Mohon tunggu...
Fajar
Fajar Mohon Tunggu... Supir - PEZIARAH DI BUMI PINJAMAN

menulis jika ada waktu luang

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Kabut Asap Borneo Kian Tebal dan Tidak Sehat, Bupati Sintang Liburkan Sekolah

9 September 2019   00:03 Diperbarui: 12 September 2019   23:29 49
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kapuas Diselimuti Kabut Asap (foto: wawan)

Beberapa hari terakhir, kabut asap mulai menyelimuti langit wilayah Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat. Asap bersumber dari berbagai lokasi perkebunan rakyat yang memang sedang musim menebas dan membakar ladang. 

Tingkat pencemaran udara pun kian meningkat. Hal ini terbukti dari rilis penelitian yang dilakukan oleh Pemda Sintang pada Minggu, 08/09/2019.

ISPU Kota Sintang
ISPU Kota Sintang

Rekomendasi hasil penelitian ini langsung ditanggapi oleh Bupati Sintang, Jarot Winarno yang mengeluarkan instruksi meliburkan siswa/i  TK/Paud, SD, dan SMP pada Senin, 9 September sampai Selasa, 10 September. 

Surat Bupati ditujukkan kepada seluruh kepala sekolah dan disebarkan secara berantai melalui media sosial guna mendapatkan respon cepat dari para kepala sekolah di berbagai tempat.

Surat Himbauan Liburan Sekolah Bupati Sintang
Surat Himbauan Liburan Sekolah Bupati Sintang

Respon cepat Bupati Sintang ini patut diapresiasi. Namun, tidak cukup menyelesaikan persoalan asap di wilayah Kabupaten Sintang yang selalu berulang tiap tahun.

Ada beberapa kebijakkan yang sudah diterapkan di wilayah Kabupaten Sintang selama beberapa tahun terakhir untuk menanggulangi bencana asap. 

Salah satu di antaranya, pemerintah telah melarang masyarakat berladang secara tradisional dengan membakar dan beralih ke sistem pertanian modern misalnya dengan gencar membuka persawahan secara besar-besaran di wilayah Kabupaten Sintang. 

Akan tetapi, lokasi persawahan baru yang dibuka oleh TNI beberapa tahun lalu, saat ini dibiarkan terlantar dan takterurus. Bagi saya, sawah yang baru dibuka sangat tidak cocok karena kebanyakan di lahan gambut. Masyarakat desa mengeluh bahwa sawah yang telah dibuka tidak bisa ditanami padi karena tidak berhumus. 

Hal ini bisa dipahami karena pembukaan lahan persawahan menggunakan eksavator, sehingga humus tanah Borneo yang relatif tipis malah tertimbun oleh tanah liat yang tidak memiliki unsur hara. 

Kesimpulan sementara, sawah belum menjadi pilihan petani di Kalimantan. Mereka masih tetap menggunakan sistem ladang berpindah sebagai solusi untuk pemenuhan kebutuhan pangan. Karena itu, negara perlu hadir bukan hanya membuka lahan persawahan di Kalimantan, tetapi mendampingi para petani secara intensif untuk menjadikan persawahan baru tersebut produktif dan digemari petani.

Kegagalan negara (Pemprov dan Pemda) untuk mendampingi petani beralih ke persawahan yang telah dibuka tapi dibiarkan terlantar tersebut membuat pemerintah tidak bisa tegas dalam penerapan larangan aturan pembakaran ladang secara tradisional. Aparat pun tidak bisa mengambil tindakan tegas menghukum petani yang masih membakar ladangnya agar bisa ditanami padi pada musim menanam nanti. Seringkali terjadi kompromi antara aparat dan masyarakat di lapangan. Masyarakat masih diizinkan mrmbakar ladang di atas pukul 16.00 sore asal ada pemberitahuan kepada Kepala Desa dan membawa banyak orang guna 'menjaga api' agar tidak merambat ke hutan atau kebun karet tetangga.

Persoalan kabut asap tidak akan bisa hilang dari pulau Kalimantan, ketika negara tidak pernah berusaha serius dan maksimal untuk mendampingi masyarakat beralih dari sistem pertanian tradiosional menuju pertanian modern (persawahan). 

Oleh karena itu, Pemprov Kalbar pada umumnya dan pemda Sintang pada khususnya perlu turun ke bawah mengecek lahan-lahan yang telah digarap TNI untuk persawahan masyarakat beberapa tahun lalu: apakah sudah ditanami padi oleh masyarakat ataukah hanya dipenuhi semak belukar? 

Jangan sampai uang negara triliunan rupiah yang telah dihabiskan untuk program mencetak sawah baru justru  pada kenyataannya menjadi 'proyek gagal'. Indikatornya jelas: jika masih ada kabut asap tanah Borneo pada bulan Juli, Agustus, September, dan Oktober berarti masyarakat masih belum beralih ke persawahan yang dicetak negara. 

Tidaklah cukup hanya dengan membuka hutan/lahan/rawa bergambut menggunakan eksavator untuk persawahan, jika tidak ditindaklanjuti dengan pendampingan intensif terhadap petani lokal untuk mengelolah lahan tersebut menjadi perawahan modern. 

Dalam hal ini, pemerintahan Jokowi bagi saya masih dianggap gagal menanggulangi sumber hulu bencana asap yang seolah menjadi persoalan perenial di tanah Borneo! Belum ada komitment yang teguh dan berkelanjutan dari pemerintah untuk isu yang satu ini.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun