Mohon tunggu...
Fajar Billy Sandi
Fajar Billy Sandi Mohon Tunggu... karyawan swasta -

I'm a hidden king of rock and roll

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

#25 A Week at the Movies: Abraham Lincoln Sang Pemburu Vampir, Perempuan Berani dalam "Brave," dan Lewat Batas Djam Malam

23 Juni 2012   20:33 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:37 1308
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_190188" align="aligncenter" width="475" caption="Lewat Djam Malam (sahabatsinematek)"]

13404830261696287889
13404830261696287889
[/caption] Directed by Usmar Ismail Starring: A. N. Alcaff, Dhalia, Netty Herawati, Bambang Hermanto, R. D. Ismail Jujur, saya bukan orang yang sering untuk menonton film-film jadul buatan Indonesia. Bukan karena tidak suka, tapi karena tidak tahu untuk mencari keberadaan film-film tersebut ada dimana. Mungkin media berupa DVD atau VCD masih ada, itu pun juga sudah sangat jarang. Atau ketika Kineforum sedang melakukan screening film-film tersebut, waktunya selalu tidak pas. Sangat berbeda dengan film-film jadul Hollywood, Eropa, maupun Asia lainnya yang memiliki dokumentasi lengkap. Sehingga istilah restorasi film sudah sangat umum di sana, namun masih terasa sangat baru di Indonesia. Yang paling miris dari film Indonesia adalah sangat sulitnya untuk mencari dokumentasi film-film tersebut. Jangankan sebuah film penuh, untuk mencari informasi di internet pun masih sangat sulit. Hal ini tidak hanya menimpa film-film yang sudah dirilis puluhan tahun lalu, film yang muncul dari satu dekade terakhir saja kadang susah untuk mencari informasinya di laman web seperti wikipedia ataupun imdb.  Karena bagi orang Indonesia sendiri, film tak lebih dari sebuah hiburan belaka. Ketika mendapat kabar bahwa Lewat Djam Malam sedang berada tahap pengrestorasian film (baca lengkap di sini), saya cukup excited karena ada yang peduli dengan film jadul lokal. Bagi saya dan mungkin sebagian orang lain, film adalah sebuah rekaman budaya dari suatu masa. Film adalah harta karun, dari film kita bisa belajar banyak hal. Beruntung, Martin Scorsese sebagai ketua World Cinema Foundation dan National Museum of Singapore beserta yayasan-yayasan non-pemerintah (Kineforum, Konfiden, Sahabat Sinematek) menaruh perhatian besar terhadap film-film tersebut. Cerita dari Lewat Djam Malam sebenarnya sangat sederhana, tapi sangat kompleks. Iskandar (A. N. Alcaff) yang kembali dari perang mendapati Bandung kini memiliki jam malam dari jam 10 malam hingga jam 5 pagi. Sebab, Indonesia masih dalam keadaan pasca kemerdekaan, situasi masih penuh gejolak politik. Tapi ada yang berubah di diri Iskandar. Perang telah merubah pola pikirnya. Dalam dua hari tinggal di Bandung, Iskandar harus berhadapan dengan banyak hal, mulai dari teman-temannya yang juga mantan pejuang, sang tunangan, seorang pelacur, dan dirinya sendiri. Menonton film ini seperti melihat kembali kehidupan sosial masyarakat menengah ke atas di Bandung pada tahun 50-an. Bagaimana orang-orang di masa itu saling berinteraksi, mulai dari cara berbicara, cara berpakaian, berperilaku, berpesta, dan lain-lain. Uniknya, film ini tidak memperlihatkan jarak yang seksis. Padahal kalau dipikir, era tersebut bisa saja menempatkan perempuan masih sebagai makhluk kedua. Tetapi laki-laki dan perempuan sudah sejajar kedudukannya, mungkin dikarenakan orang-orang di sini adalah mereka yang terpelajar. Tapi yang paling penting dari Lewat Djam Malam adalah kritikannya tentang kekerasan, korupsi, dan politik. Ketiga kritikan inilah yang sebetulnya masih sangat relevan di masa sekarang. Film ini adalah film anti-war alias anti-perang (coba tonton Grand Illusion besutan Jean Renoir di tahun 1937 yang juga sama-sama membahas tentang anti-war). Bahwa perang, yang diselimuti oleh kekerasan dan benci, sangat bisa mengubah pola pikir seseorang menjadi lebih sinis. Kekompleksitasan tokoh Iskandar sangat terlihat di sini. Iskandar pun sudah kehilangan jati dirinya, dia sudah tidak tahu lagi apa yang dia mau dan apa yang dia dapatkan. Iskandar merasa bahwa para bekas pejuang telah dilupakan. Favorit saya sebenarnya lebih kepada tokoh Laila, seorang pelacur yang dimainkan dengan sangat menggoda oleh Dhalia. Laila mungkin satu-satunya perempuan yang menjadi makhluk kedua karena statusnya yang menengah ke bawah dan tidak terpelajar. Laila mempunyai mimpi sederhana, dengan menggunting gambar-gambar barang yang dia inginkan dari majalah LIFE (Laila membacaranya dengang mengeja Li I Fe E). Laila mungkin adalah personifikasi kita saat ini. Di tengah negeri yang kacau, sekotor apapun kita namun sebuah mimpi masih sangat dibutuhkan untuk memperbaiki diri. Tak pelak Lewat Djam Malam membuka mata kita bahwa Indonesia memiliki banyak harta terpendam. Sangat direkomendasikan karena Anda tidak akan pernah melihat Bandung secantik dan semenggairahkan ini selain di film ini. (trailer di sini)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun