film ini tidak memperlihatkan jarak yang seksis. Padahal kalau dipikir, era tersebut bisa saja menempatkan perempuan masih sebagai makhluk kedua. Tetapi laki-laki dan perempuan sudah sejajar kedudukannya, mungkin dikarenakan orang-orang di sini adalah mereka yang terpelajar. Tapi yang paling penting dari
Lewat Djam Malam adalah kritikannya tentang kekerasan, korupsi, dan politik. Ketiga kritikan inilah yang sebetulnya masih sangat relevan di masa sekarang. Film ini adalah film
anti-war alias anti-perang (coba tonton
Grand Illusion besutan Jean Renoir di tahun 1937 yang juga sama-sama membahas tentang
anti-war). Bahwa perang, yang diselimuti oleh kekerasan dan benci, sangat bisa mengubah pola pikir seseorang menjadi lebih sinis. Kekompleksitasan tokoh Iskandar sangat terlihat di sini. Iskandar pun sudah kehilangan jati dirinya, dia sudah tidak tahu lagi apa yang dia mau dan apa yang dia dapatkan. Iskandar merasa bahwa para bekas pejuang telah dilupakan. Favorit saya sebenarnya lebih kepada tokoh Laila, seorang pelacur yang dimainkan dengan sangat menggoda oleh Dhalia. Laila mungkin satu-satunya perempuan yang menjadi makhluk kedua karena statusnya yang menengah ke bawah dan tidak terpelajar. Laila mempunyai mimpi sederhana, dengan menggunting gambar-gambar barang yang dia inginkan dari majalah LIFE (Laila membacaranya dengang mengeja Li I Fe E). Laila mungkin adalah personifikasi kita saat ini. Di tengah negeri yang kacau, sekotor apapun kita namun sebuah mimpi masih sangat dibutuhkan untuk memperbaiki diri. Tak pelak
Lewat Djam Malam membuka mata kita bahwa Indonesia memiliki banyak harta terpendam. Sangat direkomendasikan karena Anda tidak akan pernah melihat Bandung secantik dan semenggairahkan ini selain di film ini. (trailer
di sini)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Lihat Lyfe Selengkapnya